Raja Kisra yang terkenal adil suatu kali harus menyelesaikan kasus “aneh” dua pria yang sedang bersengketa. Dikatakan “aneh” karena keduanya berselisih bukan karena sedang berebut kekayaan, melainkan sebaliknya: berebut saling menolak kekayaan.
Kisah persengketaan keduannya dimulai ketika seorang pria membeli rumah dari pria lainnya. Tanpa dinyana, di dalam rumah itu terdapat harta simpanan. Si pembeli yang merasa hanya membeli bangunan rumah (bukan sekaligus isinya) pun menemui penjual dan berniat mengembalikan harta yang ia nilai bukan haknya.
“Saya menjual rumah, dan tak tahu kalau ada harta simpanan di dalamnya. Harta ini berarti milikmu,” si penjual rumah menanggapi.
Si pembeli pun berontak, “Kamu harus mengambil harta ini karena memang di luar barang yang seharusnya saya beli (yakni rumah).”
Dari sini, perdebatan saling menolak klaim kepemilikan harta berlangsung panjang. Hingga akhirnya kasus sampai ke tangan Raja Kisra untuk mendapat penyelesaian hukum secara adil.
Setelah mendengarkan kronologi masalah, Kisra bertanya, “Apakah kalian memiliki anak?”
“Hamba punya anak laki-laki dewasa,” jawab si penjual rumah.
“Hamba punya anak perempuan dewasa,” tutur si pembeli rumah.
“Saya perintahkan kalian saling menjodohkan anak-anak kalian, sehingga terbangunlah hubungan kekerabatan. Selanjutnya, infakkan harta yang kalian perselisihkan itu kepada sepasang pengantin ini untuk kemaslahatan keluarga mereka,” instruksi Raja Kisra. Perintah ini dilaksanakan dan persengketaan aneh itu pun selesai tanpa menyisakan masalah.
Kisah ini termaktub dalam kitab An-Nawadir karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Qalyubi. Drama tersebut menampilkan campuran antara kezuhudan, infak, dan kecerdikan dalam memutuskan perkara.
Persengketaan dua pria tersebut seolah menyindir sikap orang kebanyakan yang lazimnya mencintai kekayaan. Dengan cara yang sama-sama mudah, sebetulnya salah satu dari kedua orang itu bisa mendapatkan sebuah keuntungan. Namun, sikap zuhud mereka mengubah perkara yang “semestinya sederhana” tampak kian runyam. Karena sangat berhati-hati, mereka berebut tidak mau mengklaim kekayaan yang bagi mereka masih abu-abu status hukumnya.
Meski bentuk kasus berbeda, persoalan yang mirip dengan cerita di atas kerap kita jumpai dalam hidup sehari-hari. Namun, apakah seseorang bisa bersikap selayak kedua pria zuhud itu atau tidak, kembali kepada pribadi masing-masing dalam memaknai hakikat kekayaan dan hidup yang fana ini.
Wallahu A’lam
Sumber : Situs PBNU
ADS HERE !!!