Nabi Musa adalah putra Imran bin Yashhar, bersaudara dengan Nabi Harun as. yaitu adik kandung. Nabi Musa as. adalah keturunan Lawi, salah seorang putra Nabi Ya‘qub yang hijrah ke Mesir. Di Mesir keturunan Nabi Ya‘qub bertambah banyak, selama empat ratus tahun lebih, jumlah mereka mencapai ratusan ribu orang.
Nabi Musa as. dilahirkan pada zaman Raja Fir‘aun (Ramses II) menguasai negeri Mesir. Waktu itu Raja Fir‘aun memerintahkan, setiap bayi laki-laki Bani Israil yang lahir harus dibunuh. Perintah tersebut dikeluarkan karena takwil ahli nujum terhadap mimpi Raja Fir‘aun yang menyatakan bahwa akan lahir seorang bayi laki-laki dari Bani Israil, yang setelah dewasa akan menghancurkan kekuasaan Raja Fir‘aun.
Pada waktu itu seorang wanita dari Bani Israil yang bernama Yukubat melahirkan seorang bayi laki-laki. Agar tidak dibunuh, Allah mengilhamkan kepada Yukubat, agar ia menghanyutkan bayinya ke Sungai Nil. Kemudian bayi itu dimasukkan ke dalam peti, lalu dihanyutkan ke Sungai Nil.
Dengan kodrat Allah, peti tersebut ditemukan oleh istri Fir‘aun yang bernama Asiyah, sewaktu ia mandi di tepi Sungai Nil. Asiyah segera menggendong bayi itu ke istananya. Setelah melihat bayi itu, Fir‘aun mengambil pedangnya. “Apa yang akan tuanku lakukan?” tanya Asiyah. “Dia akan kubunuh!” kata Fir‘aun. “Masa, bayi tak berdaya ini engkau takuti? Apalagi yang mengasuhnya kita. Ada-ada saja tuanku,” kata Asiyah kepada suaminya. Kitakan belum mempunyai anak! Sebaiknya bayi ini kita angkat sebagai anak.” Fir‘aun kemudian memberi nama Musa (Mu = air; Sa = Pohon).
Dinamakan demikian, karena Musa ditemukan diantara air dan pohon. Akhirnya datang masa saat ingin menyusu. Musa menangis. Asiyah memerintahkan mencari wanita-wanita yang dapat menyusukan Musa kecil ini. Namun setiap datang wanita yang ingin menyusukannya, Musa kecil ini selalu menolak dan menangis terus tidak henti-hentinya.
Akhirnya ditemukan seorang wanita Yukubad namanya. Kepadanya ditawarkan untuk dapat menyusukan anak bayi. Yukubad ingat akan anaknya, lalu katanya, “Aku bersedia menyusukannya.” Yukubad dibawa ke istana oleh Haman kepala rumah tangga istana Fir‘aun. Di istana Musa dicobanya disusukan dan ia menyusu dengan lahap. Kemudian gembiralah Asiyah istri Fir‘aun ini. Musa semakin besar. Ia telah pandai berjalan. Umurnya waktu itu kira-kira 3 tahun. Asiyah semakin sayang kepadanya. Begitu pula Fir‘aun. Pada suatu hari Fir‘aun menggendong Musa, tiba-tiba janggut Fir‘aun direnggut oleh Musa kecil. Ia berteriak kesakitan. “Wahai istriku! Barangkali inilah anak yang akan menjatuhkan aku dari kerajaanku!” Musa diletakkannya. Ia segera mengambil pedang hendak membunuhnya. Istrinya tahu seraya katanya, “Sabarlah tuanku! Anak sekecil ini tahu apa! Dia kan belum berakal!” “Belum berakal katamu, tetapi janggutku direnggut, kepalaku terasa mau pecah karena sakit!”
Kebetulan di dekat tempat itu ada bara api, dibiarkan Musa berjalan ke dekat bara api itu. Setelah dekat, bara itu diambilnya dan langsung dimasukkan ke mulutnya. Musa menjerit karena panas. Coba lihat dan perhatikan tuanku, kalau dia telah berakal, pasti bara itu tidak dimakannya, kata Asiyah sambil memeluk Musa. Musa masih menangis, karena menggigit bara panas, hal ini mengganggu lidah Musa untuk berbicara sampai besar.
Sebagai putra kesayangan Fir‘aun di mana-mana Musa dihormati orang. Ia dibolehkan pergi ke mana-mana sampai di luar istana pun. Pada suatu hari Musa berjalan-jalan di kota, dan penduduknya tidak mengenal Musa, lalu ia bertemu dengan dua orang yang sedang berkelahi, salah seorang di antaranya adalah orang Bani Israil, sedangkan yang lainnya lagi adalah bangsa Qibti. Musa berusaha mendamaikan antara keduanya, tetapi orang Qibti (Mesir) tidak mau berdamai, lalu Musa memukulnya sekali pukul, dan seketika orang itu mati. Musa sangat menyesali peristiwa ini, lalu berdoa kepada Tuhan sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an:
“Dia (Musa) berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku.” Maka Dia (Allah) mengampuninya. Sungguh, Allah Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Qashash/28: 16)
Kemudian datanglah dengan sekonyong-konyong kepada Musa seorang lelaki dengan memberitakan, “Hai Musa! Sesungguhnya pembesar-pembesar Mesir telah sepakat hendak membunuh kamu, karena mereka mengetahui rahasiamu (membunuh orang), maka lekaslah lari dari negeri ini. Sesungguhnya saya hanya memberi peringatan saja.” Lalu keluarlah Musa dari kota dengan penuh kekhawatiran kalaukalau ada yang mengetahuinya, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an:
“Maka keluarlah dia (Musa) dari kota itu dengan rasa takut, waspada (kalau ada yang menyusul atau menangkapnya), dia berdoa, ‘Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu.’ Dan ketika dia menuju ke arah negeri Madyan dia berdoa lagi, ‘Mudah-mudahan Tuhanku memimpin aku ke jalan yang benar.’” (QS. Al-Qashash/28: 21-22)
Setelah ia meninggalkan negeri Mesir, kemudian ke manakah ia akan pergi, di tempat manakah yang akan dituju. Padahal ia belum tahu daerah yang dapat dijadikan perlindungan, maka larilah ia menurut kakinya saja tidak tentu arahnya. Di waktu beliau berlari meninggalkan Mesir, sering menoleh ke belakang, karena serasa ada orang yang membuntutinya, dan pada sore harinya beliau berhenti di bawah pohon kayu di daerah Madyan seraya berdoa kepada Allah, semoga Allah menunjukkan jalan yang benar.”
|
Makam Nabi Musa as. |
Musa Bertemu dengan Nabi Syu‘aib as.
Sewaktu Musa berhenti berteduh di bawah pohon, beliau melihat serombongan orang yang akan meminumkan ternaknya (kambing), karena di sana terdapat mata air. Untuk mendapatkan air mereka saling berebutan, dan di antara mereka terdapat dua anak gadis yang sedang menunggu sampai selesainya orang laki-laki yang berjejal-jejalan itu. Musa menolong dua gadis yang bersaudara itu untuk meminumkan kambingnya, dan setelah selesai beliau pun duduk di tempat semula.
Kemudian salah seorang dari kedua perempuan itu datang kepada Musa, berjalan perlahan-lahan dengan perasaan malu, katanya, “Bapakkumengundang tuan karena ia hendak membalas kebaikan tuan, meminumkan kambing kami. Tatkala Musa tiba di hadapan ayah anak gadis itu (Nabi Syu‘aib), lalu Musa menceritakan kisahnya dari awal sampai akhirnya ia berjumpa Nabi Syu‘aib. Maka sahut Nabi Syu‘aib, janganlah engkau takut, engkau terlepas dari kaum yang zalim.”
Selesai pembicaraan Musa dengan Nabi Syu‘aib, kemudian anak perempuannya minta kepada ayahnya agar ia dijadikan sebagai pekerja di rumahnya, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an:
“Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, ‘Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat di percaya.’” (QS. Al-Qashash/28: 26)
Demikianlah Musa bertemu dengan Nabi Syu‘aib, Musa diminta Nabi Syu‘aib untuk bekerja sebagai pekerja yang setiap harinya menggembalakan kambing Nabi Syu‘aib selama sepuluh tahun. Tidak lama mengabdikan diri, kemudian Nabi Syu‘aib mengambil dia sebagai menantunya, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an:
“Dia (Syu‘aib) berkata, ‘Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik.’” (QS. Al-Qashash/28: 27)
Akhirnya Musa menikah dengan salah seorang anak perempuan Nabi Syu‘aib as. karena perjanjian yang telah ditentukan itu telah dijalankan dan dilaksanakan oleh Musa as.
Musa Kembali ke Mesir
Selama 10 tahun Musa bekerja untuk Nabi Syu‘aib. Setelah selesai, Musa ingin bertemu dengan keluarganya di Mesir. Atas izin mertuanya Musa berangkat disertai istrinya ke Mesir. Dalam perjalanannya Musa menuju arah selatan hingga tiba di bukit Sinai. Pada suatu malam, Musa telah tersesat jalannya dan tidak tahu arah. Dalam keadaan seperti ini, ia melihat nyala api dari kejauhan dan ia bermaksud untuk mengambil api itu untuk menerangi ia berjalan, tetapi setelah sampai di tempat itu, bukan main herannya melihat api itu, karena api itu melekat di sebuah pohon, tetapi pohon itu tidak terbakar. Musa mendekati api itu dan setelah di tempat itu terdengarlah olehnya suara panggilan yang tak dapat diserupakan dengan suara apa pun dari sebelah kanan pohon zaitun, yaitu:
“Hai Musa! Aku ini Allah, Tuhanmu! Engkau berada di lembah suci Tuwa! Tanggalkanlah sepatumu! Hari ini Aku angkat engkau menjadi rasul-Ku. Karena itu dengarkanlah baik-baik wahyu-Ku. Aku adalah Allah, tidak ada tuhan melainkan Aku. Karena itu jalankanlah perintah-perintah-Ku! Kerjakan sembahyang, agar engkau selalu ingat kepada-Ku. Kiamat pasti terjadi, Aku sembunyikan tanda-tandanya, agar tiap-tiap diri nanti dinilai amal perbuatannya. Jangan kamu ragu-ragu tentang ini. Jangan kamu ikuti paham orang-orang yang tak beriman, yang akan mencelakakan engkau kelak.”
Kemudian Musa membuka sepatunya, hatinya berdebar-debar, tiba-tiba terdengar suara lagi, “Lemparkanlah tongkat itu!”. Lalu tongkatnya dilemparkan, tiba-tiba tongkat itu berubah menjadi seekor ular besar, memburu ke arah Musa, Musa lari ketakutan. Tuhan berfirman kepadanya, “Jangan takut hai Musa, sesungguhnya seorang yang telah diutus menjadi rasul tidak perlu takut. Peganglah kembali, pasti ia kembali seperti semula menjadi tongkat.”. Musa memegang ular itu, kemudian kembali menjadi tongkat.
Kemudian Allah berfirman kepada Musa, “Kepitlah tanganmu ke ketiakmu. Lalu Musa mengapitkan tangannya, kemudian tangannya mengeluarkan cahaya putih cemerlang. Kalau engkau merasa takut kepitlah tanganmu, engkau pasti tidak akan gentar menghadapi siapa pun! Nah sekarang pergilah kamu ke Mesir. Sesungguhnya Fir‘aun sudah durhaka melampaui batas.” Inilah mukjizat Nabi Musa, yaitu tongkat bisa menjadi ular dan tangannya mengeluarkan cahaya putih cemerlang.
Nabi Musa as. dan Nabi Harun as. Menghadapi Fir‘aun
Setelah menerima wahyu dari Allah swt., Nabi Musa mendapat perintah dari Tuhannya pergi menghadap Fir‘aun untuk menyampaikan risalah ilahi kepadanya, karena merasa mempunyai kekuasaan yang besar di Mesir, sehingga Fir‘aun makin lama makin sombong, sewenangwenang, bahkan menganggap dirinya sebagai tuhan.
Untuk menghadapi Fir‘aun, Nabi Musa as. memerlukan keberanian, maka Nabi Musa as. memohon kepada Allah agar melapangkan dadanya, jelas dan fasih dalam berbicara, serta menjadikan Harun (saudaranya) sebagai pembantunya dalam menyampaikan risalah-Nya yang berat ini. Kemudian Allah mengabulkan semua permohonannya. Sebagaimana firman-Nya:
“Dia (Musa) berkata, ‘Ya Tuhanku, sungguh aku telah membunuh seorang dari golongan mereka, sehingga aku takut mereka akan membunuhku. Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada aku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku, sungguh aku takut mereka akan mendustakanku.’ Dia (Allah) berfirman, ‘Kami akan menguatkan engkau (membantumu) dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak akan dapat mencapaimu, (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mukjizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamu yang akan menang.’” (QS. Al-Qashash/28: 33-35)
Setelah permohonan Nabi Musa as. dikabulkan Allah, Nabi Musa as. dan Nabi Harun as. menemui Fir‘aun. Fir‘aun terkejut melihat kedatangan mereka. Nabi Musa as. mengingatkan Fir‘aun bahwa ia bukan tuhan, serta memintanya untuk membebaskan Bani Israil. Mendengar perkataan Nabi Musa, Fir‘aun bukan main marahnya dan bermaksud memenjarakannya.
Kemudian Nabi Musa menunjukkan tanda kebenaran dakwahnya dengan memperlihatkan mukjizat yang diberikan Allah swt. agar Fir‘aun percaya kepada kenabiannya. Untuk menghadapi mukjizat Nabi Musa, Fir‘aun mengumpulkan tukang-tukang sihir kerajaan, untuk bertanding melawan Musa di suatu arena yang telah ditentukan waktunya dan tempatnya. Di antara mereka ada yang melemparkan tali, tongkat, maka berubahlah tongkat dan tali itu menjadi ular yang menjalar. Lalu Musa merasa takut, karena telah dikelilingi ular-ular yang berbisa. Lalu Tuhan memerintahkan kepada Musa dengan firman-Nya:
“Dan lemparkan apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka buat. Apa yang mereka buat itu hanyalah tipu daya pesihir (belaka). Dan tidak akan menang pesihir itu, dari mana pun ia datang.” (QS. Thaha/20: 69)
Kemudian semua ahli sihir itu tunduk sujud kepada Musa, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur'an:
“Lalu para pesihir itu merunduk bersujud, seraya berkata, ‘Kami telah percaya kepada Tuhannya Harun dan Musa.’” (QS. Thaha/20: 70)
Karena melihat tukang sihirnya telah beriman kepada Nabi Musa as. demikian pula istrinya (Asiyah), maka Fir‘aun bertambah marah, sehingga istrinya disiksa sampai mati, demikian juga orang-orang yang beriman kepada Tuhan Nabi Musa. Akhirnya Nabi Musa bersama orang-orang yang beriman lari dari Mesir, setelah mereka tidak berdaya lagi di negeri Mesir, maka dikejarnya mereka itu sampai ke pantai Laut Merah, dan lautan pun menjadi jalan besar dan membelah menjadi dua untuk dilalui Nabi Musa beserta para pengikutnya. Sewaktu Fir‘aun dengan bala tentaranya mengejar dari belakang dan ketika mereka sampai di pertengahan laut, maka air laut pun bertaut kembali menjadi satu, kemudian mereka tenggelam semuanya, sebagaimana firman Allah:
“Kemudian Fir‘aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, tetapi digulung ombak laut yang menenggelamkan mereka.” (QS. Thaha/20: 78)
Demikianlah keterangan tentang berakhirnya Fir‘aun bersama bala tentaranya tenggelam di Laut Merah.
Umat Nabi Musa Menyembah Sapi
Setelah Fir‘aun dan bala tentaranya tenggelam, Nabi Musa as. pergi ke Gunung Sinai menerima wahyu dari Allah (Taurat) selama 40 malam. Nabi Musa meninggalkan umatnya dan menyerahkan penjagaan mereka kepada Nabi Harun as. Di sana Nabi Musa berpuasa selama 30 hari. Namun kemudian puasanya disempurnakan menjadi 40 hari. Dalam keadaan suci itu Nabi Musa mendengar firman Allah swt. secara langsung. Nabi Musa lalu dikaruniai kitab Taurat, yang berisi nilai-nilai dan pedoman hidup bagi umatnya.
Setelah lebih dari 30 hari Nabi Musa tidak juga kembali, Samiri tukang sihir diam-diam membuat sapi dari tanah yang disihir hingga dapat bersuara. Kata Samiri kepada orang-orang yang di lingkungannya, “Hai kaumku! Tampaknya Musa takkan kembali lagi. Sekarang tidak ada gunanya kita menyembah Tuhan Musa. Lebih baik marilah kita sembah saja sapi ini. Kalian dengar, sapi ini dapat berbicara! Inilah Tuhan yang sebenarnya!” Patung sapi inilah yang disembah oleh mereka, karena tipu daya Samiri yang munafik.
Nabi Harun telah bersusah payah melarang mereka dari perbuatan mereka menyembah patung sapi itu, namun mereka tetap tidak mau menerima nasihat Nabi Harun, bahkan semakin keras tindakan Nabi Harun dalam usaha melarang mereka menyembah patung sapi itu, semakin keras pula mereka menentangnya.
Empat puluh hari kemudian Musa datang kembali, apa yang dilihatnya, Bani Israil sangat tekun menyembah sapi dengan asyiknya, hatinya terasa terbakar. Ditegurnya Harun dengan katanya: “Hai Harun! Apa yang menghalangi engkau untuk mencegah mereka ketika engkau melihat mereka sesat? Apakah engkau tidak mengikuti aku, ataukah engkau mendurhakai perintahku.” Sahut Harun, “Hai anak ibuku! Janganlah engkau renggut jenggotku dan janganlah engkau tarik rambut kepalaku. Sesungguhnya aku takut bahwa engkau akan berkata, “Engkau telah adakan perpecahan dalam Bani Israil dan engkau tidak pelihara perkataanku.” (QS. Thaha/20: 94)
Musa berkata, “Bagaimanakah hal engkau ya Samiri?” Ia menjawab, aku melihat sesuatu yang mereka tidak lihat, oleh yang demikian aku genggam saja dari jejak rasul itu, lantas aku buang dia, karena begitulah aku diperintahkan oleh nafsuku.” (QS. Thaha/20: 95)
Kemudian Nabi Musa menyuruh mereka bertobat kepada Allah dan meminta ampunan kepada Allah karena tersesat. Allah swt. Maha Pengasih dan Penyayang dan memberi ampun kepada mereka atas kesalahannya, dengan jalan memerintahkan kepada mereka untuk membunuh diri sendiri, karena yang demikian lebih baik bagimu pada pandangan Allah yang menjadikan kamu.”
Kemudian Nabi Musa mengajarkan isi Taurat itu kepada mereka. Setelah itu Nabi Musa pergi mendapatkan Samiri seraya berkata, “Pergilah kamu dari sini bersama pengikut-pengikutmu, patung sapi yang menjadi tuhanmu itu akan kubakar, kemudian akan kami hanyutkan ke dalam laut. Engkau dan pengikutmu pasti akan mendapat siksa.”
Umat Nabi Musa Ingin Melihat Tuhan
Umat Nabi Musa sangat keras kepala, kekufurannya telah mendarah daging dan telah berpengaruh yang menghunjam pada jiwanya, jika mereka diseru untuk menyembah Tuhan, mereka menentang dengan berkata, “Hai Musa, perlihatkan kepada kami Tuhan itu, nanti kalau kami telah melihat akan beriman kepada-Nya.” Hal itu sebagaimana telah dinyatakan dalam Al-Qur'an:
“Dan (ingatlah) ketika kamu berkata, “Wahai Musa! Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas,” maka halilintar menyambarmu, sedang kamu menyaksikan. Kemudian, Kami membangkitkan kamu setelah kamu mati, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah/2: 55-56)
Umat Nabi Musa Kehausan
Samiri dan pengikutnya lari meninggalkan Musa, dan ketika mereka dalam perjalanan mencari air ke sana kemari, mereka tidak mendapatkan air sehingga mereka kehausan. Akhirnya mereka datang kepada Nabi Musa mengadukan halnya, dan mereka meminta tolong kepada Musa supaya memintakan air kepada Tuhan. Hal tersebut dinyatakan dalam Al-Qur'an:
“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, “Pukullah batu itu dengan tongkatmu!” Maka memancarlah daripadanya dua belas mata air. Setiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah dan janganlah kamu melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.” (QS. Al-Baqarah/2: 60)
Pada suatu hari Bani Israil minta diberi makanan berupa sayursayuran dan buah-buahan, kemudian Musa berdoa kepada Allah, lalu Allah memberikan Manna dan Salwa, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an:
“Dan Kami melindungi kamu dengan awan, dan kami menurunkan kepadamu Mann dan Salwa” (QS. Al-Baqarah/2: 57)
Permintaan-permintaan mereka selalu dikabulkan Allah, tetapi mereka selalu durhaka kepada-Nya. Nabi Musa as. meninggal di Padang Tih dalam usia 120 tahun, sedang sebelumnya telah wafat lebih dahulu Nabi Harun as.
Wallahu A’lam
Sumber : Buku “Riwayat 25 Nabi dan Rasul”