Proposisi lain yang mungkin dapat diperdebatkan adalah bukankah selain ajaran Wali Songo di atas terdapat pula ajaran Syekh Siti Jenar, di mana pemikiran-pemikirannya masuk dalam tipologi tasawuf falsafi?
Syekh Siti Jenar pernah mengungkapkan pemikirannya yang memiliki kesamaan dengan ajaran Ibnu Arabīiyang monistik sebagai berikut:
...Seh Lemah Abang ngandika/ aja na kakeyan semu/ iya ingsun iki Allah/ nyata ingsun kang sajati/ jejuluk Prabu Satmata/ tana ana liyan jatine/ ingkang aran bangsa Allah/ molana Maghrib mujar/ iku jisim aranipun/ Seh Lemah Bang angandika/ kawula amedhar ngelmi/ angraosai katunggalan/ dede jisim sadangune/ mapan jisim nora nana/ dene kang kawicara/ mapan sajati ning ngelmu/ sami amiyak warana//
…Syekh Lemah Abang berujar/ Marilah kita berbicara dengan terus terang/ bahwa Aku ini Allah/ Akulah yang sejati/ disebut Prabu Satmata (salah satu nama Syiwa)/ tidak ada yang lain yang disebut ilahi/ Maulana Maghrib mencela/ tapi itu jisim namanya/ Syekh Lemah Abang menyahut/ Saya menyampaikan ilmu yang bukan tubuh/ karena tubuh pada hakikatnya tidak ada/ Yang kita bincang adalah ilmu sejati/ Kepada semuanya saja/ kita buka tabir rahasia ilmu sejati//
Dengan demikian, benih-benih tasawuf falsafi di Indonesia sedari awal memiliki kekuatan yang sama besar dengan tasawuf akhlaki.
Terlebih peranan ajaran Syekh Siti Jenar, sebagai wali dengan kapasitas keilmuan yang sangat mumpuni, banyak mendapat tempat di hati masyarakat. Hal ini menunjukkan kedua model tasawuf pernah ada dan tumbuh bahkan pada taraf menjadi suatu mainstream di Nusantara.
Statemen di atas bisa saja menjadi benar, jika dakwah dan ajaran Syekh Siti Jenar tidak mendapatkan resistensi dari para anggota wali lainnya.
Pada kenyataannnya di dalam sejarah dibuktikan bahwa adanya usaha-usaha pemakzulan terhadap paham yang cenderung pada ajaran filosofis-panteistis yang diajarkan Syekh Siti Jenar. Bahkan diceritakan bahwa Sunan Giri (anggota Wali Songo) dikabarkan menentang ajaran Siti Jenar yang berpandangan panteisme.
Sebuah debat langsung digelar di hadapan Raden Fatah, sultan pertama kerajaan Islam di Jawa yang berakhir dengan pengadilan yang menjatuhkan hukuman mati kepada Siti Jenar dan para pendukungnya. Siti Jenar dianggap salah karena telah mempercayai bahwa Tuhan tidak berwujud kecuali dalam bentuk nama, Dia mengalir dalam diri insān kāmil (manusia paripurna), yang terkenal dengan ajaran ‘manunggaling kawula Gusti’ (union whit the One).
Terlepas dari benar tidaknya cerita tersebut, makna yang hendak diambil adalah bahwa Wali Songo tidak pernah membuka ruang terhadap pemikiran filosofis Ibn ‘Arabī, al-Ḥallāj, dan sebagainya, yang memiliki tendensi ke arah panteisme. Sebaliknya Wali Songo lebih simpati terhadap karya-karya al-Ghazālī dan al-Qusyairī yang memiliki orientasi pada pembentukan karakter dan budi pekerti yang baik dalam hal mu’amalah.
Implikasi dari adanya usaha membendung arus pemikiran panteistis di Indonesia, mengindikasikan akan dominasi pemikiran tasawuf akhlaki sebagai pemikiran tasawuf yang diridhoi dan direstui dan dijadikan sebagai basis utama pemikiran tasawuf di Indonesia.
Wallahu A’lam
Sumber: unuindonesia.ac.id
ADS HERE !!!