Pada tahun 17/18 H atau 629/630 M. Khalifah Umar pergi untuk melihat keadaan di Syam. Ketika sampai di suatu tempat yang bernama Saragh, beberapa pimpinan pasukan menemui beliau, termasuk panglima Abu Ubaidah bin al-Jarraḥ. Mereka menyampaikan tejangkitnya wabah (tha’un) di Syam. Kemudian terjadi perbedaan pendapat di antara mereka mengenai apakah Khalifah meneruskan perjalanan atau kembali ke Madinah. Setelah mendengar argumen yang disampaikan, Khalifah Umar memutuskan untuk kembali ke Madinah.
Abu Ubaidah bertanya, “Bukankah ini berarti lari dari ketentuan (takdir) Allah?” Umar menjawab, “Kami lari dari satu ketentuan (takdir) Allah ke ketentuan yang lain. Misalkan engkau sampai ke suatu lembah dengan untamu dan di situ terdapat bagian yang subur dan yang kering. Bukankah ketika engkau gembalakan untamu ke tanah yang subur, itu hanya terjadi dengan takdir Allah? Demikian juga kalau engkau memilih tanah yang kering?”. Abu Ubaidah menjawab, “Betul.”
Khalifah pun lalu kembali ke Madinah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Mengenai panglima Abu Ubaidah bin al-Jarraḥ, disebutkan bahwa ketika wabah berkecamuk, ia berpidato, “… Penyakit ini adalah kasih sayang Tuhan kalian, doa Nabi kalian dan (penyebab) kematian orang-orang saleh sebelum kalian. Sungguh Abu Ubaidah memohon kepada Allah untuk memberikan bagiannya dari penyakit ini.” Ia pun terjangkiti dan meninggal.
Abu Ubaidah kemudian digantikan Mu‘adz bin Jabal yang mempunyai sikap serupa dan meninggal tidak lama kemudian. (HR. Aḥmad)
Lalu Amr bin al-Ash diangkat sebagai pengganti. Ia datang dari Mesir ke Syam dan mengatakan dalam pidatonya, “Sesungguhnya wabah ini, jika berjangkit, maka berjangkitnya itu seperti nyala api. Karena itu, berpindahlah kalian ke gunung-gunung.” Lalu mereka pergi ke tempat-tempat yang lebih tinggi dan wabah pun kemudian berhenti. (Tārikh Ṭabarī Usud al-Ghābah Ibn al-Atsīr dan Majma‘ al-Zawā’id Haiytsamī).
Sikap Umar bin Khattab Dalam Menghadapi Wabah
Umar tidak jadi masuk ke daerah yang sedang dilanda wabah. Sikap ini bisa disalahkan sebagai lari dari takdir Allah. Akan tetapi, dapatkan orang lari dari takdir? Penjelasan yang diberikan Umar menunjukkan bahwa dalam pemahamannya, takdir tidak berhadap-hadapan dengan ikhtiar. Ikhtiar manusia pun hanya dapat terjadi dengan takdir Allah.
Sebagai Khalifah, Umar mengemban tugas yang jauh lebih luas daripada Syam. Ia tidak semestinya terpaku hanya pada satu daerah. Dari Madinah, ibukota saat, ia dapat memberikan perintah-perintah untuk seluruh daerah.
Sikap Abu Ubaidah bin al-Jarrah Dalam Menghadapi Wabah
Panglima ini ada di tengah-tengah pasukan. Kalau ia pergi, moril pasukan akan jatuh, padahal saat itu mereka ada di baris depan dalam peperangan dengan pasukan Romawi Timur. Menyelamatkan diri atau melarikan diri merupakan sikap yang tidak terpuji.
Mengapa ia tidak mengajak seluruh pasukan untuk pergi ke tempat lain?
Imam at-Thabari menyebutkan satu riwayat bahwa Umar memberi petunjuk kepadanya untuk pergi ke tempat yang lebih tinggi karena pasukan saat itu ditempatkan di daerah berair. Panglima lalu meminta seorang sahabat, Abu Musa, untuk memimpin perpindahan itu. Akan tetapi, Abu Ubaidah meninggal sebelum sempat ikut pindah.
Sikap Amr bin Ash Dalam Menghadapi Wabah
Tampaknya Amr bin Ash lebih memahami tabiat wabah. Tidak terdengar bahwa ia mempersoalkan masalah ketentuan Allah. Yang diriwayatkan adalah bahwa ia membawa pasukan untuk pergi ke tempat yang lebih tinggi. Mungkin dia sudah tahu bahwa tempat-tempat berair itu merupakan lahan yang subur bagi penyebaran penyakit dan karenanya ia mengajak pasukan ke pegunungan. Selain itu kelihatannya ia tahu bahwa wabah itu akan surut kalau tempat berjangkitnya kosong dari orang banyak, seperti api yang akan berhenti menyala kalau bahan bakarnya habis.
Penulis: Prof. KH. Muhammad Machasin, Mustasyar PBNU.
Sumber: bangkitmedia.com
ADS HERE !!!