Kisah ini dimulai dari penjelasan Sayyidina Ibnu Abbas tentang kemampuan burung Hud-hud. Ia menjelaskan:
Bahwa burung Hud-hud sangat ahli dalam mencari air dan ditugaskan secara khusus oleh Nabi Sulaiman ketika berada di padang pasir. Dengan kemampuannya, Hud-hud dapat melihat sumber air di dalam tanah seperti manusia dapat melihat sesuatu di permukaan tanah. Hud-hud juga dapat melihat seberapa jauh dan seberapa dalam sumber air di dalam tanah itu. Ketika Hud-hud menunjukkan letak sumber air, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam memerintahkan jin untuk menggali tempat itu sampai air keluar dari dasar bumi” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’an al-‘Adhîm, juz 6, hal. 184).
Penjelasan Sayyidina Ibnu Abbas ini diriwayatkan oleh Imam Mujahid, Sa’id bin Jubair, dan ulama lainnya. Di saat Ibnu Abbas menjelaskan kelebihan yang dimiliki burung Hud-hud, seorang Khawarij bernama Nafi’ bin al-Azraq menentangnya. Berikut riwayatnya:
Suatu hari Ibnu Abbas menceritakan kisah ini di sebuah kaum yang di dalamnya terdapat seorang Khawarij bernama Nafi bin al-Azraq. Ia dikenal sebagai orang yang sangat sering (banyak) menentang Ibnu Abbas. Karena itu ia berkata: “Hentikan wahai Ibnu Abbas, hari ini engkau telah kalah.” Ibnu Abbas bertanya: “Kenapa?”
Nafi bin al-Azraq berkata: “Sesungguhnya engkau telah bercerita tentang Hud-hud yang dapat melihat air di perut bumi, padahal bisa saja seorang anak menaruh biji dalam perangkap dan menutupi perangkap itu dengan tanah. Kemudian Hud-hud datang mengambil biji tersebut (untuk dimakan) maka dia terjerat oleh perangkap yang dipasang anak kecil itu.”
Ibnu Abbas berkata: “Jika tidak karena mengakhiri ini, lalu ia akan berkata: ‘Aku telah menyangkal Ibnu Abbas, (dan) ia tidak menjawab.” Kemudian Ibnu Abbas menjawab: “Celakalah engkau! Sungguh jika takdir telah ditetapkan, hilanglah penglihatan dan lenyaplah kehati-hatian (maka burung Hud-hud pasti masuk dalam perangkap).”
Nafi bin al-Azraq berkata: “Demi Allah, aku tidak akan lagi mendebatmu dalam sesuatu dari Al-Qur’an selamanya” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’an al-‘Adhîm, juz 6, hal. 184-185)
Riwayat di atas merupakan tafsir atau penjelasan Sayyidina Abdullah bin Abbas mengenai Surat An-Naml: 20. Dalam tafsir Ibnu Katsir diceritakan:
“(Suatu ketika) Nabi Sulaiman beristirahat di padang pasir. Ia memeriksa (kelompok) burung, tapi ia tidak melihat burung Hud-hud. (Maka ia berkata: “Mengapa aku tidak melihat Hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir?)” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’an al-‘Adhîm, juz 6, hal. 184).
Ketika ia sedang menjelaskan makna atau peristiwa yang melatar-belakangi ayat tersebut, seorang Khawarij bernama Nafi bin al-Azraq menentang Ibnu Abbas. Dari argumentasinya, Nafi bin al-Azraq tidak meyakini kebenaran tafsir Ibnu Abbas. Ia tidak percaya jika burung Hud-hud dapat melihat ke dalam perut bumi dan menemukan sumber air. Dengan percaya diri ia mengatakan Ibnu Abbas telah kalah, bahkan sebelum ia mengemukakan argumentasinya. Maksud “kalah” di sini adalah, bahwa penjelasan Ibnu Abbas akan sangat mudah dipatahkan olehnya.
Argumentasi Nafi bin al-Azraq adalah, jika memang burung Hud-hud bisa melihat ke dalam tanah, mungkin saja ia akan terjebak oleh perangkap anak-anak yang menaruh biji dan menguburnya di dalam tanah untuk menangkapnya. Tapi Sayyidina Ibnu Abbas menjawab: “Celakalah engkau! Jika takdir telah ditetapkan, hilanglah penglihatan dan lenyaplah kehati-hatian.”
Jawaban ini menunjukkan bahwa secakap apa pun kemampuan seseorang atau makhluk tertentu, di titik tertentu mereka akan menemui takdirnya. Ketika mereka menemui takdirnya, standar logika yang berdasarkan kualifikasi atau kemampuan tidak bisa diterapkan lagi. Titik inilah yang kemudian dipahami oleh nenek moyang kita dengan pepatah: “Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan terjatuh juga.”
Penggunaan kata, “waihak!—celakalah kau!” merupakan bentuk teguran Ibnu Abbas kepada Nafi’ bin al-Azraq. Karena ia telah sombong dengan kebenaran versinya sendiri. Ia menganggap penafsiran lain yang berbeda dengannya salah tanpa melakukan analisa dan perenungan mendalam terlebih dahulu.
Kesombongan Nafi bin al-Azraq ditampilkan dengan mengatakan, “engkau telah kalah hari ini, wahai Ibnu Abbas.” Perkataan ini ia katakan sebelum ia mengemukakan argumentasinya. Artinya, ia telah sangat yakin akan kebenaran pendapatnya, dan yakin akan kesalahan pendapat Ibnu Abbas.
Setelah mendengar teguran dan jawaban Ibnu Abbas, Nafi’ bin al-Azraq menyadari kekeliruannya. Jika Allah telah menetapkan sesuatu, sepintar apa pun manusia, selihai apa pun tupai, secanggih apa pun teknologi, semuanya akan berjalan sesuai ketetapannya. Jika Allah menghendakinya jatuh, ia akan terjatuh; jika Allah menghendakinya berhasil, ia akan semakin berhasil. Sebab, tidak mungkin ada manusia yang selalu sukses, dan tidak mungkin pula ada manusia yang selalu gagal. Begitupun dengan makhluk Allah lainnya.
Karena itu, kita harus mawas diri dalam merasa. Jangan sampai kita merasa “paling” dalam segala hal, baik yang bersifat positif maupun negatif. Kisah di atas mengajarkan kita tentang pentingnya menghargai kebenaran eksternal, yaitu kebenaran yang berasal dari selain kita.
Di sisi lain, kisah di atas juga mengajarkan kita agar menghargai takdir. Karena setiap manusia memiliki passion yang berbeda-beda; profesi yang berbeda-beda; hobi yang berbeda-beda, dan lain sebagainya. Ini bukan berarti takdir tidak adil, bukan. Karena ketetapan Allah berjalan sepanjang kita hidup. Terkadang kita mendapatkan sesuatu yang kita inginkan; terkadang kita tidak mendapatkannya.
Karena itu, dalam jawabannya, Sayyidina Ibnu Abbas mengatakan, jika takdir telah ditetapkan, kehati-hatian bisa hilang dan penglihatan bisa lenyap, bahkan untuk burung Hud-hud yang memiliki keistimewaan sekalipun. Artinya, kemampuan, kelihaian, kecakapan, dan kelebihan sewaktu-waktu akan menemui ketidak-berfungsiannya.
Maka dari itu, kita harus terus berusaha dan berdoa, memohon kepada Allah agar terjauhkan dari kesombongan merasa “paling benar”, “paling beruntung”, dan “paling malang.” Pertanyaannya, bisakah kita melakukannya?
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU