Seperti yang telah diceritakan sebelumnya bahwa Syekh Abdul Qadir al-Jailani mendapatkan gelar ‘Raja Para Wali’ dengan sikap tunduk dan rendah diri. Begitu beliau sudah mendapatkan gelarnya, justru malah tidak mudah menjaga gelar itu dari godaan-godaan setan. Karena semakin tinggi kedudukan seseorang di hadapan Allah, maka ia harus siap menanggung ujian yang lebih berat lagi dari Tuhannya. Setan terus menggoda manusia dan para kekasih Allah hingga hari kiamat agar terjerumus dalam api neraka, tak terkecuali Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Dalam satu kisah, ketika Syekh Abdul Qadir al-Jailani lagi menyendiri beliau dikagetkan dengan datangnya sebuah cahaya besar yang memenuhi penjuru langit. Lalu bayangan itu datang dan memanggil beliau.
“Wahai Abdul Qadir aku ini Tuhanmu. Kamu adalah kekasihku, aku akan meringankan syariat untukmu. Apa yang aku haramkan sebelumnya, sekarang aku halalkan untukmu,” kata bayangan itu.
“Wahai yang terlaknat, pergi kamu sekarang dari hadapanku. Kalau tidak, akan aku hancurkan kamu,” jawab Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Begitulah setan menggoda para kekasih-Nya, ia mengaku dirinya sebagai Tuhan, agar Syekh Abdul Qadir al-Jailani percaya dan mengikuti perintah-Nya. Namun, Allah tidak akan membiarkan kekasih-Nya terjerumus ke dalam jalan yang salah. Setan diberikan kebebasan oleh Allah untuk menggoda manusia, sebagai manifestasi keadilan kepada seluruh makhluk-Nya.
Sesaat setelah kejadian dialog tersebut, tiba-tiba cahaya itu padam dan sedikit demi sedikit hilang dari pandangan Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Beliau terus menyendiri menikmati keindahan alam sebagai bukti kebesaran Allah. Tak lama kemudian, bayangan yang tadi menghilang, kembali memanggil Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam wujud kabut dan berkata;
“Kamu selamat dari godaanku wahai Abdul Qadir karena dua alasan; pertama karena ilmumu (fiqih) yang telah melekat dalam jiwamu, engkau mampu membedakan mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah). Kedua karena kondisi spiritualmu dan ibadahmu, Allah membukakan hatimu dan membimbingmu menuju jalan yang benar,” tegas kabut tersebut.
“Apa yang aku miliki saat ini, semuanya hanya milik Sang Pencipta. Aku selamat darimu berkat Tuhanku,” jelas Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
“Perlu kamu ketahui Abdul Qadir, aku telah menyesatkan sebanyak 70 orang ahli ibadah dengan cara seperti ini dan hanya kamu yang selamat. Dari mana kamu tahu bahwa aku ini Setan?” tanya kabut itu.
“Semua karena fadilah Allah, aku diberi petunjuk oleh-Nya melalui perkataanmu ‘Apa yang aku haramkan sebelumnya, sekarang aku halalkan untukmu’ dan saat itu aku yakin kamu adalah Setan. Karena kalau memang Allah ingin menghapus syariatnya, tentulah orang yang pertama kali akan terlepas dari syariat-Nya adalah para nabi, dan itu sangat mustahil,” jawab Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Melihat percakapan Syekh Abdul Qadir al-Jailani dengan Setan, sudah jelas bahwa keimanan dan ketakwaannya kepada Tuhannya begitu mendalam. Hal itu sudah barang tentu tidak lepas dari ilmu yang dimiliki beliau. Begitu pentingnya ilmu, tak heran jika Rasulullah selalu memohon tambahan ilmu kepada-Nya;
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِيْ عِلْماً
“Dan katakanlah Muhammad; ya Tuhanku, tambahkanlah aku ilmu pengetahuan.”
Ada hikmah menarik dari kisah di atas, bahwa kita harus selalu menimba ilmu. Karena dengan ilmu itu kita akan selamat dari godaan setan. Perlu di ingat bahwa setan tidak akan pernah berhenti menggoda manusia hingga kiamat. Sebagai manusia yang tidak lepas dari salah dan keliru, sudah sepatutnya terus belajar menempa diri dengan ilmu Allah. Sudah banyak di dalam Hadist maupun Al-Qur`an penjelasan akan pentingnya mencari ilmu.
Salah satu perbedaan antara manusia dengan yang lain adalah aspek akal. Dengan kelebihan itu, manusia dapat menerima ilmu. Sebagaimana Allah mengajarkan Nabi Adam akan nama-nama benda yang ada di muka bumi ini, dalam surat al-Baqarah ayat 31, Allah berfirman, “Dan dia ajarkan kepada Adam nama-nama benda semuanya kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat seraya berfirman; sebutkan kepada-Ku nama semua benda ini, jika kamu yang benar.”
Melihat firman Allah di atas, telah mafhum bahwa manusia memiliki kelebihan daripada makhluk yang lain. Namun, itu semua kembali kepada manusia itu sendiri bisakah manusia tersebut mempergunakan kelebihan itu sebaik mungkin? Perlu diketahui bahwa posisi manusia berada diantara setan dan malaikat. Jika manusia tidak mampu menguasai hawa nafsunya, maka ia lebih buruk daripada setan. Sebaliknya, jika manusia mampu menguasai hawa nafsunya dan mengikuti perintah-Nya, maka derajatnya lebih tinggi dari malaikat.
Wallahu A’lam
Kisah ini disadur dari kitab al-Fawâid al-Mukhtârah li Sâliki Ṭarîq al-Âkhirah karya Habib Ali bin Hasan Baharun.
Sumber: Situs PBNU