Salah satu sebab seseorang melakukan poligami adalah alasan personal sebagaimana terjadi pada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam atas permintaan istri pertama, Siti Sarah. Nabi Ibrahim memenuhi permintaan itu dengan menikahi Siti Hajar hingga lahirlah Nabi Ismail ‘alaihis salam dari rahim istri kedua tersebut. Permintaan itu dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa hingga usia mencapai lebih dari 80 tahun, Nabi Ibrahim belum dikaruniai seorang anak. Kasus ini mirip dengan yang terjadi pada Mbah Kiai Abdul Manan Solo. Bedanya, beliau menolak permintaan istri untuk poligami.
Mbah Kiai Abdul Manan adalah salah seorang pendiri Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta, didirikan pada tahun 1930-an. Beliau adalah ayah dari Mbah Kiai Ahmad Umar bin Abdul Manan yang mengasuh pesantren tersebut hingga beliau wafat pada tahun 1981.
Penolakan Mbah Kiai Abdul Manan untuk berpoligami meski diminta sendiri oleh istri beliau Mbah Nyai Mushlihah adalah karena memang beliau tidak pernah menginginkan poligami meski menikah tiga kali.
Perkawinannya dengan istri pertama berakhir mufaraqah yang tak bisa dihindarkan. Perkawinannya dengan istri kedua berakhir ketika sang istri mendahului wafat. Perkawinannya dengan istri ketiga, Mbah Nyai Mushlihah, langgeng hingga Mbah Mbah Kiai Abdul Manan wafat pada tahun 1964. Sedang Mbah Nyai Mushlihah sendiri wafat pada tahun 1981 beberapa minggu sebelum Mbah Kiai Ahmad Umar.
Pertanyaannya adalah mengapa Mbah Nyai Mushlihah minta dimadu dan mengapa pula Mbah Kiai Abdul Manan menolaknya?
Minta Dimadu
Berdasar penuturan salah seorang putri Mbah Kiai Abdul Manan, yakni Mbah Ngismatun Sakdullah Solo—biasa dipanggil Mbah Ngis (wafat 1994)—Mbah Nyai Mushlihah secara terus terang memohon kepada Mbah Kiai Abdul Manan sebagai suami untuk menikah lagi dengan alasan karena beliau merasa sudah tua dan tak sanggup lagi memenuhi kewajibannya melayani hubungan suami-istri setelah menopause (lanjut usia). Memang wanita yang sudah menopause pada umumnya mengalami banyak perubahan yang menyebabkan hilangnya gariah seksual dan menurunnya kemampuan berhubungan seks yang jika dipaksaan menimbulkan ketidaknyamanan baik secara fisik maupun psikis.
Jadi alasan permintaan Mbah Nyai Mushlihah kepada Mbah KH. Abdul Manan untuk berpoligami bersifat personal sebagaimana permintaan Siti Sarah kepada Nabi Ibrahim. Hanya bedanya, Siti Sarah belum dikaruniai seorang anak pun, sedangkan Mbah Nyai Mushlihah sudah dikaruniai anak yang dilahirkan sendiri lebih dari 6 orang termasuk Mbah Ngis. Untuk itu Mbah Nyai Mushlihah bersedia melamarkan siapa pun yang dipilih Mbah Kiai Abdul Manan untuk dijadikan madunya dengan maksud supaya hak-hak Mbah Kiai Abdul Manan sebagai suami tetap bisa terpenuhi karena libido seksual laki-laki bertahan sampai mati.
Meski Mbah Kiai Abdul Manan sadar bahwa sang istri rela dimadu, beliau menolak permintaan itu karena pada dasarnya beliau tidak menginginkan poligami. Tentu ada beberapa alasan yang pada intinya demi menghindari mudarat yang lebih besar daripada kemanfaatannya. Poligami sudah pasti berpotensi menimbulkan kecemburun dan permusuhan di antara para istri dan anak-anak sebagaimana Siti Sarah mencemburui Siti Hajar dan bersikap tidak ramah. Padahal kehadirannya sebagai istri kedua atas permintaan Siti Sarah sendiri.
Memilih Puasa
Di kalangan pesantren dikenal 3 tipologi kiai, yakni kiai ‘alim, kiai ‘abid dan kiai ‘arif. Secara sederhana, kiai ‘alim adalah kiai yang berpengetahuan ilmu agama luas dan banyak berkiprah di pengajaran ilmu-ilmu agama seperti di pesantren atau majelis-majelis ta’lim. Kiai ‘abid adalah kiai yang ahli ibadah dan banyak menghabiskan waktu dan tenaganya untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sedangkan kiai ‘arif adalah kiai yang menonjol ilmu hikmahnya dan banyak riadhah sehigga menjadi sosok yang arif bijaksana. Mbah Kiai Abdul Manan lebih menonjol sebagai kiai 'arif.
Mbah Kiai Abdul Manan dalam menyikapi persoalan personalnya dengan Mbah Nyai Mushlihah yang sudah “meminta pensiun” dari tugas melayani urusan kasur bukannya menceraikan sang istri lalu menikah lagi dengan dalih menghindari perzinahan. Nafsu seksual laki-laki memang terus hidup selama hayat masih di kandung badan. Tetapi poligami bukan satu-satunya cara untuk mengatasi persoalan personal berupa syahwat. Ada cara lain, yakni berpuasa, sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim: “Puasa adalah perisai (peredam) syahwat.”
Cara berpuasa itulah yang dipilih Mbah Kiai Abdul Manan dalam mencari solusi terbaik mengatasi persoalan syahwat di saat Mbah Nyai Mushlihah Abdul Manan sudah tidak sanggup lagi memenuhi kewajibannya karena sudah udzur. Mbah Kiai Abdul Manan mampu menjawab persoalan hukum (fiqih) dengan jawaban moral (akhlak) yang tentu saja lebih luhur karena puasa merupakan ibadah satu-satunya untuk Allah dan Dia sendiri yang akan membalasnya sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits qudsi riwayat Bukhari:“Semua amal manusia adalah miliknya, kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah milik-Ku dan Aku yang akan memberikan balasannya.”
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!