Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang berwatak keras, tegas, dan berkemauan kuat. Ia tidak segan-segan melakukan sesuatu meski berisiko tinggi jika itu menurutnya benar. Ketika belum masuk Islam, Umar begitu lantang menentang dakwah Nabi Muhammad. Begitupun ketika dirinya sudah memeluk Islam. Dia begitu lantang mendakwahkan Islam. Menantang siapa saya yang menentang Islam.
Umar bin Khattab adalah seorang sahabat yang mendesak Nabi Muhammad untuk berdakwah secara terang-terangan. Menurut Umar, tidak seharusnya kebenaran didakwahkan dengan diam-diam. Ia siap melindungi dan menjadi tameng manakala ada elite Quraisy yang menyerang Nabi Muhammad gara-gara menyebarkan Islam dengan terang-terangan. Apa yang diharapkan Umar bin Khattab akhirnya menjadi kenyataan setelah turun wahyu untuk berdakwah secara terang-terangan.
Umar bin Khattab juga dikenal sebagai orang yang sangat adil. Apa yang dilakukannya selalu berada dalam garis keadilan. Status sosial dan kedekatannya dengan Nabi Muhammad tidak membuatnya berlaku seenaknya kepada yang lainnya. Bahkan, ketika menjadi khalifah kedua—menggantikan Abu Bakar—pun Umar bin Khattab terus menjunjung tinggi keadilan. Tidak pongah dan tidak berlaku semena-mena sesuai dengan kehendaknya, meski kekuasaan ada di tangannya.
Dalam Hayatush Shahabah (Syaikh Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi, 2019) diceritakan, suatu ketika Umar bin Khattab terlibat perselisihan dengan Abbas bin Abdul Muthalib terkait persoalan tanah. Saat itu, Abbas memiliki sepetak tanah dan rumah di pinggir Masjid Nabawi. Umar bin Khattab yang ketika itu menjabat Amirul Mukminin meminta agar Abbas menjual tanah dan rumah tersebut. Dengan demikian, Umar bisa memperluas Masjid Nabawi.
Abbas menolak permintaan sang Amirul Mukminin tersebut. Umar tidak menyerah. Ia kemudian meminta agar Abbas menghibahkan rumah dan tanahnya untuk sang khalifah. Sehingga khalifah bisa memperlebar Masjid Nabawi. Abbas kembali menolak.
"Kalau begitu, tambahkanlah sendiri rumahmu ke area masjid," pinta Umar yang masih keukeuh membujuk Abbas agar melepaskan tanahnya. Lagi-lagi Abbas menolak.
Dengan sedikit memaksa, Umar meminta agar Abbas memilih di antara tiga permintaannya itu. Abbas pun tetap menolak. Akhirnya Umar meminta agar ada sahabat yang menengahi mereka. Keduanya sepakat menunjuk Ubay bin Ka’ab sebagai juru penengah untuk menyelesaikan perselisihan mereka.
Setelah mendengar keterangan di atas, Ubay bin Ka’ab berpendapat bahwa Umar bin Khattab tidak bisa mengusir Abbas bin Abdul Muthalib dari tanah dan rumahnya sendiri jika dia memang tidak rela. Mendengar jawaban seperti itu, Umar bin Khattab lantas bertanya apakah yang dikatakan Ubay tersebut ada dasarnya dalam Al-Qur’an atau pun hadits Nabi.
Ubay bin Ka’ab menjawab bahwa dirinya pernah mendengar Nabi Muhammad bersabda, "Sesungguhnya Sulaiman bin Daud as. membangun Baitul Maqdis. Salah satu dindingnya selalu roboh setiap kali ditegakkan. Kemudian Allah mewahyukan kepadanya, ‘Jangan bangun di atas tanah milik seseorang sebelum mendapatkan kerelaan," kata Ubay.
Umar bin Khattab tidak lagi mendesak Abbas untuk menyerahkan tanahnya setelah mendengar penjelasan dari Ubay bin Ka’ab. Ia mundur dari perselisihan dengan Abbas. Namun ternyata, beberapa saat setelah itu Abbas menghibahkan tanahnya. Ia menambahkan rumahnya ke area Masjid Nabawi.
Demikianlah sikap Umar bin Khattab. Dia tidak merampas tanah seseorang yang dikehendakinya meskipun saat itu dirinya menjabat sebagai khalifah. Ia tidak memanfaatkan jabatan dan kekuasaannya untuk meraih apa yang diinginkannya. Karena Umar selalu bermusyawarah jika terlibat dalam sebuah perselisihan.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!