Kisah tentang Kiai Hamid ini saya dengar langsung dari Kiai Masyhudi, Sanan Kulon Blitar sekitar tahun 2007-2008 sebelum beliau wafat.
Santri Kiai Baidlowi Lasem yang merupakan paman Kiai Hamid ini bercerita kepada saya waktu saya sowan ke ndalem beliau.
“Kamu tanya saja Abahmu (mertua; KH. Idris Hamid), apa pernah Kiai Hamid ke Baghdad.”
“Lha begitu kyai, ada apa?” jawab saya.
“Iya, sebab awal tahun 80-an, saat aku berangkat haji, di Masjidil Haram pas shalat Jumat. Aku bersandingan dengan Syekh Hasan dari Baghdad, Irak. Beliau terus ngajak kenalan, yo pasti pakai bahasa Arab, tanya namaku dan asalku”.
Yo tak jawab .. “Ana min Jawa Syarqiyah”(Saya dari Jawa Timur).
Lha kok beliau langsung tanya:
“Halla ta’lam Syaikh Abdal Hamid min Pasuruan?” (Apa kamu mengenal Kiai Hamid dari Pasuruan)
Ya tak jawab, “Thob’an, huwas syaikhuna al-masyhur li ‘ilmih” (Tentu, beliau adalah guru kami yang terkenal karena kealimannya).
“Terus Yai, kok bisa Syekh Hasan bisa kenal Kiai Hamid?” tanya saya.
“Ya akhirnya beliau tak tanya dan bercerita. Tiap haul Syekh Abdul Qadir al-Jailani di Baghdad, Kiai Hamid mesti hadir dan menginap di rumah Syekh Hasan tersebut. Itu tiap tahun lho, kata beliau..”.
Saya pun makin khusyuk mendengarkan lanjutan cerita Kiai Masyhudi.
“Usai sholat Jumat sebelum pisah, Syekh Hasan langsung dawuh “Sallim lis syaikh Abdil Hamid, wa qul ana fintidzorih ‘amal muqbil” (Sampaikan salam saya kepada Kiai Hamid, saya tunggu beliau di rumah saya tahun depan).
“Terus Yai?” saya bertanya penasaran.
“Selesai pulang haji, ya sekitar beberapa hari, aku langsung sowan Kiai Hamid di Pasuruan. Lha ndilalah pas sampai di depan ndalem beliau, Kiai Hamid seperti sudah nunggu aku dan langsung manggil aku.”
Usai salaman sungkem, Kiai Hamid langsung mbisiki di telingaku.
“Nak Masyhudi, jangan diceritakan kepada siapa saja ya kalau telah bertemu Syekh Hasan. Salam sudah saya terima, alaika wa alaihis salam. Saestu (beneran) ya, jangan sampai diceritakan kepada siapa saja.”
Kiai Masyhudi pun langsung tertawa saat bercerita itu, sedangkan saya makin ndomblong mendengar cerita beliau.
“Ya Allah, yo seperti itulah para waliyullah tenanan. Aku belum cerita kok yo Kiai Hamid sudah tahu duluan,” sahut Kiai Masyhudi mengomentari cerita beliau.
Saya yang ndomblong pun hanya bisa berkata:
“Lha apa Kiai Hamid memang pernah datang ke Baghdad, Yai?” tanya saya kepada beliau.
“Lha makanya, kamu tak omongi supaya tanya kepada abahmu. Tanyakan, apa pernah Kiai Hamid ke Baghdad. Lha aku sudah dipeseni Kiai Hamid supaya tidak cerita-cerita kok. Adapun sekarang aku cerita kepada kamu sebab Kiai Hamid wis sedho (wafat). Tapi aku gak yakin Kiai Hamid pernah ke Baghdad. Kalaupun pernah datang ke Baghdad, itu paling cuma ruh dan bukan jasadnya.”
“Lha kok bisa Yai” tanya saya.
“Lha waliyullah itu kan ada yang dikasih ilmu ‘fakkur ruh’ (ilmu membelah ruh) dan ilmu ‘thoyyul ardl’ (melipat bumi) sama Gusti Allah. Sehingga bisa hadir d tempat lain dan bumi lain pada saat bersamaan. Makanya, tanyakan kepada abahmu ya, apa tahu Kiai Hamid ke Baghdad.”
Saya pun yang penasaran dan berkecamuk pertanyaan hanya bisa jawab:
“Injeh siap Yai..” jawab saya kepada Kiai Masyhudi.
Lama setelah itu, saya pun bertemu dengan abah mertua saya, Kiai Idris Hamid. Hingga saya pun bertanya: “Ngapunten abah, apa abah pernah melihat Simbah Kiai Hamid itu sering berangkat Baghdad tiap tahun?” tanya saya.
Dan beliau pun langsung menjawab:
“Tidak pernah. Sepengetahuanku sih abah (Kiai Abdul Hamid) tidak pernah ke luar negeri kecuali ke Makkah untuk menjalani ibadah haji. Kalaupun pernah ke selain Makkah, ya tidak tiap tahun. Ada apa?” tanya beliau kepada saya.
Pikiran dan perasaan saya pun langsung berkecamuk takjub mendengar jawaban itu. Dan saya tidak ada kata untuk menjawab beliau kecuali jawaban singkat.
“Tidak abah, cuma tanya saja..”
Sambil pikiran dan perasaan saya berkata: “Ya Allah, subhanallah.. La haula wala quwwata illa billah…”
|
Mbah Hamid Pasuruan |
Walhasil sering masyarakat kita di hari ini sudah kesulitan untuk menjelaskan apa itu waliyullah, apa makna ma’rifat billah, bagaimana hakikat akhlakul karimah hingga makna tawassul dan tabarruk. Maka biarlah cerita Kiai Hamid ini menjelaskan.
Intinya Kiai Hamid tidak mungkin akan menjadi waliyullah dan mendapat karomah ma’rifatbillah tanpa menjaga keagungan akhlak sebagai manusia, menjauhi syuhroh (ketenaran) dan kegemaran beliau untuk selalu bertawassul dan bertabarruk kepada pemimpin para wali Allah, Syekh Abdul Qodir Jailani sebagai bagian kebutuhan mutlak dalam bersuluk thoriqot yang beliau jalani.
Dan itulah makna pesan Kiai Hamid kepada Gus Ali Masyhuri Tulangan Sidoarjo yang disampaikan dengan bahasa kiasan, “Lamun gak iso budal dewe, nunuto!”. Artinya, jika tidak mampu untuk dekat kepada Allah sendiri, maka menumpanglah kepada orang yang dekat kepadaNya. Itulah makna tawassul dan tabarruk yang diajarkan Kiai Hamid kepada kita.
Sehingga jangankan menyebutkan dalam tawassul doa dan dzikir, Kiai Hamid saja tidak pernah absen untuk mengikuti haul Syekh Abdul Qodir al-Jailani di Baghdad, panutan beliau. Bagaimana dengan kita manusia biasa yang penuh dosa akibat maksiat selalu merasa paling baik dan benar ini?
Kepada Alm. KH. Abdul Hamid , Al-fatihah.
Mudah mudahan kita selalu mendapatkan sir dan barokah dari wali-wali Allah SWT, dikumpulkan nanti bersama beliau semua, dan semoga Allah SWT melimpahkan keberkahan kepada kita semua dalam hidup dan mati dalam membawa iman.
Penulis: Kyai Ainur Hasan
Sumber: bangkitmedia.com