Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal mencatat sebuah riwayat tentang Nabi Musa ‘alaihissalam yang kebingungan bersyukur. Berikut riwayatnya:
Abdullah bercerita, Ayahku mengabarkan, Hasyim mengabarkan, Shalih mengabarkan, dari Abu Imran, dari Abu al-Jald, ia berkata:
Musa berkata: “Tuhanku, bagaimana cara(ku) bersyukur kepada-Mu, sedangkan nikmat terkecil yang Engkau letakkan di sisiku, termasuk nikmat-nikmat-Mu yang tidak mungkin berbalas dengan semua amalku?”.
Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa, (Allah berfirman): “Wahai Musa, sekarang ini engkau sudah bersyukur kepada-Ku.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, hal. 85)
Dalam beragama banyak hal yang perlu diperbincangkan, termasuk “syukur”. Allah berfirman:
“Dan (ingatlah juga) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami tambah nikmat kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sungguh azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
Namun, banyak orang yang tidak tahu bagaimana seharusnya ekspresi syukur itu, karena kadar nikmat yang Allah berikan kepada kita tidak mungkin diimbangi dengan semua amal baik kita. Belum lagi dosa yang semakin menjauhkan kita. Sampai Nabi Musa ‘alaihissalam bingung bagaimana cara mensyukuri nikmat Allah yang sedemikian banyak, bahkan yang terkecilnya saja tidak sanggup diimbangi oleh semua amalnya.
Di sinilah Allah menunjukkan kasih sayang-Nya. Salah satu nama-Nya (al-Asma’ al Husna) adalah, “al-Syakur—Yang Maha Mensyukuri”, yaitu Allah mengapresiasi semua amal yang dilakukan hamba-Nya. Bahasa zaman sekarangnya, Allah itu Maha Mengapresiasi, dan menerima amal hamba-Nya, sekecil apapun itu. Dalam sebuah hadits diceritakan:
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata: “Suatu ketika ada laki-laki yang berjalan di sebuah jalan, ia menemukan dahan berduri lalu menyingkirkannya. Maka Allah berterima kasih kepadanya (menerima amalnya), kemudian Allah mengampuninya.” (HR. Imam Muslim)
Dalam hadits di atas, ada kalimat, “Allah berterima kasih kepadanya,” yang mengindikasikan diterimanya amal laki-laki tersebut. Artinya, setiap kali ada hamba-Nya yang beramal, Allah akan berterima kasih dengan cara menerima amalnya. Dan, kisah di atas merupakan gambaran termudah dari sifat “al-Syakur” Allah.
Kita pun harus tahu, bahwa kebingungan Nabi Musa adalah kebingungan yang bernilai tinggi. Kebingungan yang berasal dari ketaatan dan kesalehannya. Bukan kebingungan sembarangan. Karena tidak banyak orang yang memandang dirinya terlebih dahulu sebelum bersyukur. Mereka hanya bersyukur saja, tanpa repot mentafakkuri begitu melimpahnya nikmat Allah, yang jika dibahasakan tidak ada kalimat yang bisa melukiskan keberlimpahannya.
Dalam kebingungannya itu, Nabi Musa ‘alaihissalam menampilkan penghambaannya. Karena ia tahu begitu banyak nikmat Allah di sekelilingnya, hingga ia merasa tak pantas “berterima kasih”. Jika yang terkecil saja masih terlalu besar andai ditimbang dengan semua amalnya, apalagi nikmat-Nya yang terbesar. Inilah yang dimaksud kebingungan yang berasal dari kesalehan, karena orang shaleh terbiasa mengukur dirinya sendiri terlebih dahulu; apakah ia laik atau tidak. Oleh sebab itu, tidak sedikit para wali yang kebingungan dalam bersyukur, hingga sebagian dari mereka berdoa:
“Ya Allah, sungguh Engkau mengetahui ketidak-mampuanku bersyukur sesuai dengan (semua karunia)-Mu, maka bersyukurlah pada Diri-Mu sendiri sebab (ketidak-mampuan)ku (itu).” (Imam Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, Kitab al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, hal. 71)
Akan tetapi, bukan berarti kita berhenti bersyukur. Kita harus tetap bersyukur atas nikmat-nikmat Allah. Jika kita berhenti bersyukur karena alasan di atas, artinya kita telah menyamakan diri kita dengan Nabi Musa; kita telah menyamakan kualitas kesalehan kita dengannya. Padahal, Nabi Musa, dalam kisah di atas, sedang mempersembahkan syukur dalam level tertingginya. Hadirnya perasaan “tak pantas” yang dirasakannya bukanlah rekayasa, dibuat-buat atau dipelajari, melainkan ketulusan rasa yang dihasilkan dari tafakkur diri dan sekitarnya.
Paling tidak, kita bisa mensyukuri nikmat Allah dengan berusaha istiqamah mengingat-Nya di hati, lisan dan perbuatan; mengenali pemberian-Nya dan memanfaatkannya di jalan kebaikan, seperti yang dikatakan Imam Ibnu Mandhur, “’irfânul ihsân wa nasyruhu—(syukur adalah) mengetahui kebaikan dan menyebarkannya.” (Imam Abu al-Fadl Jamaluddin Muhammad bin Mandhur al-Anshari, Lisân al-‘Arab, Kairo: Darul Ma’arif, tt, juz 4, h. 2305). Dalam bahasa hadits dikatakan, “khairunnâs anfa’uhum linnâs—sebaik-baiknya mansuia adalah yang paling bermanfaat untuk lainnya.”
Sebagai penutup, kita perlu menghayati doa Nabi Musa di bawah ini, karena bedoa juga termasuk bentuk syukur kepada Allah. Bila perlu, kita seringkan membaca doa di bawah ini:
اللَّهُمَّ لَيِّنْ قَلْبِي بِالتَّوْبَةِ، وَلَا تَجْعَلْ قَلْبِي قَاسِيًا كَالْحَجَرِ
“Ya Allah, lunakkan hatiku dengan taubat, dan jangan jadikan hatiku mengeras seperti batu.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, hal. 85)
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU