Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal mencatat satu riwayat yang berisi wasiat atau nasihat yang diberikan Nabi Isa kepada para pengikutnya. Berikut riwayatnya:
Abdullah bercerita, ayahku bercerita, Hasyim bercerita, Shaleh mengabarkan padaku, dari Abu Imran al-Jauniy, dari Abu al-Jald, bahwa sesungguhnya Isa bin Maryam ‘alaihissalam berwasiat kepada hawari-hawarinya (sahabat/murid):
“Janganlah kalian banyak bicara tanpa mengingat Allah ‘Azza wa Jalla, karena hati kalian akan membatu. Sesungguhnya orang yang membatu hatinya jauh dari Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi dia tidak mengetahuinya. Janganlah kalian memandang dosa-dosa manusia seakan-akan kalian adalah tuhan. Sebaliknya, kalian harus memandang dosa-dosa kalian seakan-akan kalian adalah budak. Manusia itu ada dua: (1) orang yang diberi kesehatan, dan (2) orang yang diuji (dengan musibah). Maka, berkasih-sayanglah pada orang-orang yang diuji karena musibah (yang menimpa) mereka, dan pujilah Allah atas (anugerah) sehat (yang diberikan-Nya).” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, hal. 73)
Nasihat Nabi Isa ‘alaihissalam di atas adalah penyejuk. Ia tak menyukai kekerasan. Ucapannya adalah penanda, bahwa perkataan tanpa hati yang tertaut dengan Allah mudah tergelincir dan menggelincirkan, apalagi jika perkataan itu berjumlah-jumlah. Karena itu, ia menempatkan dzikir (ingat) kepada Allah sebagai pembatasnya. Ia takut perlahan-lahan hati manusia akan mengeras. Ketika hati manusia sudah mengeras, ia akan jauh dari Allah, tapi mereka tak merasakannya.
Nabi Isa berkata: “Sesungguhnya orang yang membatu hatinya jauh dari Allah ‘Azza wa Jalla tapi dia tidak mengetahuinya.” Kata, “tidak mengetahuinya,” ini agak berbahaya. Karena mereka tidak merasa jauh dari Allah, bahkan terkadang merasa dekat dengan-Nya. Akibatnya, mereka mudah menilai orang lain, apalagi jika yang dinilainya adalah seorang pendosa, mereka akan berlagak selaiknya tuhan. Ini yang ditakuti Nabi Isa ‘alaihissalam dari murid-muridnya, para hawari itu. Sebab, mereka adalah orang yang mempelajari ilmu kebenaran. Ilmu yang bisa membedakan kebaikan dan keburukan, sehingga akan sangat terang bagi mereka, mana perbuatan dosa dan amal; mana pendosa dan ahli ibadah.
Karena itu, Nabi Isa menambahkan nasihatnya: “Janganlah kalian memandang dosa-dosa manusia seakan-akan kalian adalah tuhan. Sebaliknya, kalian harus memandang dosa-dosa kalian seakan-akan kalian adalah budak.” Nasihat ini digunakan sebagai penghidup kesadaran mereka. Nabi Isa ingin menjauhkan murid-muridnya dari perasaan unggul dalam amal, yang bisa menyebabkan kebencian terhadap pelaku dosa, bukan terhadap dosanya. Ketika kebencian telah menggunung, kasih sayang akan tenggelam ke dasarnya. Untuk menghindari itu, Nabi Isa menekankan pentingnya melihat ke dalam diri, melakukan perjalanan ruhani, menelusuri lekuk-lekuk jiwa, dan meraba terbolak-baliknya hati. Dengan cara menganggap dosa-dosa mereka sendiri laiknya budak, yang tidak memiliki kuasa apa-apa dan dikuasai, hingga mereka merasa rendah sekaligus merasa berhak dikasihani Tuhan.
Dengan menggunakan kata “budak”, Nabi Isa mengembalikan manusia ke tempatnya semula, sebagai yang dinilai (objek), bukan yang menilai. Hanya Allah-lah yang berhak menilai, dan manusia hanyalah makhluk yang dinilai. Karena itu, Nabi Isa ‘alaihissalam memerintahkan murid-muridnya jangan banyak bicara dan menilai dosa orang lain seakan-akan diri kalian adalah tuhan. Jika mereka melakukannya, tidak hanya mereka telah menyerobot hak Tuhan, tapi juga merenggangkan ruang dakwah yang seharusnya dimasuki.
Apa yang dikatakan Nabi Isa bukan tanpa dasar. Sebagai seorang nabi, tentu Nabi Isa mendapat petunjuk langsung dari Allah. Dalam satu riwayat dikatakan:
“Abdullah bercerita, ayahku bercerita, Sayyar bercerita, Ja’far bercerita, Malik bin Dinar bercerita kepada kami, ia berkata: “Allah mewahyukan kepada Isa ‘alaihissalam. (Dia berfirman): “Wahai Isa, nasihatilah dirimu sendiri (terlebih dahulu). Jika engkau sudah menasihati dirimu (sendiri) maka nasihatilah manusia, (jika engkau belum melakukannya) maka malulah kepada-Ku.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, hal. 71)
Nabi yang tugas utamanya menyampaikan pesan-pesan Allah (berdakwah) diharuskan menasihati dirinya sendiri sebelum menasihati orang lain, apalagi kita. Namun, kita seringkali lupa kedudukan kita sebagai yang “dinilai”. Kita terlalu sibuk menilai orang lain, hingga kita lupa meraba diri sendiri. Padahal, kebaikan dan keburukan ada di setiap manusia. Sebaik-baiknya manusia pasti pernah berdosa, dan sejahat-jahatnya manusia pasti pernah berpahala. Jika syarat untuk menasihati orang lain saja harus menasihati diri sendiri, apalagi menilai. Syarat apa yang dibutuhkan sampai Nabi Isa sendiri tak terlalu berani melakukannya, bahkan Allah memerintahkannya untuk “tahu malu”, apalagi kita manusia biasa.
Pada kalimat selanjutnya Nabi Isa memberitahu murid-muridnya bahwa manusia terbagi dua; pertama, orang yang diberi kesehatan (mu’afan), dan kedua, orang yang diuji dengan musibah (mubtalan). Dua pembagian tersebut bukan predikat pasti, melainkan perputaran roda kehidupan; terkadang di atas, terkadang di bawah. Setiap manusia pasti mengalami “ganti peran” dalam kehidupannya. Beberapa tahun lalu ia masuk kategori pertama, beberapa tahun kemudian ia masuk kategori kedua. Karena seringnya manusia berganti peran, Nabi Isa memerintahkan murid-muridnya untuk mengasihi dan bersyukur, sesuai dengan peran yang tengah dijalaninya, bukan malah saling memaki dan menjatuhkan.
Dengan mengatakan, “maka, berkasih-sayanglah pada orang-orang yang diuji karena musibah (yang menimpa) mereka, dan pujilah Allah atas (anugerah) sehat (yang diberikan-Nya),” Nabi Isa ‘alaihissalam ingin membangun pergaulan hidup selaras. Baginya, keberuntungan bukan alat untuk menghina dan merendahkan orang lain, dan kemalangan bukan keadaan yang perlu disesali berlebihan. Karena “mu’afan” dan “mubtalan” adalah kategorisasi keadaan, bukan sebuah predikat permanen. Artinya, siapapun orangnya pasti mengalami dua keadaan tersebut. Karena itu, Nabi Isa menghendaki manusia belajar dari hidupnya yang seperti roda, dan merasai kenyamanan dan kesusahannya sekaligus, kemudian mulai memandang orang lain dari kacamata yang lebih luas, tidak hanya dari “keberuntungan” dan “kemalangan”. Tujuannya adalah, agar tercipta budaya saling asuh, tolong menolong dan maju bersama. Mungkinkah itu terjadi?
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU