Prinsip persatuan umat telah diajarkan Al-Qur’an bahwa umat Islam harus berpegang pada tali Allah secara menyeluruh dan jangan terpecah belah. Pernyataan Al-Qur’an yang termaktub dalam Al-Qur’an surah Ali ‘Imran ayat 103 itu juga secara filosofis menjadi pijakan pokok para kiai untuk memaknai tali yang melingkar dalam lambang Nahdlatul Ulama.
Persatuan, baik dalam lingkup umat Islam dan umat manusia akan mewujudkan kekuatan tak tertandingi. Namun, kekuatan tersebut juga harus disertai ilmu, wawasan, dan pengetahuan yang luas sehingga selaras dengan ajaran atau syariat Islam. Prinsip-prinsip inilah yang terus dipegang oleh pendiri NU, KH. Muhammad Hasyim Asy’ari. Nilai-nilai universal Islam menjadi sesuatu yang fundamental dalam melakukan setiap perjuangan.
Kiai Hasyim Asy’ari beberapa kali melakukan perlawanan kultural terhadap penjajah yang ia kemas dengan spirit ajaran Islam. Dalam konteks melakukan perlawanan terhadap penjajah, Kiai Hasyim Asy’ari tidak segan-segan mengeluarkan fatwa haram bagi santri yang pakaiannya menyerupai penjajah Belanda. Tentu saja fatwa tersebut tidak bisa digunakan di setiap zaman sebab konteks fatwa itu untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah.
Kabar-kabar penting terkait perjuangan dan pergerakan nasional selalu Kiai Hasyim Asy’ari sampaikan melalui utusan dan surat tertulis. Kabar yang disampaikan tidak jarang berisi pesan berharga kepada kiai-kiai pesantren di Jawa dan Madura terkait strategi dalam menghadapi penjajah.
Tercatat ialah Kiai Mahfudz Siddiq, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Abdullah Ubaid, dan Kiai Muhammad Ilyas merupakan kiai-kiai muda yang tidak asing namanya di kalangan pesantren. Mereka merupakan ‘kurir-kurir’ KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Chasbullah untuk membawa pesan-pesan untuk dunia pesantren terkait kepentingan agama, bangsa, dan negara.
|
Foto Asli KH. Hasyim Asy'ari |
Di antara pesan yang ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari kepada para ulama pesantren di Jawa dan Madura tentang pentingnya persatuan ialah:
“Perkokoh persatuan kita, karena orang lain juga memperkokoh persatuan mereka. Kadang-kadang suatu kebatilan mencapai kemenangan disebakan mereka bersatu dan terorganisasi. Sebaliknya, kadang-kadang yang benar menjadi lemah dan terkalahkan lantaran bercerai-berai dan bersengketa.” (KH. Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren)
Selain terus berupaya memperkokoh jam’iyah dan jamaah NU, Kiai Hasyim Asy’ari juga selalu mendorong persatuan umat Islam yang kala itu telah terwadahi di berbagai ormas Islam. Sebab, sengketa dan perselisihan dipastikan terjadi. Jangankan perbedaan pendapat di antara berbagai macam ormas Islam, dalam wadah satu organisasi pun tidak jarang perbedaan pendapat muncul dan berkembang.
Dalam kondisi berselisih, penjajah mudah dalam mempengaruhi masyarakat. Hal ini dipandang sebagai kerugian besar secara sosial dan moral karena justru akan menjadikan eksistensi penjajah semakin kuat. Dari pintu ke pintu dan dari utusan ke utusan, Kiai Hasyim Asy’ari tidak pernah lelah menggelorakan persatuan bangsa dan persatuan umat Islam.
Apalagi jika melihat beberapa tokoh masyarakat dan pejabat lokal yang cukup bangga dan terbuai dengan tipu daya Belanda dalam wujud penghargaan. Namun, politik dalam bentuk penghargaan oleh Belanda tersebut tidak membutakan mata KH. Hasyim Asy’ari. Apalagi Kiai Hasyim Asy’ari tidak pernah memikirkan perjuangan atau jasa yang telah dilakukan untuk rakyat Indonesia.
Pada tahun 1937 misalnya, pernah datang kepada Kiai Hasyim Asy’ari seorang ambtenar (utusan pemerintah Hindia-Belanda) bermaksud memberikan tanda jasa berupa ‘Bintang Jasa’ yang terbuat dari perak dan emas. Tetapi dengan tegas kakek KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menolak pemberian itu. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU)
Sikap ayah Kiai Wahid Hasyim itu tidak lepas dari pandangan bahwa apa yang dilakukan Belanda hanya intrik politik semata untuk menundukkan sikap kritis dan perjuangan para kiai pesantren dalam melawan penjajah. Lalu, Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari pun bergegas mengumpulkan santrinya lalu berkata:
“Sepanjang keterangan yang disampaikan oleh ahli riwayat, pada suatu ketika dipanggillah Nabi Muhammad SAW oleh kakeknya Abdul Muthalib dan diberitahu bahwasanya pemerintah jahiliyah di Mekkah telah mengambil keputusan menawarkan tiga hal untuk Nabi Muhammad: 1. kedudukan yang tinggi; 2. harta benda yang berlimpah; dan 3. gadis yang cantik. Akan tetapi Baginda Nabi Muhammad SAW menolak ketiga-tiganya itu dan berkata di hadapan kakeknya, Abdul Muthalib: “Demi Allah, seandainya mereka itu mampu meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku dengan maksud agar aku berhenti berjuang (berdakwah), aku tidak akan mau. Dan aku akan berjuang terus sampai cahaya Islam merata ke mana-mana, atau aku gugur lebur menjadi korban.” Maka, kamu sekalian anakku (santri-santriku), hendaknya dapat meneladani Baginda Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi segala pesoalan.”
Kiai Hasyim Asy’ari merupakan salah satu ulama yang mempunyai sikap tegas terhadap penjajah. Perlawanan terhadap penjajah yang dilakukan oleh Kiai Hasyim Asy’ari dan kawan-kawan tidak hanya dilakukan secara fisik, tetapi juga perlawanan kultural. Di mana segala sesuatu yang yang berkaitan dengan penjajah tidak mendapat kompromi.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!