“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah : 36)
Ayat 36 surah At-Taubah di atas menyebutkan bahwa “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan.” Bulan yang dimaksud dalam ayat ini adalah bulan menurut tahun Qamariyah (tahun Hijriyah) yang didasarkan pada perhitungan waktu menurut peredaran bulan. Dewasa ini dikenal dua sistem penanggalan, yaitu penanggalan Masehi yang menggunakan sistem solar (orbit Bumi mengitari Matahari) dan penanggalan Qamariyah/Hijriyah yang menggunakan sistem Lunar (orbit Bulan mengitari Bumi). Sekalipun sistem Lunar tidak bisa menghitung kapan terjadi pergantian musim, namun ia mempunyai keunggulan untuk menentukan kapan terjadi bulan baru dan purnama. Karenanya, sistem ini bisa digunakan untuk menentukan kapan terjadinya air surut dan air pasang, sesuatu yang tidak bisa dilakukan Sistem Solar.
Dalam lanjutan ayat ini disebutkan “Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu,…” Redaksi ayat ini sebenarnya menyinggung sikap masyarakat Jahiliyah waktu itu yang selalu mengganti bulan haram sesuai kehendaknya karena keperluan perburuan dan peperangan. Akan tetapi, jika dipahami secara global dengan disesuaikan fakta, kita bisa membandingkan dengan penggunaan kalender Masehi, dimana terjadi pengunduran tanggal kalender 4 tahun kebelakang yang dilakukan Julius Caesar untuk kepentingan politik keagamaan. Tapi akhirnya 16 abad kemudian usaha tersebut tidak tepat lagi dengan musim di masa kepemimpinan Paus Gregory VIII yang kemudian menetapkan penanggalan musim baru, yang merubah 4 Oktober 1582 menjadi tanggal 15 Oktober, dengan menjadikan Februari 28 hari dan 29 hari sekali dalam 4 tahun, yang dulunya 30 hari.2 Sehingga bisa dikatakan antara penanggalan Masehi dan Qamariyah, jauh lebih abadi penanggalan Qamariyah sebab penanggalan Masehi tidak selamanya dapat menyesuaikan dan mengukur pergantian musim, sebab waktu tiap musim akan berubah seiring dengan atmosfir bumi yang terus terpuruk.
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus : 5)
Kata (قدره منازل) qaddarahu manazila yakni tempat-tempat bulan dalam perjalanannya mengitari matahari, setiap malam ada tempatnya dari saat ke saat sehingga terlihat di bumi selalu berbeda sesuai dengan posisinya dengan matahari. Kejadian inilah yang menjadikan manusia untuk menentukan bulan-bulan qamariyah.
Jelas adanya bahwa Al-Qur’an telah mengungkapkan seputar bulan yang akan menjadi alat pengukuran bagi manusia untuk menentukan tahun. Al-Qur’an mengungkapkan fakta bahwa perhitungan ini akan dilakukan menurut posisi bulan ketika ia bergerak mengikuti orbitnya. Karena sudut diantara bumi, bulan, dan matahari selalu berubah yaitu ketika melihat bulan dalam bentuk berbeda pada waktu yang berbeda. Jadi pada intinya wajah bulan bercahaya yang kita lihat dari bumi berubah-ubah itu menjadikan manusia dapat menghitung masa setahun. Perhitungan dibutuhkannya bulan untuk mengelilingi bumi yakni satu bulan sama dengan 29 hari, 12 jam, dan 44 menit.
Semua itu menunjukkan bukti keesaan Allah swt. dalam pemeliharaan kepada makhluk-Nya. Allah telah menciptakan matahari dan bulan tidak lain adalah untuk kemanfaatan bagi kelangsungan kehidupan manusia. Termasuk kemanfaatan yang didapat adalah penemuan penanggalan qamariyah yang saat ini masih tetap menjadi acuan dalam menjalankan syari’ah Islam.
Wallahu A’lam
ADS HERE !!!