Suatu hari, ketika sedang bersanding dengan Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha, Nabi Muhammad saw. berujar:
“Tidakkah kamu tahu wahai Aisyah, dulu kaummu itu (kaum kafir Quraisy) ketika membangun Ka’bah, mereka mengurangi luas bangunannya dan menggeser pondasinya dari yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim?”
Demikian Nabi Muhammad bertanya. Tentu saja Aisyah heran, mestinya bukan perkara susah bagi Nabi untuk melakukan sesuatu atas bangunan Ka’bah. Beliau Nabi, pemimpin masyarakat, serta disegani orang-orang Quraisy di Makkah, dan kala itu Islam sudah menyebar pesat, mengapa perlu pertimbangan soal renovasi Ka’bah itu?
“Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak menggesernya saja ke posisi semula?” Demikianlah Aisyah akhirnya bertanya balik.
Nabi menjawab, “Ya, seandainya tidak memerhatikan keadaan masyarakatmu yang masih dibayangi ajaran-ajarannya sebelum masuk Islam, juga adanya kaum kafir Quraisy yang sudah lama di sana, tentu telah kugeser pondasi itu.”
Kisah di atas diriwayatkan dalam kitab hadits Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dalam pembahasan perihal renovasi Ka’bah. Islam datang membawa banyak tatanan baru untuk masyarakat. Namun nilai yang sudah ada tentu bukan perkara mudah, termasuk juga merombak infrastruktur yang telah melekat dengan identitas suatu kaum.
Melalui kisah percakapan Nabi dan Aisyah di atas, bisa saja Rasulullah saw. menggunakan pengaruh dan kekuasaan beliau untuk memugar Ka’bah sebagaimana asal mulanya ketika dibangun Nabi Ibrahim. Meskipun memahami pentingnya pengubahan itu, beliau tidak serta merta melakukannya. Konon, Ka’bah pada masa Nabi itu dikurangi luasnya oleh masyarakat Quraisy sebelum datangnya Islam, karena kurangnya perhatian soal itu dan masih kuatnya budaya pagan.
Bagaimanapun, Nabi Muhammad adalah sosok lemah lembut. Imam an-Nawawi menerangkan mengapa Rasulullah memilih untuk menahan ego beliau atas kebenaran sejarah, dengan mendahulukan kepentingan masyarakat secara luas.
“Dalam hadits (kisah) ini ada dalil kaidah hukum, di antaranya adalah ketika terdapat dua kebaikan yang bertentangan, atau ada pertentangan antara maslahat dan dampak buruk, namun susah untuk melakukan kebaikan dan menghindari keburukan secara bersamaan, maka hal yang lebih penting mesti didahulukan.” (Imam an Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Al Hajjaj, juz 9, hal. 90)
Rasulullah tahu bahwa mengembalikan pondasi bangunan Ka’bah sebagaimana didirikan Nabi Ibrahim adalah suatu kebaikan. Namun, ia akan mendatangkan masalah yang lebih besar, yaitu masyarakat Makkah yang baru saja masuk Islam akan merasa bahwa mengusik bangunan Kabah, yang sudah ada sejak dulu, adalah masalah besar. Nabi memahami persoalan ini.
Selain itu, dikhawatirkan akibat perombakan Ka’bah tadi, kelak masyarakat kafir Quraisy Makkah yang merasa terusik akan mengganggu kewajiban syariat kaum muslimin, seperti shalat, zakat dan haji. Bangunan Ka’bah yang sudah mereka rawat sejak lama di Makkah tentu memiliki makna tersendiri bagi mereka, dan itu tidak bisa ditawar.
Imam al-Qasthalani menyebutkan dalam karyanya “Irsyadus Sari li Syarh Shahih al Bukhari”, Juz 3, hal. 146, bahwa kisah di atas menunjukkan agar seorang muslim mampu menimbang dampak buruk dari dua atau lebih permasalahan yang menimpanya, lantas dapat memprioritaskan pencegahan akan keburukan yang lebih besar.
Dalam kasus kisah membangun Ka’bah di atas, Rasul menilai membangun Ka’bah bisa ditunda lebih dulu. Beliau lebih mengutamakan keimanan dan keamanan kalangan umat muslim baru, serta merawat kohesi sosial dengan kaum kafir Quraisy yang sudah memugar dan merawat Ka’bah sebelumnya. Dua alasan tersebut, demi kaum muallaf dan non-muslim, membuat Nabi memilih menahan diri dari perombakan Ka’bah, lantas mendahulukan kerukunan dan menghargai simbol masyarakat yang sudah ada sebelumnya.
Barangkali kisah ini relevan dengan kondisi masyarakat kita. Bukan semata karena memiliki kuasa, atau merasa memiliki argumen yang lebih benar, lantas mengabaikan kerukunan dan kedamaian yang ada. Bahkan termasuk dengan kalangan kaum non-Muslim. Kerukunan, tenggang rasa, dan kemanusiaan lebih penting dari mutlak-mutlakan membela kebenaran secara arogan.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU