Adalah Nu’aiman bin Amr bin Rafa’ah seorang sahabat Rasulullah yang terkenal suka melawak dan jahil. Ia adalah sahabat dari kalangan Anshar. Meski wataknya yang suka melucu, Nu’aiman juga seorang mujahid sejati Islam. Ia merupakan Ashabul Badr karena ikut terlibat dalam Perang Badar bersama Rasulullah dan para sahabat yang lainnya.
Nu’aiman banyak membuat lelucon atau tingkah konyol –bahkan kejahilan- hingga membuat Rasulullah dan para sahabat lainnya tida kuat menahan tawa. Yang menjadi target kejahilannya tidak hanya sahabat, tapi juga Rasulullah.
Lantas bagaimana sikap Rasulullah terhadap sahabatnya yang suka melawak –bahkan jahil- seperti Nu’aiman tersebut? Apakah Rasulullah pernah marah dengan sikap usil Nu’aiman? Ataukah Rasulullah menganggapnya biasa saja? Lalu bagaimana kalau ada sahabat yang tersinggung dengan keusilan Nu’aiman, bagaimana Rasulullah ‘meredam’ hal itu?
Dari beberapa kisah tentang Nu’aiman di buku “Yang Jenaka dari M Quraish Shihab” (Quraish Shihab, 2014) dan buku “Dari Canda Nabi & Sufi Sampai Kelucuan Kita” (A. Mustofa Bisri, 2016), kita bisa menarik beberapa kesimpulan tentang sikap Rasulullah terhadap Nu’aiman.
Pertama, memakluminya. Pada umumnya Rasulullah dan para sahabat maklum tentang karakter Nu’aiman yang suka melucu. Rasulullah juga biasa saja ketika menjadi sasaran kejahilan Nu’aiman dalam membuat lelucon. Selama tingkah polah Nu’aiman tidak melanggar ajaran agama Islam, mungkin selama itu pula akan dimaklumi.
Misalnya cerita Nu’aiman menghadiahi Rasulullah madu. Diceritakan bahwa suatu hari Nu’aiman ingin menghadiahi Rasulullah seguci madu. Namun karena ia tidak memiliki uang, maka akhirnya Nu’aiman menyuruh penjual madu untuk mengantarkan madunya kepada Rasulullah, sebagai hadiah kepada Rasulullah.
“Nanti kamu minta juga uang harganya,” kata Nu’aiman kepada penjual madu.
Saat bertemu Rasulullah, penjual madu tersebut mengatakan sebagaimana yang diminta Nu’aiman. Rasulullah memberikan sejumlah uang kepada penjual madu itu. Jadilah Rasulullah mendapatkan hadiah madu, sekaligus tagihan harganya.
Setelah kejadian itu, Rasulullah memanggil Nu’aiman. Beliau menanyakan mengapa Nu’aiman melakukan hal itu.
“Saya ingin berbuat baik kepada Anda ya Rasulullah, tapi saya tidak punya apa-apa,” jawab Nu’aiman sehingga membuat Rasulullah tersenyum.
Kedua, mengganti kerugian akibat kejahilan Nu’aiman. Tidak hanya memaklumi Nu’aiman, bahkan Rasulullah mengganti kerugian akibat kejahilan yang dilakukan sahabatnya itu. Selain cerita di atas, ada satu kejadian yang membuat Rasulullah mengganti apa yang telah diperbuat Nu’aiman. Meski demikian, Rasulullah tidak marah. Bahkan beliau tersenyum karena apa yang dilakukan Nu’aiman memang ‘menggelitik.’
Ceritanya, suatu ketika para sahabat berkata kepada Nu’aiman bahwa sudah lama tidak makan daging unta. Mereka lantas memiliki ide untuk menyembelih unta seseorang yang tengah bertamu kepada Rasulullah. Nu’aiman langsung saja menyambut ide tersebut. Unta tamu Rasulullah tersebut akhirnya jadi disembelih Nu’aiman.
Tamu Rasulullah yang mengetahui untanya disembelih tersebut langsung mengadu kepada Rasulullah. Setelah ditanya, para sahabat yang memiliki ide makan daging unta tersebut menjawab bahwa yang melakukan itu adalah Nu’aiman. Salah seorang dari mereka lalu menunjukkan kepada Rasulullah dan tamunya tempat persembunyian Nu’aiman.
Saat ditanya Rasulullah mengapa melakukan itu, jawaban Nu’aiman malah membuat Rasulullah tersenyum.
“Tanyakan saja kepada orang yang menunjukkan kepadamu tempat persembunyianku,” jawab Nu’aiman.
Rasulullah lalu memberikan ganti rugi kepada pemilik unta tersebut dengan jumlah yang lebih daripada cukup.
Ketiga, melarang sahabat lain mencela Nu’aiman. tidak semua orang suka dan maklum dengan tingkah Nu’aiman yang jahil dan usil seperti itu. Pasti ada saja pihak-pihak yang jengkel dan tidak suka dengan tingkah laku Nu’aiman. Terkait hal ini, Rasulullah sudah memberikan rambu-rambu. Rasulullah melarang para sahabatnya untuk mencela Nu’aiman.
“Jangan lakukan itu (mencela Nu’aiman) karena dia mencintai Allah dan Rasul-Nya,” kata Rasulullah.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU