Ketika santrinya semakin banyak, KH. Manab Abdul Karim didatangi oleh utusan dari Magelang, tempat kelahiran beliau, yang meminta beliau untuk pulang ke Magelang dan mendirikan pesantren di sana. Serta sudah disediakan masjid, rumah dan tanah yang bisa menunjang kehidupan beliau.
Mbah Kiai Manab menyerahkan kepada Nyai Dlomroh binti KH. Sholeh, sang istri, untuk menjawabnya. Nyai Dlomroh pun menjawab dengan ucapan yang ditujukan kepada Mbah Kiai Manab;
“Kiai, kalau njenengan pulang ke Magelang, silakan. Tapi pulangkan saya ke bapak saya. Tapi bila njenengan tetap disini, maka njenengan fokus mengaji dan ngopeni santri, sementara untuk urusan ma’isyah (kebutuhan sehari-hari) saya yang menyanggupi.”
Demikianlah, Nyai Dlomroh setiap harinya berangkat ke pasar Bandar untuk berjualan kebutuhan dapur, kulakan dari daerah pegunungan Besuki, juga kain batik yang langsung dibatik dengan tangan beliau sendiri. Seiring waktu, beliau mulai menyewa sawah yang ternyata sukses sehingga bisa membeli sawah sendiri, bahkan bisa membeli tanah yang berada di sekitar tempat tinggal beliau.
|
Mbah Manab dan Nyai Dlomroh |
Alhasil, semua tanah komplek asrama santri pondok pesantren Lirboyo yang lama dan yang kemudian ditinggali oleh putra-putri dan cucu beliau di Lirboyo adalah hasil dari jerih payah beliau.
Sumber: bangkitmedia.com
ADS HERE !!!