Postingan saya kemarin, bid’ah mendapatkan pujian dari Sang Pengutus Nabi Muhammad, kali ini sebuah bid’ah justru mendapat restu Nabi kita Muhammad.
Monggo renungkan hadits dibawah ini, pelajari dari kalimat perkalimat:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، كَانَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ، وَكَانَ كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً يَقْرَأُ بِهَا لَهُمْ فِي الصَّلاَةِ مِمَّا يَقْرَأُ بِهِ افْتَتَحَ: بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا، ثُمَّ يَقْرَأُ سُورَةً أُخْرَى مَعَهَا، وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ، فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ، فَقَالُوا: إِنَّكَ تَفْتَتِحُ بِهَذِهِ السُّورَةِ، ثُمَّ لاَ تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ بِأُخْرَى، فَإِمَّا تَقْرَأُ بِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا، وَتَقْرَأَ بِأُخْرَى فَقَالَ: مَا أَنَا بِتَارِكِهَا، إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِذَلِكَ فَعَلْتُ، وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ، وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِهِمْ، وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ، فَلَمَّا أَتَاهُمُ النَّبِيُّ أَخْبَرُوهُ الخَبَرَ، فَقَالَ: «يَا فُلاَنُ، مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ، وَمَا يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُومِ هَذِهِ السُّورَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ» فَقَالَ: إِنِّي أُحِبُّهَا، فَقَالَ: «حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الجَنَّةَ»
“Anas bin Malik Berkata: Ada seorang laki-laki dari kaum Anshar mengimami shalat ahli Quba’ di Masjid Quba’, ketika dia membaca suatu surat (setelah Al-Fatihah) ia membaca surat dan mengawalinya dengan bacaan Qul Huwa Allahu (surat Al-Ikhlas) sampai selesai, kemudian (setelah itu) baru membaca surat yang lain bersamanya, ia melakukan itu setiap rakaat, Maka teman-temannya para penduduk Quba’ berkata kepadanya, “Kamu membuka bacaanmu dengan surat ini (Al-Ikhlas), lalu kamu tidak melihat surat ini sudah cukup bagimu sehingga kamu masih membaca surat lain? Ingatlah, kamu membaca surat al-Ikhlas saja, atau surat itu kamu tinggal dan membaca surat lain (saja)”, Dia menjawab, “Aku tidak (akan pernah) meninggalkannya, kalau kalian senang aku mengimami shalat dengan caraku yang demikian, aku akan melakukannya, tapi kalau kalian tidak suka, maka aku akan meninggalkan kalian (tidak mengimami shalat kalian)”. Para penduduk Quba’ melihat dia adalah orang terpandang diantara mereka, dan mereka tidak suka kalau diimami oleh selain dia. (seperti biasanya) Ketika Nabi datang kepada mereka ke Quba’ mereka memberitahukan kepada Nabi, lalu Nabi berkata kepada sang imam, “Hai Fulan apa yang mecegahmu/melarangmu untuk melakukan apa yang diperintahkan teman-temanmu kepadamu?, dan apa yang yang membebanimu untuk selalu melanggengkan membaca surat itu (al-Ikhlas) dalam setiap rakaat?”, Dia menjawab, “Aku mencintainya”, Nabi bersabda, “Cintamu kepadanya (surat Al-Ikhlas) akan memasukkanmu ke surga”. (HR. Bukhari, Turmudzi dan Baihaqi)
Hadits diatas menunjukkan bahwa:
1.) Seseorang terpandang di Quba’ mengimami shalat, setelah membaca surat Al-Fatihah, dia tidak langsung membaca surat apapun, tetapi sebelum membaca sebuah surat apapun dia mendahului/mengawali dengan bacaan surat Al-Ikhlas, setelah Al-Ikhlas baru membaca surat lainnya.
2.) Dia membaca surat Al-Ikhlas pada kisah diatas atas inisiatif dan ijtihad sendiri, bukan atas petunjuk Nabi
3.) Bahkan perbuatannya tidak disenangi oleh teman-temannya sendiri sesama sahabat Nabi
4.) Dilaporkanlah perbuatannya itu kepada Nabi, ketika Nabi berkunjung ke Quba’, harap diketahui Nabi Muhammad, setiap hari Sabtu selalu berkunjung ke Quba’,
5.) Setelah Nabi Muhammad saw. bertanya kepada si pelaku: “Apa alasan kamu selalu membaca surat Al-Ikhlas dalam setiap rakaat”, sungguh sederhana jawabannya: “Aku mencintainya”
6.) Rasulullah tidak menyalahkan, juga tidak melarang tapi justru bersabda: “Cintamu kepadanya menjadikanmu masuk surga”.
Dengan jawaban Rasulullah diatas حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الجَنَّةَ “Cintamu kepadanya menjadikanmu masuk surga”, sungguh jawaban seorang yang layak merahmati semua alam semesta “Rahmatan Lil-Alamin”
Kembali disini sebuah amalan yang tidak dipaketkan oleh Rasulullah, tetapi inisiatif seorang sahabat sendiri, bahkan sempat dilarang dan tidak disukai oleh sesama sahabat, tapi juga direstui oleh Junjungan Nabi Agung Muhammad.
Kenapa amalan ini yang tanpa paket dari Rasulullah, beliau tidak melarangnya dan justru merestuinya, karena tidak ada alasan apapun untuk melarangnya, karena amalan itu sudah Wafaqo وافق الكتاب والسنة sesuai dengan ajaran Allah Jalla Jalaluh wa Azza Dzikruh dan ajaran Sunnah Nabi.
Juga kenapa sahabat berani mengamalkan amalan tanpa contoh Nabi, mengapa mereka tidak bertanya dahulu?
Dalam hal bersuci mereka yang meniru amalan orang Yahudi, berani melakukan tanpa bertanya lebih dahulu, jarak Quba’ dengan kediaman Nabi tidak jauh, dan Nabi pun setiap pekan (hari Sabtu) juga hadir di Quba’?
Itu artinya mereka berkeyakinan hal yang baik, dimatanya sendiri (kasus membaca surat Al-Ikhlas) atau di mata orang banyak (kasus bersuci dengan air), sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, maka akan baik bagi Allah atau Rasul-Nya.
Bukankah ada haditsnya, monggo sama-sama dicari ya haditsnya,
هذا والله أعلم بالصواب وهو الموفق الى أقوم الطريق والهادي الى سواء السبيل
Oleh: KH. Muhammad Hanif Muslih, Pengasuh Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak.
Sumber: bangkitmedia.com