Mungkin banyak di antara kita sebagai warga Nahdliyyin, khususnya para santri merasa gerah melihat banyaknya ulama NU yang berkecimpung ke dalam urusan politik. Bahkan sebagian dari kita berpikiran negatif (su’udhon) terhadap ulama tersebut, karena kita tidak bisa membedakan “politik kyai” dan “kyai politik”, serta menganggap politik itu kotor.
Sejak Indonesia belum merdeka sampai saat ini, ulama (Kyai) Nahdlatul Ulama tidak alergi dengan politik. Selalu menjadi kekuatan penyeimbang dan sangat berperan dalam perpolitikan nasional. Para muassis NU pun juga berkiprah dalam dunia politik.
Salah satu kyai khos NU, ulama dari tanah Banten, yakni Abuya Muhtadi bin Abuya Dimyati Al-Bantani juga berperan aktif dalam perpolitikan nasional. Beliau sering berjalan bergandengan tangan mesra dengan para petinggi negara, sering keluar masuk istana negara, dan tak luput dari hinaan serta cacimakian karena dianggap ulama su’ yang haus jabatan dan kemewahan dunia oleh mereka yang memang tidak suka dengan NU. Padahal mereka sendiri yang selalu berusaha merebut jabatan dan kekuasaan di negara ini.
Kita yang tidak paham langkah dan sepak terjang kyai NU dalam politik, sebagian dari kita akan merasa gerah melihat apa yang dilakukan oleh kyai kita, bahkan kita kehilangan adab karena ikut berprasangka buruk, karena kita beranggapan secara saklek bahwa derajat ulama itu lebih tinggi daripada umara, serta ulama yang berpolitik itu turun derajatnya.
Ada suatu kisah dimana Kyai Marzuki adalah murid Kiai karismatik Abuya Dimyati Cidahu, Pandeglang, Banten. Sebagai alumni Pesantren Cidahu, beliau merasa kurang “sreg” melihat salah satu putra kiainya mondar mandir keluar masuk istana, aktif dalam partai politik, sekaligus menjadi “ulama pemerintah”. Kekurang sreg-an ini beliau simpan saja di dalam hati.
Suatu malam Kyai Marzuki bermimpi mobilnya mogok di suatu tempat yang beliau merasa sangat mengenal tempat itu. Sambil menunggu mobilnya diperbaiki di sebuah bengkel, beliau mengelilingi tempat itu yang ternyata sebuah pesantren. Beliau memasuki kobong-kobong (bilik kamar) santri, mengambil air wudlu di jeding (kolam) santri dan shalat dua rakaat di mushala pesantren.
Selesai shalat, Kyai Marzuki dipanggil oleh montir mobil, dan dengan segera beliau menghampiri pemilik bengkel. Namun, ketika mau membayar biaya perbaikan mobil, beliau kaget karena pemilik sekaligus montir mobilnya adalah Abuya Muhtadi yaitu putra dari gurunya (Abuya Dimyati). Montir itu memakai peci putih, rambut dan brewoknya sudah berwarna putih dan seluruh pakaiannya blepotan terkena oli.
Kiai Marzuki terbangun. Beliau terus-menerus mengucap istighfar dan berkali-kali tawassul kepada Abuya Dimyati.
“Saya kapok bersu’udhon terhadap Kyai. Abuya Dimyati ini memang ‘landep’ (tajam). Saya langsung ditegur dikasih isyarah lewat mimpi. Saya percaya anak seorang waliyullah pasti dilindungi doa ayahnya,” kata Kyai Marzuki.
Sebagaimana isyarat dalam mimpi, saya yakin Abuya Muhtadi ini masuk dunia politik bukan untuk kekuasaan, popularitas, apalagi tujuan duniawiyah (materi).
“Jangan samakan dengan kita yang masih muda. Orang seperti beliau memasuki pusat kekuasaan untuk membenahi dari dalam, seperti montir mobil yang diisyaratkan dalam mimpi,” ujarnya.
Orang yang bekerja di dunia kotor, lanjut Kiai Marzuki, pasti akan terkena kotoran. Tapi kotoran itu tak akan sampai mengotori hati dan tubuhnya karena sejak awal niatnya sudah bersih, tulus, dan ikhlas.
Tampaknya darah politik mengalir dari ayahnya. Di masa Orde Baru, Abuya Dimyati pernah menjadi Jurkam partai politik (PPP). Beliau kemudian ditangkap dan dijebloskan penjara. Di dalam penjara, beliau membaca hizib yang menyebabkan seluruh sipir penjara terkena diare (mencret). Beliau akhirnya dikeluarkan. Sejak saat itu Sang Kiai mundur dari dunia politik dan memilih istiqomah di pesantren.
Abuya Dimyati tak silau terhadap harta dan kekuasaan. Abuya istirahat dan tinggal di kobong mushalanya.
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu santri Abuya Dimyati. Wakil Presiden Tri Sutrisno dan BJ. Habibie pernah bertamu dan disuruh menunggu lantaran Sang Kyai sedang mengaji.
Dan hari kemarin, 26 Desember 2018 Abuya Muhtadi genap berusia 65 tahun. Teriring doa kita bersama, semoga Abuya panjang umur dan berlimpah barokah, sehingga bisa membimbing kita semua.
Dan semoga kita dapat berkah dari ulama, khususnya dari para kyai NU, wabil khusus dari Abuya Muhtadi Cidahu, Pandeglang, Banten.
Sumber: bangkitmedia.com