Pada suatu musim haji, Thawus bin Kaisan melihat Sayyid Ali Zainal Abidin (cicit Rasulullah) berdiri di bawah bayang-bayang Ka’bah, seperti orang yang tenggelam, menangis seperti ratapan seorang penderita sakit, dan berdoa terus-menerus seperti orang yang sedang terkena masalah yang sangat besar.
Setelah Sayyid Ali Zainal Abidin selesai berdoa, Thawus mendekat dan berkata kepadanya, “Wahai cicit Rasulullah, kulihat engkau dalam keadaan demikian, padahal engkau memiliki tiga keutamaan yang aku mengira bisa mengamankanmu dari rasa takut.”
Sayyid Ali Zainal Abidin bertanya, “Apakah itu, wahai Thawus?”
Thawus menjawab, “Pertama, engkau adalah keturunan Rasulullah saw. Kedua, engkau akan mendapatkan syafaat dari kakekmu, dan ketiga adalah rahmat Allah yang tercurah bagimu.”
Sayyid Ali Zainal Abidin menjelaskan:
“Wahai Thawus, garis keturunanku dengan Rasulullah saw. tidak menjamin keamananku setelah kudengar firman Allah: Kemudian ditiup lagi sangkakala, maka tidak akan ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu. (QS. Al-Kahfi: 99).
Adapun tentang syafaat kakekku, Allah telah berlirman: Mereka tiada memberi syafaat melainkan kepads orang yang diridai Allah. (QS. Al-Anbiya’: 28).
Sedangkan mengenai rahmat Allah, Allah telah berlirman: Sesungguhnya rahmat AIlah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-A’raf: 56).”
Thawus pun terdiam atas jawaban Sayyid Ali Zainal Abidin yang sulit dibantah. Ini adalah gambaran ketakwaan serta kepribadian yang agung dari seorang Sayyid Ali Zainal Abidin. Inilah pribadi yang menurunkan habib, sayyid, syarif, atau maulana. Inilah cermin bening dzurriyyah Rasulullah.
Sumber: bangkitmedia.com
ADS HERE !!!