Dalam kitab Shifat al-Shafwah, Imam Ibnu Jauzi mencatat sebuah riwayat tentang Imam Bakr bin Abdullah al-Muzani. Berikut riwayatnya:
Dari Kinanah bin Jablah al-Sulami, ia berkata: Imam Bakr bin Abdullah berkata: “Ketika kau melihat orang yang lebih tua darimu, katakanlah (pada dirimu sendiri): ‘Orang ini telah mendahuluiku dengan iman dan amal shalih, maka dia lebih baik dariku.’ Ketika kau melihat orang yang lebih muda darimu, katakanlah: ‘Aku telah mendahuluinya melakukan dosa dan maksiat, maka dia lebih baik dariku.’ Ketika kau melihat teman-temanmu memuliakan dan menghormatimu, katakanlah: ‘Ini (karena) kualitas kebajikan yang mereka miliki.’ Ketika kau melihat mereka kurang (memuliakanmu), katakan: ‘Ini (karena) dosa yang telah kulakukan.” (Imam Ibnu Jauzi, Shifat al-Shafwah, juz 3, hal. 248)
Sebagai pintu masuk memahami ungkapan di atas, kita harus membaca terlebih dahulu hadits nabi yang menjelaskan tentang dosa. Nabi saw. bersabda:
“Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya. Andai kalian tidak berbuat dosa, sungguh Allah akan melenyapkan kalian dan mendatangkan suatu kaum yang mereka akan berbuat dosa, kemudian mereka memohon ampun kepada Allah, maka Allah mengampuni mereka.” (HR. Muslim)
Hadits di atas perlu dipahami dengan cermat, karena bisa dianggap seolah-olah berdosa itu tidak masalah. Padahal titik beratnya bukan di situ. Dari kandungan maknanya, kita bisa temukan dua titik penting; pertama, pentingnya memohon ampunan kepada Allah, dan kedua, pengingat bahwa tidak ada manusia yang suci dari dosa, siapa pun orangnya kecuali para nabi.
Artinya, hadits tersebut adalah pengingat bagi manusia untuk tidak merasa “sok suci” dan “sok tidak memiliki dosa.” Di sinilah hikmah adanya dosa, sebagai penyeimbang dari pahala. Menurut para ulama, merasa berdosa lebih utama daripada merasa berpahala. Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) mengomentari hadits di atas dengan mengatakan:
“Ini (merasa berdosa) lebih disukai Allah daripada melakukan banyak ketaatan, karena tetapnya ketaatan terkadang membuat ujub pelakunya.” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Latha’if al-Ma’arif fi ma li-Mawasim al-‘Am min al-Wadha’if, hal. 57)
Apalagi jika ujubnya sudah sampai membuatnya menilai orang lain dengan buruk. Sebab, penilaian buruk terhadap orang lain, baik disadari atau tidak, berasal dari anggapan bahwa dirinya sudah baik, sehingga itu dijadikan ukuran dalam menilai orang lain. Karenanya sebagian ulama mengatakan: “Dosa yang membuatku butuh akan (ampunan)Nya lebih kusukai daripada ketaatan yang membuatku memamerkannya.” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Latha’if al-Ma’arif fi ma li-Mawasim al-‘Am min al-Wadha’if, hal. 57-58)
Prasangka baik harus kita dahulukan dalam menilai seseorang, sejahat apapun orang tersebut. Andai kita melihat ada hal-hal yang perlu diperbaiki dari orang tersebut, lakukanlah dengan ma’ruf. Apalagi jika orang yang kita nilai adalah orang yang kita kenal atau dikenal berilmu. Kita harus lebih berhati-hati. Maka, penting bagi kita untuk menjadikan nasihat Imam Bakr bin Abdullah al-Muzani (w. 108 H) sebagai pegangan sekaligus pengingat diri.
Imam Bakr al-Muzani menghendaki manusia untuk melihat dirinya sendiri sebelum menilai orang lain. Bisa jadi yang menilai tidak lebih baik dari yang dinilai. Ia memahami betul bahwa tidak mungkin manusia mengenal sepenuhnya orang yang hendak dinilainya. Mereka tidak selalu bersama-sama selama 24 jam, hanya melihat sebagiannya saja. Karena itu, sangat penting menilai diri sendiri sebelum menilai orang lain. Lagi pula menilai diri sendiri adalah perbuatan terpuji.
Persoalan lain yang ditimbulkan dari kegemaran menilai orang lain adalah lupa untuk menilai diri sendiri, padahal itu sangat penting. Kenapa penting? Karena untuk mengembalikan kesadaran kita sebagai manusia yang penuh dosa. Dengan menilai diri sendiri (muhasabah) kita bisa meraba-raba semua dosa kita, lalu memohon ampun kepada Allah. Kebanyakan manusia membaca istighfar tanpa merasakan dosanya, atau tanpa menyadari bahwa ia sedang memohon ampunan. Ia hanya tahu bahwa istighfar adalah penghapus dosa, tapi lupa akan ingatan dosa-dosanya. Hal ini terjadi, salah satunya, karena kelalaian manusia dalam membaca dirinya, apalagi jika sudah disibukkan dengan membaca yang lainnya.
Dengan mengikuti nasihat Imam Bakr al-Muzani, kita bisa memperoleh dua hal sekaligus; intropeksi diri (muhasabah) dan berbaik sangka (husnudhan). Keduanya merupakan jalan pembuka pendewasaan spiritual, dan di waktu yang sama menghadiai kita dengan pahala. Intinya, jangan anggap pahala sebagai tabungan, karena bisa membuat kita merasa lebih kaya dari yang lainnya. Anggaplah pahala sebagai bahan bakar yang membuat kita selalu berusaha berada di jalan-Nya.
Sebagai penutup, ada satu nasihat luar biasa dari seorang tabi’in, murid Sayyidina Anas bin Malik (10-93 H), Imam Abu Qilabah (w. 104 H) yang mengatakan:
“Jika sampai kepadamu informasi tentang perbuatan saudaramu yang engkau benci, carikan alasan (berbaik sangka) untuknya semampumu. Jika engkau tidak menemukannya, maka katakan pada dirimu sendiri: “Mungkin saudaraku mempunyai alasan yang tidak aku ketahui.” (al-Hafidz Abu Nu’aim al-Asfahani, Hilyah al-Auliya’ wa Thabaqat al-Asyfiya’, juz 3, hal. 285)
Maka, berhati-hatilah menilai sesamamu, siapa tahu ia memiliki amal yang lebih banyak darimu. Allahumma sallimna min fitnati hadzihiz zaman. Amin.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU