Dalam angan-angannya, tidak sedikit pun terlintas di benak Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk menggebu-gebu menjadi kepala negara (khalifah) menggantikan Rasulullah saw. yang wafat. Sifat lembut dan penyabarnya hanya membuat dia sibuk mengurus jenazah Nabi Muhammad saw. di saat sahabat lain berjibaku membicarakan transisi kepemimpinan. Abu Bakar ditemani Ali bin Abi Thalib ketika mengurus jenazah Rasulullah.
Dalam hal pergantian kekuasaan, sejarah mencatat bahwa sebelum wafat, Rasulullah tidak menunjuk siapa yang akan menggantikannya dalam kedudukan sebagai kepala Negara (khalifah). Namun, Rasulullah meninggalkan wasiat agar kaum mukminin untuk tetap berpegang pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi secara substansial. Di mana di dalam dua sumber utama umat Islam tersebut tradisi musyawarah (syura) diakui dan mendapat keutamaan tersendiri.
Dari petunjuk tersebut, sistem pemilihan dan pergantian khalifah didasarkan pada musyawarah atau kesepakatan umat, bukan semata-mata pertimbangan penunjukkan atau garis keturunan keluarga tertentu. Namun, pengelolaan negara dalam perspektif pergantian kekuasaan mengalami perkembangan sistem pemerintahan. Sehingga ada yang berbentuk dinasti, kerajaan (mamlakah), republik (syura), dan lain-lain.
Pasca Nabi Muhammad saw. wafat, prinsip musyawarah dalam pemilihan kepala negara telah berjalan dengan baik. Hal ini karena kaum Muslimin sudah terbiasa menerapkan prinsip ukhuwah Islamiyah, berupaya mengedepankan kesepakatan bersama (musawah) dan menerapkan hasil musyawarah dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang telah berjalan sejak era kenabian.
Namun demikian, di balik lancarnya musyawarah yang secara aklamasi menunjuk Abu Bakar sebagai kepala negara menggantikan Rasulullah, perdebatan sengit terjadi antara sahabat Anshar dan Muhajirin. Perdebatan tersebut merupakan sesuatu yang wajar sebagai prinsip keterbukaan dalam musyawarah. Tetapi belakangan berakhir pada pengakuan kesukuan.
Seperti diketahui, dalam musyawarah tersebut, suku Khazraj menunjuk Sa’ad bin Ubadah untuk menjadi khalifah pasca Rasulullah. Tapi suku Aus tidak bersedia menerima pencalonan Sa’ad karena mempertimbangkan pencalonan dari kaum Muhajirin. Suku Khazraj bersikukuh atas pendirian mereka untuk mengangkat khalifah meskipun dari kaum Muhajirin juga akan mempertahankan pendiriannya.
Terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah melalui pemilihan dan di dalamnya terdapat proses-proses yang terbuka. Keterbukaan tersebut ditunjukkan lewat perdebatan antara kaum Anshar dan Muhajirin. Namun akhirnya secara musyawarah mufakat yang terpilih ialah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Terkait perdebatan sengit tersebut yang berujung pada pengakuan kesukuan, akhirnya dapat ditengahi oleh Abu Bakar dalam pidatonya yang menyejukkan. Abu Bakar berhasil menyatukan kembali perbedaan dan perdebatan dua kubu tersebut. Substansi pidatonya diterima oleh seluruh kaum Anshar dan Muhajirin karena kesucian hati Abu Bakar yang tidak ada sedikit pun keinginannya untuk dilantik menjadi kepala negara.
Dikutip dari Ahmad Sya’labi dalam Mausuah Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyyah, Khamami Zada mengungkapkan pidato Abu Bakar sebagai berikut:
“Wahai manusia, sesungguhnya aku telah kalian percayakan untuk memangku jabatan khalifah, padahal aku bukanlah yang paling baik di antara kalian. Sebaliknya, kalau aku salah, luruskanlah langkahku. Kebenaran adalah kepercayaan, dan dusta adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di kalangan kamu adalah kuat dalam pandanganku, sesudah hak-haknya aku berikan kepadanya. Sebaliknya, orang yang kuat di antara kalian aku anggap lemah setelah haknya saya ambil. Bila ada yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menghinakannya. Bila kejahatan itu sudah meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana kepada mereka. Taatilah aku selama aku masih taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi selama aku tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya, gugurlah kesetiaan kalian kepadaku. Laksanakanlah shalat, niscaya Allah akan memberikanmu rahmat.”
Dari pidato Abu Bakar itu dapat ditarik poin-poin penting di antaranya, pertama, Abu Bakar mengakui bahwa dirinya bukanlah orang terbaik. Kedua, dia harus dibantu hanya selama dirinya berbuat baik dan harus diluruskan bila dia berbuat tidak baik. Ketiga, dia akan memberikan hak kepada setiap orang tanpa membedakan antara yang kuat dengan yang lemah. Keempat, ketaatan kepadanya tergantung pada ketaatannya kepada Allah.
Sebelumnya, saat Nabi Muhammad saw. sakit, Abu Bakar Ash-Siddiq diminta untuk menggantikan Rasulullah menjadi imam shalat. Permintaan Rasulullah ini menjadi diskusi para sahabat kala itu, sebagai tanda Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi pemimpin baru umat Islam. Namun seperti yang telah dijelaskan di awal, musyawarah tetap harus ditempuh oleh para sahabat dalam menetapkan pemimpin.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!