Suatu ketika dalam mukasyafahnya Khwajah Ubaidillah Al-Ahror (1404–1490) mendapatkan penglihatan (vision) untuk menguatkan agama Allah. Tugas berat ini memerlukan dukungan kekuasaan politik yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Beliau mendatangi Samarkand untuk menemui Mirza Abdullah bin Mirza Ibrahim bin Shahrukh penguasa kota tersebut.
Sesampainya di kota itu, seorang bangsawan menemuinya dan kepadanya beliau menceritakan tujuannya ke Samarkand. Bangsawan tersebut menanggapi dengan kasar dan mengatakan, “Raja kami masih muda dan abai. Adalah sulit untuk beraudiensi dengannya. Dan apa hubungannya para sufi dengan tugas tersebut?”
Mendengar itu Syaikh Ubaidillah Al-Ahror marah dan berkata, “Kami datang kemari bukan atas kemauan kami, tapi atas perintah Allah dan Rasul-Nya, untuk menjalin hubungan dengan raja. Jika rajamu tidak memiliki perhatian atas persoalan ini, maka kami akan membawa raja lain.”
Ketika bangsawan itu pergi, beliau menuliskan nama raja Abdullah di dinding dan kemudian menghapusnya dengan air ludahnya dan berkata, “Misi kita tidak akan bisa diemban oleh raja ini dan bangsawan-bangsawannya.”
Kemudian beliau meninggalkan Samarkand pada hari itu juga. Bangsawan tersebut meninggal seminggu setelah itu dan sebulan kemudian Sultan Abu Sa’id Mirza tiba-tiba muncul dari timur Turkistan dan mengalahkan Sultan Mirza Adullah.
Itulah sepenggal kisah seorang Sufi Agung pada abad 15 di Asia Tengah dalam percobaannya pertama kalinya melakukan pendekatan politik pada penguasa lokal saat itu. Kebesaran namanya menembus wilayah kekuasaan dinasti Timurid yang menandai bahwa ketinggian spiritualnya telah menjadi payung dan pengarah dari kekuatan politik duniawi.
Sufi yang “King Maker”
Beliau lahir di desa Shash pada bulan Ramadhan tahun 806 H/1404 M di sekitar Tashkent (Ibu kota Uzbekistan sekarang). Pada usia 22 tahun beliau dikirim ke sekolah keagamaan di Samarkand, namun beliau keluar yang menandakan keengganannya pada dunia akademik dan memilih untuk mencari dan menjalani “laku” kebatinan. Beliau menghadiri forum-forum pembelajaran sufistik hingga akhirnya berlabuh pada bimbingan Syaikh Ya’qub Charqi, seorang khalifah Maulana Bahauddin Naqsyaband, imam dari Tarekat Naqsyabandiyah.
Keterlibatannya dalam dunia politik dimulai dalam konteks ancaman kehancuran dinasti Timurid akibat perebutan kekuasaan antara pangeran pasca meninggalnya Raja Syahrukh pada tahun 1447. Ulugh Begh, putranya segera menggantikan posisinya. Ia seoarang raja yang intelektual. Dua tahun berkuasa, ia dibunuh oleh putranya yang haus kekuasaan Abdul al-Latif.
Sejak itu dinasti Timurid berubah menjadi arena perebutan kekuasaan para penguasa lokal. Peperangan sering terjadi antara penguasa yang merupakan keturunan dari Timur Lenk. Tiadanya kontrol politik terpusat pada gilirannya melahirkan warlord-warlord (emir/pemimpin) yang melakukan tindakan sewenang-wenang dengan penindasan dan penghisapan ekonomi terhadap rakyat dengan menarik pajak yang mencekik.
Menghadapi fakta ini, beliau mengonsolidasi masyarakat sipil yang saat itu merupakan jejaring bisnis yang berafiliasi pada perusahaannya. Kemudian membangun semacam upaya proteksi yang dikenal dengan sistem himayat. Sistem ini kurang lebih bekerja dalam bentuk patronase dan perlindungan di sekitar area pertanian dan aktivitas perdagangannya yang terorganisir rapi. Jaringan ini berisi kelompok petani, tukang (pengrajin) dan para pedagang yang bekerja padanya dan mendapat perlindungan dari tindasan para warlord yang sering kali memungut pajak di luar batas kemampuan.
Bersamaan dengan itu, beliau melakukan proses screening demi menyeleksi kepemimpinan politik yang paling layak untuk dijadikan penguasa Asia Tengah saat itu dengan dukungan kekuatan spiritualnya yang sangat luar biasa. Tidak hanya menjalin hubungan baik dengan penguasa yang sudah established sebagaimana tokoh agama kebanyakan, beliau menciptakannya, ikut terlibat dalam pembangunan sebuah rezim. Tim sukses jika hari ini. Dan pilihan beliau jatuh pada Sultan Abu Said Mirza yang merupakan salah satu pembesar di dinasti Timurid yang saat itu menguasai wilayah Turkistan. Sultan Abu Said kemudian menjadi murid beliau. Dengan dukungan spiritualnya Sultan Abu Said menguasai Samarkand pada tahun 1451. Sang Sultan kemudian memintanya untuk menjadi penasihat kerajaannya.
Menurut dosen dan peneliti senior di Universitas Haifa, Israel, Itzchak Weismann dalam bukunya The Naqshbandiyya (dipublikasi oleh Routledge, 2007), misi politik Syaikh Ubaidillah Al-Ahror adalah untuk melindungi apa yang bisa diterjemahkan sebagai civil society di jamannya. Sasaran utamanya terdiri dari dua hal; pertama, untuk mencegah peperangan antara para pangeran di dinasti Timurid. Kedua, untuk menghapus sistem pajak “turko-mongol” yang disebut dengan tamgha dan sangat mencekik rakyat kecil yang dipraktekkan oleh para komandan perangnya.
Kedua sasaran di atas meniscayakan kepiawaian beliau dalam memediasi dan menjadi negosiator antara penguasa yang saling bermusuhan dan antara masyarakat dengan kelas elit penguasanya pada saat bersamaan. Upaya untuk hal pertama di atas dibuktikan dengan keberhasilan beliau untuk menyudahi pengepungan kota Samarkand oleh putra Mirza Adullah pada tahun 1454 dan menuntaskan pemberontakan-pemberontakan terhadap Sultan Abu Said sepanjang tahun 1461-1463. Juga memberikan restu dalam inisiatif perluasan kampanye militer Abu Said ke wilayah Persia hingga akhir kekuasaannya pada tahun 1469. Tapi pada masa putra-putra Abu Said beliau mendesak disepakatinya perjanjian perdamaian di antara mereka. Dan pada sasaran kedua, beliau berhasil membatalkan kebijakan pajak pasar (tamgha) yang sangat tidak populer dan memberatkan rakyat dengan caranya yang persuasif terhadap penguasa Timurid. Namun dalam kasus berbeda, beliau justru membayar pajak yang sangat besar pada kerajaan guna mengurangi beban masyarakat.
Mursyid Tarekat yang Konglomerat
Pada sosok beliau stigma bahwa kaum sufi adalah mereka yang papa (tak punya) dan menjauh dari aktivitas duniawi seratus persen terbantahkan. Beliau adalah seorang pengusaha yang sukses. Sangat sukses, sehingga menjadi pembayar pajak terbesar pada kerajaan Timurid saat itu. Barangkali dialah satu-satunya pemilik tanah terluas di Asia Tengah di masanya. Mengutip publikasi ilmiah Muzaffar Alam “The Mughals, the Sufi Shaikhs and the Formation of the Akbari Dispensation” di Cambridge Jurnals, vol 43, 1 (2009), Khwaja memiliki ribuan hektar tanah dengan irigasi terbaik di Tashkent, Samarqand, Bukhara, Kashkadaria dan tempat-tempat lainnya. Dia juga sebagai pemilik atas 64 desa yang dikelilingi kanal irigasi, 30 perkebunan buah luar kota, 11 kawasan perkotaan, dan lusinan perusahaan perdagangan dan workshop kerajinan tangan, sejumlah pasar, kios, WC umum dan kincir air. Juga ratusan ribu sapi dalam peternakannya yang tersebar di seluruh negeri.
Semua properti di atas menjadi basis bagi sistem himayat yang dikembangkannya juga bagi jaringan ekonomi yang terbangun dari holding perusahaannya dan aktivitas ekonominya, baik dalam sekala regional maupun internasional. Terdapat banyak sekali pekerja yang dilibatkan dalam jaringan ekonomi ini, bekerja padanya di pusat khanqah maupun yang tersebar seantero negeri; Turkestan, Mawarannahr and Khurasan, untuk menjaga dan mengelola properti-properti ini.
Upaya penyebaran tarekat dan pendidikan sufistik menyebar melalui organisasi sosial-ekonomi yang beliau rancang. Selain sebagai pekerja pada perusahaan-perusahaannya, kebanyakan di antaranya adalah juga sebagai murid dari tarekatnya. Sebagian ada juga yang bukan pengikut spiritualnya, hanya bekerja saja.
Dengan organisasi kesejahteraan ini beliau mampu membantu baik masyarakat ataupun bahkan raja di kala kesulitan finansial. Khwaja Ubaidillah pada masa kekuasaan Umar Syaikh Mirza pernah menyerahkan uang sejumlah 250,000 dinar dan pada kesempatan lainnya sejumlah 70,000 dinar, untuk meringankan beban pajak kaum Muslim di kota Tashkent.
Kutub bagi Lingkaran para Ahli Ma’rifat
Beliau adalah seorang raja spiritual yang memiliki cahaya murni dari esensi yang unik dan dilepaskan dari penangkarannya dari Yang Tersembunyi untuk disebarkan kepada semua orang yang ‘arif. Beliau menyingkap sisi gelap bulan dari sifat-sifat Ilahi mulai dari buaian sampai beliau mencapai keadaannya yang sempurna. Ketika masih muda, beliau telah diberi otoritas dan mulai bekerja untuk menerima rahasia dari rahasia dan untuk menyingkap hijab. Beliau tidak pernah melirik pada keinginan duniawi.
Syaikh Ubaidillah berusaha melakukan yang terbaik untuk membersihkan kotoran dan kegelapan yang telah menutupi kalbu manusia. Beliau menjadi matahari untuk menyinari jalan untuk para salik menuju maqam keyakinan dan perbendaharaan ilmu spiritual yang tersembunyi.
Sebelum Ubaidillah dilahirkan, peristiwa berikut ini terjadi di mana kebesaran derajatnya telah diramalkan. Syaikh Muhammad as-Sirbili berkata, “Ketika Syaikh Nidzamuddin al-Khamush as-Samarqandi sedang duduk di rumah ayah saya, bertafakur, tiba-tiba ia berteriak dengan suara yang sangat keras; membuat semua orang ketakutan.” Ia berkata, “Aku melihat sebuah visi di mana banyak orang yang datang kepadaku dari timur, dan aku tidak bisa melihat apa-apa di dunia kecuali dirinya. Orang itu bernama Ubaidillah dan ia akan menjadi Syaikh terbesar di zamannya. Allah akan membuat seluruh dunia tunduk padanya, dan aku berharap bahwa aku dapat menjadi bagian dari pengikutnya.”
Dalam biografi (manaqib)nya, beliau berkata, “Aku masih ingat apa yang kudengar ketika aku berusia satu tahun. Sejak umur tiga tahun, aku sudah berada di Hadratillah. Ketika aku mempelajari Al-Qur’an dengan guruku, hatiku berada di Hadratillah. Aku dulu berpikir bahwa semua orang memang seperti itu.”
Dan salah satunya adalah perkataan ini, “Suatu hari di musim dingin, aku pergi keluar dan saat itu hujan turun sehingga sepatuku masuk ke dalam genangan lumpur. Cuaca sangat dingin. Aku berusaha menarik kakiku dari genangan lumpur itu. Tiba-tiba aku menyadari bahwa kalbuku berada dalam bahaya besar, karena pada saat itu aku telah lalai dalam mengingat Allah. Aku pun segera beristighfar.”
Salah satu tanda ketinggian ilmu ma’rifatnya tampak pada catatan dalam manaqib beliau di bawah ini:
“Apakah makna dari ayat, ‘Dan tinggalkanlah orang yang berpaling dari mengingat Kami‘ [53:29]? Itu menunjukkan bahwa bagi orang yang melakukan kontemplasi mendalam (muraqabah) terhadap Hadirat Ilahiah Kami, dan telah mencapai maqam tidak melihat apa-apa kecuali Kami, maka tidak perlu lagi tindakan mengingat itu. Jika ia berada dalam maqam penglihatan sepenuhnya, jangan memerintahkannya untuk melafalkan zikir karena itu mungkin akan menyebabkan kedinginan di dalam kalbunya. Ketika ia sepenuhnya sibuk dengan maqam musyahadah, segala sesuatu yang lain merupakan gangguan dan dapat mengganggu maqam tersebut.”
“Muhyiddin bin `Arabi berkata, mengenai hal ini, ‘Dengan dzikrullah, mengingat Allah, dosa-dosa meningkat, dan penglihatan dan kalbu akan terhijab. Meninggalkan zikir adalah keadaan yang lebih baik karena matahari tidak pernah terbenam.’ Apa yang beliau maksudkan di sini adalah bahwa ketika seorang ahli ma’rifat berada di Hadiratillah dan dalam keadaan penglihatan mutlak terhadap ke-Esa-an Allah, pada saat itu segala sesuatu fana fillah. Baginya zikir menjadi sesuatu yang dapat mengganggu. Seorang Arif hadir dalam eksistensi-Nya. Ia berada dalam keadaan Fana dalam Hadratillah, sedangkan dalam dzikrullah ia berada dalam keadaan absen, yaitu perlu mengingatkan dirinya sendiri bahwa ada Allah di sana.”
Keberhasilannya yang gilang gemilang baik dalam aktivitas ekonomi maupun keterlibatan politiknya telah menjadikannya sebagai model bagi praktek Kholwat Dar Anjuman, menyepi dalam keramaian, (solitude in the crowd) yang merupakan salah satu prinsip dari delapan prinsip dasar yang dicanangkan oleh Syaikh Khaliq al-Ghujdawani, salah seorang pembesar dari silsilah tarekat ini.
Di bawah khidmatnya, tarekat Naqsyabandiyah terkonsolidasi di Asia Tengah dan memiliki kesiapan yang kuat untuk penyebaran yang luar biasa. Kemudian hari, ajarannya diteruskan dan berkembang di India, seiring perkembangan dinasti Moghul yang merupakan penerus dinasti Timurid. Pada fase inilah muncul sosok Agung Syaikh Ahmad Faruk Sirhindi, al mujaddid fi alfi tsani, yang darinya mengalirkan ilmu-ilmu esoteris hingga ke Nusantara. Di Indonesia sendiri kini dibawa oleh dua cabang besar yakni Mazhariyah dan Khalidiyah.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU