Tidak mudah untuk menjaga sikap bagi seorang tokoh masyarakat. Perilakunya selalu menjadi sorotan publik. Tindak tanduknya kerap diikuti oleh banyak orang. Pernyataannya acap kali dijadikan referensi, baik untuk menyanjung atau menyerang. Sekali saja ia berbuat atau berucap yang provokatif, dampaknya akan menyebar luas di tengah masyarakat. Terlebih bagi seorang tokoh yang menjadi pemersatu umat, ia tidak boleh mengeluarkan statemen yang dapat menyudutkan kelompok tertentu. Segala ucapan, perbuatan dan langkahnya harus betul-betul diterima semua kalangan. Inilah yang dicontohkan oleh ulama besar, Syaikh Ibnu al-Jauzi.
Nama lengkapnya adalah Syaikh Abdurrahman Abu al-Faraj bin Ali bin Muhammad al-Jauzi al-Qurasyi al-Baghdadi. Beliau lahir pada tahun 508 H dan wafat tahun 597 H. Beliau lahir dan wafat di kota Baghdad. Seorang yang sangat alim di masanya terutama di bidang sejarah dan hadits. Di antara karyanya al-Adzkiya’ wa Akhbaruhum, Manaqib Umar bin Abdil Aziz, Tarikh Hukama’ al-Islam, dan lain sebagainya.
Suatu ketika Syaikh Ibnu al-Jauzi tengah menyampaikan khutbah, lalu beliau didatangi dua rombongan dari kelompok besar, Asya’irah (Sunni) dan Syi’ah. Asya’irah adalah kelompok yang dalam teologi mengikuti Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ari. Syi’ah adalah kelompok yang sangat fanatik dengan Sayyidina Ali dan para keturunannya.
Dua rombongan tersebut masing-masing membawa pedang layaknya orang yang hendak berperang. Perseteruan itu dipicu salah satunya oleh pandangan yang berbeda dari keduanya, berkaitan dengan sebuah keyakinan tentang manusia terbaik setelah Nabi Muhammad saw. Kelompok Asya’irah meyakini bahwa sepeninggal Baginda Nabi Muhammad saw., yang terbaik adalah Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq. Sementara bagi kaum Syi’ah, Sayyidina Ali yang paling utama. Kedua kelompok besar ini datang untuk meminta pendapat Syaikh Ibnu al-Jauzi.
“Siapa yang lebih utama, lebih dekat dan lebih dicintai Rasulullah saw. wahai Syaikh, Abu Bakar atau Ali?” demikian pertanyaan yang terlontar.
Pertanyaan yang sangat sulit dijawab oleh Syaikh Ibnu al-Jauzi. Jika beliau menjawab Abu Bakar yang lebih utama, pasti Syi’ah marah. Jika dijawab Ali lebih mulia, kelompok Asya’irah yang tidak terima.
Syaikh Ibnu al-Jauzi sejenak berpikir untuk menemukan jalan keluar dari kondisi dilematis yang menimpanya, agar jawabannya dapat diterima kedua kelompok besar yang meminta fatwanya. Setelah berpikir, beliau menemukan jawabannya. Dengan cerdik, beliau melontarkan jawaban yang sangat diplomatis:
اَلْأَفْضَلُ مَنْ كَانَتْ بِنْتُهُ تَحْتَهُ
“Yang paling utama adalah dia yang putrinya menjadi istrinya.”
Sebuah jawaban yang sangat cerdik. Baik Asya’irah maupun Syi’ah masing-masing dapat menerimanya. Asya’irah memahami statemen Syaikh Ibnu al-Jauzi di atas mengarah kepada Abu Bakar. Sebab menurut mereka, dlamir (kata ganti) yang ada pada redaksi “bintuhu” merujuk kepada Abu Bakar, sedangkan dlamir yang ada pada redaksi “tahtahu” mengarah kepada Nabi Muhammad saw. Jadi menurut pemahaman mereka, maksud ucapan Syaikh Ibnu al-Jauzi adalah “Yang paling utama adalah dia yang putrinya (Abu Bakar) menjadi istrinya (Nabi).” Seperti diketahui, Aisyah tidak lain adalah putri Abu Bakar yang menjadi istri Rasulullah.
Demikian pula dengan kelompok Syi’ah, mereka sangat puas dengan jawaban Syaikh Ibnu al-Jauzi. Menurut mereka, jawaban Syaikh Ibnu al-Jauzi di atas mengarah kepada Ali bin Abi Thalib. Mereka memahami kata ganti (dlamir) pada ucapan Syaikh Ibnu al-Jauzi berbeda dengan yang dipahami Asya’irah. Menurut mereka, dlamir yang ada pada redaksi “bintuhu” merujuk kepada Nabi, sedangkan dlamir yang ada pada redaksi “tahtahu” mengarah kepada Sayyidina Ali. Menurut mereka, maksud ucapan Syaikh Ibnu al-Jauzi di atas adalah “Yang paling utama adalah dia yang putrinya (Nabi saw) menjadi istrinya (Sayyidina Ali).” Merupakan hal yang maklum, istri Ali adalah Fathimah, putri Nabi.
Karena jawaban Ibnu al-Jauzi yang multi tafsir, dua kelompok besar yang mengadu kepadanya memahami sesuai kecenderungan masing-masing. Letak perbedaannya ada pada marji’ dlamir yang ada pada kata “bintuhu” dan “tahtahu”.
Demikianlah selayaknya seorang publik figur bersikap, fatwanya dapat diterima semua kalangan tanpa menimbulkan perpecahan di tengah-tengah umat.
Disarikan dari kitab al-Fawaid al-Mukhtarah karya Habib Ali bin Hasan Baharun, hal. 89
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!