Sebelum mengarungi dalamnya keteladanan cinta Sayyidina Abu Ayyub al-Anshari kepada Rasulullah, baiknya kita baca terlebih dahulu riwayat di bawah ini:
Dari Habib bin Abi Tsabit bahwa sesungguhnya Abu Ayyub (al-Anshari) mendatangi Muawiyah untuk mengadu kepadanya bahwa ia memiliki utang. Tapi Abu Ayyub tidak melihat respons yang menyenangkan dari Muawiyah, malahan yang terlihat ketidak-senangannya. (Melihat itu) maka Abu Ayyub (al-Anshari) berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya kelak kalian akan dapati setelahku (pemimpin) yang mementingkan diri sendiri.”
Muawiyah bertanya: “Lalu apa lagi yang Rasulullah katakan?” Abu Ayyub menjawab: “Bersabarlah”. Kemudian Muawiyah berkata: “Maka bersabarlah”. (Setelah mendengar ucapan Muawiyah) Abu Ayyub berkata: “Demi Allah, aku tidak akan meminta apa pun lagi padamu selamanya”.
Kemudian Abu Ayyub sampai di Basrah dan mengunjungi Ibnu Abbas. Ibnu Abbas mengosongkan rumahnya untuk Abu Ayyub (al-Anshari) sembari berkata: “Aku akan melakukan apa yang engkau lakukan untuk Rasulullah saw”. Ibnu Abbas bertanya: “Berapa utangmu?”. Abu Ayyub menjawab: “Dua puluh ribu”. Ibnu Abbas berkata: “Aku akan memberimu uang empat puluh ribu dan dua puluh budak”. Dan Ibnu Abbas berkata (lagi): “Semua yang ada di rumah ini untukmu”. (Imam Ibnu Asakir, Tarikh Madinah Dimasyq, juz 16, hal. 54-55)
Biografi Singkat Abu Ayyub Al-Anshari
Nama aslinya adalah Khalid bin Zaid al-Najjari al-Khazraji, sahabat Nabi dari kaum Anshar. Imam al-Dzahabi menyebutnya al-Sayyidul Kabir karena keistimewaannya, yaitu rumahnya pernah ditinggali Rasulullah beberapa waktu. Kisah ini dimulai dari awal hijrahnya Rasulullah ke Madinah. Setiap pemilik rumah yang dilewatinya selalu memegang tali kekang unta Rasulullah agar berkenan tinggal di rumahnya, tapi Rasulullah membiarkan unta itu terus berjalan hingga berhenti di wilayah Bani Najjar, tepatnya di depan rumah Abu Ayyub al-Anshari. Tapi, Abu Ayyub al-Anshari tidak menarik tali kekang unta Rasulullah maupun memintanya untuk tinggal di rumahnya, tapi bergegas membawa barang bawaan Rasulullah saw. Melihat itu Rasulullah bersabda: “Seorang (pemilik barang) ikut bersama barangnya.” (HR. Baihaqi)
Tindakan Abu Ayyub al-Anshari menunjukkan bahwa ia seorang perasa yang penuh cinta dan rasa hormat. Ia tidak ingin menyakiti perasaan orang lain dengan memperebutkan tali kekang unta Nabi. Ia langsung mengambil barang bawaan Nabi dan membawanya, karena baginya itu yang paling penting. Ketika semua orang sibuk meminta Nabi tinggal di rumahnya, tidak ada yang terpikir untuk membawakan barang bawaan Nabi. Karena itu Rasulullah bersabda: “Seorang (pemilik barang) ikut bersama barangnya.” Akhirnya Nabi tinggal di rumah Abu Ayyub al-Anshari.
Rumah Abu Ayyub al-Anshari terdiri dari dua lantai. Ketika Rasulullah tinggal di rumahnya, Abu Ayyub al-Anshari mempersilakan Rasulullah menempati ruang bawah. Ia tidak mau menyusahkan Rasulullah dengan naik-turun tangga. Namun, kejadian lain yang tidak terpikirkan sebelumnya terjadi. Abu Ayyub al-Anshari bercerita:
“Sesungguhnya Rasulullah saw. tinggal di lantai bawah rumah kami, dan kami di kamar (lantai atas), kemudian air di kamar (kami) tumpah. Aku dan Ummu Ayyub bergegas mengelap bekas-bekas air dengan kain beludru. Kemudian aku turun dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, tidak sepantasnya kami berada di atasmu, silahkan berpindahlah ke kamar (atas).” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, juz 2, hal. 407)
Abu Ayyub al-Anshari khawatir air itu menetes mengenai Rasulullah saw., di samping ia merasa tidak pantas berada di atas Rasulullah. Bahkan dalam riwayat Imam Ahmad bin Hanbal disebutkan bahwa Abu Ayyub al-Anshari dan istrinya, Ummu Ayyub, tidak berani tidur dan berjalan di tengah-tengah kamarnya karena berada tepat di atas Rasulullah saw. Mereka berdua selalu mengambil sisi yang menempel dengan tembok.
Karena itu, ketika Abu Ayyub al-Anshari ke Bashrah, Abdullah bin Abbas mengosongkan rumahnya dan mengatakan, “Aku akan melakukan apa yang engkau lakukan untuk Rasulullah saw.” Tidak hanya itu, Abdullah bin Abbas memberinya dua kali lipat dari jumlah utang yang dimiliki Abu Ayyub al-Anshari, dan memberikan semua yang ada di dalam rumahnya untuknya. Artinya, kisah kemuliaan adab Abu Ayyub al-Anshari masih terekam baik di benak para sahabat Nabi meski sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Peristiwa ini terjadi di era kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Hal ini menunjukkan bahwa mencintai Nabi dengan sikap ta’dzim tertentu tidak diharamkan, seperti teladan adab yang ditampilkan Abu Ayyub al-Anshari, orang yang selalu menantikan jejak (bekas) jari Nabi di makanan yang dihidangkannya untuk mendapatkan keberkahan.
Inilah cinta seorang kekasih yang berselimut adab. Cinta yang membuatnya berperangai pekerti, tidak sekadar berkehendak memiliki. Cinta yang tidak melupakan orang di sekitarnya, tapi menghargai sekitarnya. Cinta yang membiakkan adab, tidak mengerdilkannya. Cinta yang menghidangkan teladan, tidak meninggalkan tragedi. Pertanyaannya, sudahkah kita benar-benar jatuh cinta pada Rasulullah, dan bershalawat barang sekali selain di dalam sahalat hari ini?
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU