Dalam kitab Akbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin, Imam Abu al-Farj Ibnu Jauziy (w. 597 H) mencatat riwayat seorang imam shalat yang membaca surah panjang ketika menjadi imam:
Dari Mundil bin Ali berkata: “Suatu hari al-A’masy keluar dari rumahnya di saat Subuh. Ia melintasi Masjid Bani Asad dan (ketika itu) muadzin sedang mengumandangkan adzan shalat. Ia masuk (ke masjid) untuk ikut shalat. Di rakaat pertama, imam shalat membukanya dengan (membaca) surah Al-Baqarah, dan di rakaat kedua (membaca) surah Ali Imran.”
Selesai shalat, al-A’masy berkata pada imam itu: “Tidakkah engkau takut kepada Allah? Tidakkah engkau mendengar hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Barangsiapa yang menjadi imam (shalat), hendaknya ia memperingan, sebab di belakangnya ada orang yang sudah tua, orang yang lemah dan orang yang mempunyai keperluan'.”
Imam shalat itu menjawab: “Allah ‘azza wa jalla berfirman (QS. Al-Baqarah: 45): ‘Sungguh yang demikian ini sangat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” al-A’masy berkata: “(Justru itu) aku adalah utusan orang-orang khusyu’ (untuk memberitahu)mu bahwa (cara shalat)mu sungguh memberatkan.” (Imam Abu al-Farj Ibnu Jauziy, Akbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin, hal. 119)
Sebelum membahas ke sana-kemari, kita perlu tahu bahwa “mudah” tidak sama dengan “menyepelekan”. Mudah berarti mencari penyesuaian terbaik dengan keadaan diri, sedangkan menyepelekan cenderung menganggap remeh.
Cerita di atas adalah kisah tentang pentingnya memahami keadaan orang lain dalam menerapkan agama, khususnya bagi para pemukanya. Karena itu, Imam Sulaiman bin Mihran al-A’masy (61-147 H), menegur imam shalat Subuh yang membaca surah Al-Baqarah dan Ali Imran di masing-masing rakaatnya. Ia mengutip sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan, “Barangsiapa yang menjadi imam (shalat), hendaknya ia memperingan, sebab di belakangnya ada orang yang sudah tua, orang yang lemah dan orang yang mempunyai keperluan.”
Bahkan ada hadits yang lebih keras dari itu, sampai Sayyidina Abu Mas’ud al-Anshari mendeskripsikan kemarahan Rasulullah dengan ungkapan: “Tidak pernah kulihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam marah dalam memberi nasihat yang lebih hebat dari marahnya beliau hari itu” (HR. Muslim). Tidak hanya itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut imam semacam itu sebagai orang yang membuat manusia lari dari agama (munaffirin).
Mendengar hadits itu, sang imam menjawab dengan ayat Al-Qur’an yang intinya hal itu mudah bagi orang-orang yang khusyu’. Tapi direspon dengan cerdas oleh Imam al-A’masy bahwa ia adalah utusan orang-orang khusyu’. Dengan kata lain, argumen orang khusyu’ yang digunakan imam shalat itu, dipatahkan dengan argumen bahwa orang-orang khusyu’ juga keberatan, dan ia adalah utusan mereka. Argumen Imam al-A’masy ini menarik karena menggunakan pendekatan komparatif. Ketika “khusyu” dijadikan dalil pembenaran, ia meruntuhkannya dengan logika “khusyu” dari arah lainnya. Pertanyaannya kenapa Imam al-A’masy menggunakan argumen tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus memahami bahwa khusyu’ bukan sebatas memanjangkan shalat, apalagi di saat ramai (berjamaah). Jika khusyu’ dinilai dari panjang-pendeknya shalat, maka orang-orang riya bisa masuk kategori ini. Tidak ada orang yang bisa mengalahkan orang-orang riya dalam hal menyiarkan langsung ibadahnya saat ramai. Meski demikian, di sini kita tidak akan membicarakan khusyu’ secara detail. Untuk mengetahuinya silahkan lihat kitab al-Khusyu’ fi al-Shalat karya Imam Ibnu Rajab al-Hanbali. Pembahasan kita akan difokuskan pada bagaimana pendekatan orang khusyu’ dalam memahami kisah di atas.
Pernyataan terakhir Imam al-A’masy seakan-akan menempatkan khusyu’ personal dan khusyu’ sosial dalam satu wadah yang saling melengkapi satu sama lainnya, karena orang-orang khusyu’ sudah mengerti betul keadaan dirinya. Untuk lebih mempermudah, kita akan menggunakan istilah “orang-orang yang terus berusaha khusyu”, karena kekhusyu’an bukan keadaan yang tetap dan statis. Kekhusyu’an harus didapatkan setiap saat, tidak kemudian didiamkan setelah pernah merasa berhasil memperolehnya.
Bagi orang-orang yang memahami ini, mereka akan mengerti keadaan jiwa orang lain, bahwa khusyu’ bukan sesuatu yang “bim salabim” ada, tapi sesuatu yang diperoleh dengan perjuangan keras. Sebab, adakalanya orang yang memanjangkan shalatnya tidak berniat pamer, hanya ingin memperbanyak amalnya. Jika demikian, ia adalah pencari pahala yang egois, karena tidak memikirkan makmum di belakangnya. Pencari pahala semacam ini bisa dikatakan belum mengerti apa itu “khusyu”, bahkan mungkin belum terpikir sama sekali untuk masuk ke dalam kekhusyu’an.
Dengan kata lain, ekspresi khusyu’ secara personal dan sosial berbeda. Karena ukuran manusia tidak sama. Ada yang menganggap zikir lima puluh ribu sehabis shalat itu ringan; ada juga yang menganggapnya sangat berat. Di sinilah kenapa imam shalat atau pemuka agama harus mengerti perbedaan para jamaahnya. Jangan anggap semua orang sama seperti mereka. Jika mereka kuat berzikir seratus ribu kali selama setengah jam, bukan berarti semua orang bisa melakukannya juga. Maka, contoh terbaik adalah ulama-ulama di masa lalu yang berfatwa menggunakan pendapat yang paling ringan untuk umatnya, tapi yang paling berat untuk dirinya sendiri.
Kandungan lain dari kisah di atas adalah pentingnya memahami manusia. Tidak semua manusia memiliki keadaan yang sama. Setiap orang membawa sejarahnya sendiri-sendiri, dan bisa dipastikan alur ceritanya berbeda-beda. Karena itu, Rasulullah menegur keras imam shalat yang tidak mengerti jama’ahnya. Di antara jama’ahnya ada orang yang sudah tua, anak kecil, orang yang berkeperluan, dan lain sebagainya. Mereka memiliki problemnya masing-masing. Maka saran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jangan berlebih-lebihan dalam beragama. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah orang yang mempersulit (berlebih-lebihan dalam) beragama, melainkan ia akan dikalahkan. Maka, laksanakan (dengan semestinya), dekatilah (semestinya), dan berbahagialah (dengan pahala-Nya). Dan mohon pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam.” (HR. Bukhari)
Maksudnya adalah “agama itu mudah” bukan berarti menganggap mudah pengamalan agama, tapi mencari titik kenyamanan dalam mengamalkannya sesuai dengan ukuran diri kita. Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa ukuran diri manusia berbeda-beda. Jika kita berusaha mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama, bisa dipastikan kita kalah dengan sendirinya. Sebab, berlebih-lebihan yang disengaja akan memberi tekanan kuat terhadap kesehatan jiwa, di samping “berlebih-lebihan” itu identik dengan pemaksaan dalam taraf yang keterlaluan.
Karena itu, kita harus terus berusaha dan berjuang untuk memperbesar kapasitas ukuran diri kita. Salah satu caranya dengan istiqamah belajar dan beramal. Manusia dianugerahi Allah daya tampung diri unlimited (tidak terbatas), yang ada hanya pasang surut, terkadang sangat khusyu’, di waktu lain tidak sama sekali. Yang sedang kita bicarakan di sini adalah daya tampung spiritual, yang sifatnya naik-turun, dan akan terus naik-turun sampai kapanpun juga, karena sudah menjadi watak dasarnya. Pertanyaannya, seberapa jeli kita mengenali gelombang naik-turun itu, dan seberapa lihai kita berselancar di permukaannya?
Sebab, bagi orang-orang yang jiwanya sudah dilatih untuk terus berjuang, mereka cukup berhasil mengendalikan “berlebih-lebihan”, karena mereka tahu kapan saatnya meringkas, kapan saatnya memperbanyak, dan kapan saatnya menyederhanakannya.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU