Ketika menghadiri acara dauroh kedua bersama Habib Umar bin Hamid Al-Jilani di Lanbulan beberapa waktu yang lalu, di sebuah bazar saya membeli kitab yang sangat menarik. Nama kitab itu adalah “Tuhfah Arrowi” karya KH. Ahmad Ghazali Muhammad yang menceritakan sejarah hidup Syaikh Nawawi Al-Bantani. Meskipun dari judulnya kita bisa menebak kitab ini terfokus pada biografi Syaikh Nawawi Banten, akan tetapi kitab ini juga cukup luas mengulas “manaqib” murid-murid beliau. Yang cukup panjang pembahasannya adalah ketika Sang penulis, KH. Ghazali mengisahkan tentang sejarah Syaikhona Kholil Bangkalan yang beliau cantumkan pada daftar utama ulama-ulama yang pernah berguru kepada Syaikh Nawawi.
Di halaman 43-44 ada sebuah kisah menarik, kisah yang penulis dengar langsung dari ayahnya KH. Muhammad Fathullah yang mendengar langsung dari gurunya, KH. Syamsuddin Ombul salah satu santri Syaikhona Kholil.
“Suatu hari Syaikhona Kholil pergi untuk membeli sesuatu dengan menaiki delman. Ketika sudah berada di atas delman beliau bertanya kepada kusir:
“Dari mana asal kuda ini pak?” tanya Syaikhona
“Dari daerah Bima kiai” jawab si kusir
Mendengar jawaban kusir itu, Syaikhona Kholil lekas saja turun dari delman dan enggan menaikinya lagi. si kusir jelas kebingungan dan bertanya:
“Mengapa Anda tiba-tiba tidak mau menaiki delman saya, kiai?” kata si kusir
Syaikhona Kholil menjawab : “Salah satu guruku waktu di Mekkah berasal dari Bima. Aku tidak mau menaiki delman ini karena aku takut kuda ini “mungkin” adalah salah satu keturunan dari kuda-kuda yang dimiliki oleh guruku..”(kemungkinan guru yang dimaksud oleh beliau adalah Syaikh Abdul Ghani bin Subh Al-Bimawi)
Satu lagi kisah ketawadhu’an Syaikhona Kholil adalah ketika KH. Hasyim Asy’ari, salah satu santri beliau pulang dari Mekkah dan sudah memiliki ribuan santri. Pada waktu Ramadhan, KH. Hasyim Asy’ari dikejutkan dengan kedatangan Syaikhona Kholil ke Pesantren Tebuireng Jombang. Yang lebih mengejutkan lagi, sang guru ternyata datang untuk berguru dan mengaji hadits kepadanya. Pada waktu itu Kiai Hasyim sedang membuka pengajian Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Syaikhona dan Kiai Hasyim tampak saling menghormati satu sama lain. Pemandangan “unik” pun terlihat kala itu, ketika turun dari Musholla, baik Syaikhona ataupun Kiai Hasyim sama-sama berebut mengambil sandal “sang guru” untuk kemudian memakaikannya di kaki empunya.
Syaikhona adalah seorang faqih, muhaddits, mufassir, juga seorang mursyid thariqah dan hafidz Qur’an lengkap dengan qira’ah sab’ah-nya. Akan tetapi, terlepas dari itu semua, beliau selalu menganggap dirinya bukan siapa-siapa, tidak memiliki dan mengetahui apa-apa. Konon, Syaikhona tidak pernah khatam ketika mengajar kitab Jurumiah, masalahnya setiap kali sampai pada Bab لا. Babu “Laa” yang seharusnya dibaca : “Babu La.. I’lam..” Beliau baca menjadi :“Babu la A’lam…” yang akhirnya memiliki makna : Bab aku tidak tahu. Setelah itu Syaikhona pasti akan menutup kitabnya lantas berkata : “Iyut.. Halil lakar lok taoh pa-apah” (iya.. saya memang tidak tahu apa-apa). Beliau kemudian menutup majlisnya lalu pulang ke ndalem-nya.
Mengapa mereka para kekasih Allah selalu bersikap baik dan ramah kepada siapa pun? Karena mereka selalu menganggap orang lain lebih baik dan mulia dari diri mereka. Dalam pandangan mereka, mereka adalah makhluk Allah yang paling hina. Mereka tak pernah menganggap diri mereka memiliki ilmu, karomah atau kebaikan apapun.
|
Syaikhona Kholil Bangkalan |
Dari situ bisa kita ketahui apa yang membedakan mereka dengan banyak orang di zaman sekarang yang bahkan dengan mudahnya menyematkan nama “binatang” pada orang-orang yang berbeda pendapat dan pilihan dengan mereka. Mengapa mereka dengan mudah menghujat, mencaci dan merendahkan orang lain? Jawabannya mudah : karena mereka merasa diri mereka jauh lebih baik dari orang kebanyakan. Karena pilihan dan pendapat mereka (dalam pandangan mereka) adalah yang terbaik, maka orang lain boleh saja dihina dan direndahkan. Mereka sama sekali tidak pernah siap untuk menerima perbedaan..
Melihat orang-orang seperti mereka, saya merasa sangat bersyukur mempunyai guru-guru yang tak pernah mengajarkan untuk menghujat dan merendahkan orang lain. Dulu ketika saya belajar di Tarim, setiap Jum’at pagi saya selalu berdiri di depan pintu Qubbah Alyadrus di pemakaman zanbal dengan niat mencium tangan Siidil Habib Umar. Saya ingat setiap kali saya selesai mengecup tangan beliau, beliau lekas saja menempelkan tangan mulianya di dada beliau seperti orang yang mengharap berkah dari orang yang baru menyalaminya. Dan hal itu saya saksikan dari beliau berkali-kali. Saya masih ingat betul pesan beliau dalam kitab Taujih Atthullab:
“Andai gurumu adalah seorang wali Qutub lantas engkau meremehkan dan merendahkan saudara seimanmu, -siapapun dirinya- maka dosa dan keburukan yang kamu dapatkan sudah cukup untuk menutupi semua kebaikan yang kamu miliki.”
Di tengah gejolak politik dan hiruk pikuk pilpres yang masih belum mereda hingga detik ini, betapa butuhnya kita pada sifat saling rendah hati dan saling menghargai yang para kekasih Allah itu ajarkan.
“Kapan seseorang bisa dikatakan sebagai orang yang tawadhu dan rendah hati ?” Abu Yazid Al-Busthomi yang kala itu ditanyai menjawab: “Ketika ia tidak menganggap dirinya memiliki kebaikan, kemuliaan atau keistimewaan apapun. Dan ia memandang tidak ada makhluk yang lebih hina dari pada dirinya sendiri.”
Bangkalan, 23 April, 2019
Penulis: Gus Ismael Amin Kholil
Sumber: bangkitmedia.com