Dalam kitab Shifah al-Shafwah, Imam Ibnu Jauzi (w. 597 H) mencatat sebuah riwayat perjumpaan Imam Ahmad bin Hanbal dengan seorang wanita pekerja tenun. Berikut riwayatnya:
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: “Suatu hari aku bersama ayahku di rumah, kemudian ada seseorang yang mengetuk pintu.” Ayahku berkata: “Keluarlah dan lihat siapa yang ada di pintu.” Aku keluar, ternyata (yang mengetuk pintu) adalah seorang wanita. Ia berkata kepadaku: “Mintakan izin agar aku bisa menemui Abu Abdullah (panggilan Imam Ahmad bin Hanbal).” Maka aku memintakan izin kepadanya, dan beliau mengizinkannya.
Wanita itu masuk dan mengucapkan salam kepada ayahku, lalu ia bertanya: “Wahai Abu Abdullah, aku seorang wanita yang sering menenun di malam hari, seringkali lampunya padam, maka aku menenun di bawah cahaya rembulan. Apakah aku harus menjelaskan (mana yang hasil) tenunan dengan cahaya rembulan dan (mana yang hasil) tenunan dengan cahaya lampu?”
Ayahku (Imam Ahmad bin Hanbal) berkata kepadanya: “Jika menurutmu ada perbedaan di antara keduanya, engkau harus menjelaskannya.” Wanita itu bertanya lagi: “Wahai Abu Abdullah, apakah rengekan orang sakit termasuk bentuk keluhan (yang dilarang)?” Ayahku menjawab: “Aku harap tidak (bukan keluhan yang dilarang), tapi hanya pengaduan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
Ketika wanita itu sudah pulang, ayahku berkata kepadaku: “Anakku, aku tidak pernah mendengar seorang pun bertanya seperti ini. Ikutilah wanita tadi, lihatlah ke mana ia masuk.” Maka aku mengikutinya, kemudian ia masuk ke rumah Bisyri bin al-Harits. Ternyata ia saudara perempuannya. Setelah sampai di rumah, kuceritakan hal itu kepada ayahku. Ia berkata: “Rasanya hampir tidak mungkin ada seorang wanita sepertinya kecuali ia saudara perempuan Bisyri (al-Hafi).” (Imam Ibnu Jauzi, Shifah al-Shafwah, juz 2, hal. 525)
Kita sering mendengar kata “hati-hati”. Kita sering diminta berhati-hati oleh orang-orang terdekat kita. Pertanyaannya, apakah kita pernah sekali saja melakukannya? Atau mengingat permintaan itu, minimal sekali saja? Jangan-jangan anggukan kita sekadar basa-basi saja, meski kemungkinan besar pemintanya pun sama. Lalu kaitannya apa dengan kisah di atas?
Begini, jika hati-hati dalam konteks keseharian saja kita lalai, bagaimana bisa kita memahami kehati-hatian dalam konteks agama sebagai sesuatu yang harus dicapai, bukan datang dengan sendirinya. Bahasa agamanya adalah wara’. Imam Ibrahim bin Adham (w. 165 H) mendefinisikan wara’ sebagai berikut:
“Meninggalkan segala sesuatu yang syubhat (meragukan) dan meninggalkan sesuatu yang tidak berguna untukmu.” (Imam al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah, juz 1, hal. 233)
Wanita tukang tenun dalam kisah di atas takut hasil tenunannya masuk ke dalam wilayah syubhat. Sebab, dalam proses penenunannya ia memanfaatkan dua cahaya berbeda, yang satu berbayar dan satunya gratis. Artinya ada perbedaan modal dalam proses produksinya. Logika hukumnya begini: jika persentasi zakat pertanian dibedakan berdasarkan sumber pengairannya, maka hasil tenunnya pun memiliki konsekuensi hukum yang sama.
Karena itu, ia menanyakan persoalan ini kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan dijawab dengan sangat ringkas: “Jika menurutmu ada perbedaan di antara keduanya, kau harus menjelaskannya.” Imam Ahmad menggunakan kata “’indaki—menurutmu” dalam jawabannya, artinya ia tahu bahwa wanita di depannya ini bukan orang sembarangan. Bisa jadi wanita itu sudah tahu jawabannya, ia bertanya hanya untuk menguatkan pendapatnya.
Buktinya, Imam Ahmad langsung menyuruh anaknya untuk mengikuti wanita tersebut. Ia terkejut karena belum pernah mendengar pertanyaan semacam itu sepanjang hidupnya. Biasanya orang akan bertanya kepadanya tentang apa yang membatalkan shalat, apa syarat-syarat tayamum dan lain sebagainya. Tapi untuk pertama kalinya ada seseorang yang bertanya di luar perkiraannya. Ternyata, wanita itu adalah saudara perempuan Imam Bisyri al-Hafi (w. 227 H). Disebut al-Hafi karena ia tak pernah memakai sandal. Imam Ahmad sangat menghormati Imam Bisyri. Ketika ada seseorang yang bertanya kepadanya tentang wara’, ia tidak berani menjawabnya dan menyuruh orang tersebut bertanya kepada Imam Bisyri al-Hafi.
Setelah tahu siapa wanita itu, Imam Ahmad berujar, “Rasanya hampir tidak mungkin ada seorang wanita sepertinya kecuali ia saudara perempuan Bisyri.” Menurut Imam Ibnu Jauzi, perempuan itu bernama Mukhah. Dalam riwayat Ghailan al-Qashaidi, Imam Bisyri bin al-Harits al-Hafi berkata:
“Aku belajar wara’ dari saudara perempuanku, ia berusaha (berjuang) untuk tidak memakan apa-apa yang dibuat oleh makhluk.” (Imam Ibnu Jauzi, Shifah al-Shafwah, juz 2, hal. 524)
Kehati-hatian Sayyidah Mukhah dalam menghindari syubhat membuatnya berusaha untuk memakan apa-apa yang tidak dibuat oleh makhluk. Hal ini memang sukar dilakukan, dan bisa dikatakan mustahil. Karena itu kata yang dipakai adalah “tajtahidu—berusaha/berjuang”. Jadi, bukan tidak memakannya sama sekali, tapi berusaha memakan yang jelas berkah dan kehalalannya. Dengan demikian, ketika ia temui perbedaan proses tenun yang menggunakan dua sumber cahaya berbeda tadi, ia melakukan pemilahan. Inilah poin pentingnya, bukan soal “mungkin” atau “tidak mungkin” berusaha tidak memakan buatan makhluk.
Sederhananya begini, keteguhan Sayyidah Mukhah menggenggam kewara’annya, yaitu berusaha untuk tidak memakan apa-apa yang dibuat oleh makhluk, meluaskan cakrawala pemikirannya. Bagi orang biasa seperti kita, pertanyaan yang diajukan Sayyidah Mukhah pada Imam Ahmad bin Hanbal tidak akan melintas sama sekali, apalagi terpikirkan. Karena tangan kita masih terbuka, belum berusaha menggenggam sesuatu. Jadi, kita jangan dulu bicara jauh soal genggaman, karena apa yang hendak digenggam saja kita masih meraba-raba. Dengan kata lain, kita masih harus belajar banyak sebelum mengepalkan tangan kita untuk menggenggam sesuatu.
Sebelum diakhiri, kita perlu merenungkan kalimat ini, “Terkadang apa yang kita pandang tampak membatasi, sebenarnya membebaskan, dan apa yang kita pandang tampak membebaskan, sebenarnya membatasi.” Memang, praktik wara’ yang dilakukan Sayyidah Mukhah secara kasat mata tampak membatasi dan mustahil, tapi, di sisi lain, itulah yang meluaskan cakrawala kecerdasannya. Artinya, jika kita hendak mencari kebaikan, kita akan menemukannya. Karena Tuhan menciptakan kebaikan di mana-mana, di berbagai benda mati dan benda hidup, hanya bagaimana cara kita memandangnya.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU