Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah. Yang membedakan mereka adalah tingkat ketakwaannya. Kualitas ketakwaan ini dapat diraih sejauh mana orang itu mengisi setiap waktunya dengan sesuatu yang bernilai ibadah. Mereka harus berzuhud untuk sampai ke sana. Tetapi mereka juga tetap dapat menikmati kelezatan dunia sesuai anjuran Syaikh Syadzili berikut ini:
“Syaikh Abu Hasan As-Syadzili pernah berkata kepada muridnya, ‘Makanlah hidangan paling enak, minumlah minuman paling nikmat, berbaringlah di atas kasur terbaik, kenakanlah pakaian dengan bahan paling lembut. Bila satu dari kamu melakukannya lalu berucap syukur, ‘Alhamdulillah’, maka setiap anggota tubuhnya ikut menyatakan syukur’.” (Lihat Syaikh Abdul Wahhab Sya’rani, Al-Minahus Saniyyah, hal. 5).
Anjuran Syaikh Syadzili ini dimaksudkan agar seseorang bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya dengan totalitas. Jangan sampai seumur hidup menikmati dunia yang apa adanya, lalu bersyukur dengan biasa-biasa saja atau bahkan tidak menerimanya dengan ridha. Ini merupakan musibah bagi mereka yang menapaki jalan Ilahi sebagaimana keterangan Syaikh Syadzili berikut ini:
“Berbeda misalnya dengan seseorang mengonsumsi sekadar roti gandum dengan asin, mengenakan pakaian dengan bahan karung, tidur beralas tanah, meminum air agak asin sedikit panas, lalu berucap ‘Alhamdulillah’ dengan perasaan ketidaksudian dan dongkol atas takdir Allah. Kalau memandang dengan mata batin, ia akan mendapati dosa ketidaksudian dan kedongkolan di dalam hatinya itu lebih besar dibanding dosa mereka yang sungguh-sungguh menikmati dunia. Karena, mereka yang menikmati dunia sungguh-sungguh itu melakukan apa yang memang sesungguhnya mubah. Sementara orang yang merasa tidak sudi dan dongkol (karena kurang ikhlas dan ridha) melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT,” (Lihat Syaikh Abdul Wahhab Sya’rani, Al-Minahus Saniyyah, hal. 5).
Rasa syukur yang setengah-setengah ini berbahaya. Oleh karena itu, Syaikh Syadzili mendorong seseorang untuk melakukan yang mubah, yaitu; makan, minum, tidur, dan banyak mubah lainnya dengan niat untuk membesarkan Allah SWT atas nikmat-Nya. Untuk membesarkan Allah, seseorang perlu sesekali menikmati dunia yang mubah dengan kualitas terbaik. Dengan syukur yang total dan ta’dzim maksimal kepada-Nya, nilai mubah pada kenikmatan dunia itu berubah menjadi ketaatan yang mengandung nilai dan derajat tertentu di sisi Allah.
Imam Sya’rani yang dibesarkan dalam tradisi Syadziliyah menyebut bahwa meninggalkan yang mubah adalah jalan untuk naik kelas secara spiritual. Untuk itu, niat menjadi sesuatu yang sangat penting untuk mengubah sebuah amalan mubah yang tanpa nilai menjadi amalan bernilai sebagai keterangan berikut ini:
“Jauhilah yang mubah dengan harapan naik ke derajat yang tinggi,” (Lihat Syaikh Abdul Wahhab Sya’rani, Al-Minahus Saniyyah, hal. 4).
|
Makam Syaikh Abu Hasan Asy-Syadzili |
Keterangan Syaikh Syadzili ini sebaiknya tidak dipahami secara sempit untuk melampiaskan nafsu duniawi dan membentuk hidup konsumtif serta hedonisme, apalagi disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Anjuran ini lebih dipahami sebagai salah satu cara untuk menciptakan totalitas syukur dan kiat mengubah nilai mubah.
Anjuran Syaikh Syadzili sangat realistis. Manusia tidak mungkin memendam keinginan terhadap salah satu kenikmatan dunia yang diciptakan Allah memang menggiurkan, salah satunya air es. Manusia perlu memenuhi sedikit tuntutan keinginan yang terkekang dengan catatan niat untuk ibadah, mengobati keinginan tersebut, dan meraihnya tetap dalam koridor syariat.
Dengan niat dan cara yang benar, kenikmatan itu tidak membuat perjalanan ilahi seseorang menjadi berhenti dan jumud. Ini juga yang membuat kita tidak boleh menuduh cinta dunia bagi mereka yang berpakaian bagus, berumah megah, dan berkendaraan mewah.
Wallahu A‘lam
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!