Dalam kitab Tadzkirah al-Auliya’, Imam Fariduddin Attar memasukkan kisah unik dari Imam Ma’ruf al-Karkhi. Berikut kisahnya:
Dikisahkan bahwa Imam Ma’ruf al-Karkhi berjalan bersama murid-muridnya di tepian sungai Tigris, dan sekelompok pemuda sedang asyik minum-minum khamr, menabuh rebab (sejenis alat musik), dan menampakkan kefasikan secara terbuka di atas perahu sungai Tigris. Berkata sebagian murid kepada Imam Ma’ruf: “Wahai guru, berdoalah kepada Allah agar mereka binasa dengan tenggelam, agar kesialan mereka tidak mengenai makhluk lainnya dan kefasikan mereka berhenti (mempengaruhi) orang lain.”
Imam Ma’ruf al-Karkhi berkata: “Angkatlah tangan kalian.” Ketika mereka semua mengangkatnya, Imam Ma’ruf berdoa: “Tuhanku, sebagaimana Engkau senangkan hidup mereka di dunia, maka senangkan juga hidup mereka di akhirat kelak.” Maka murid-muridnya terkejut dengan isi doa Imam Ma’ruf al-Karkhi, dan berkata: “Wahai guru, kami tidak memahami rahasia doa ini.” Imam Ma’ruf al-Karkhi menjawab: “Tunggulah, maka kalian akan memahami rahasia di balik doa tersebut.”
Kemudian, ketika sekelompok pemuda itu melihat Imam Ma’ruf al-Karkhi, seketika mereka menghancurkan rebabnya, membuang khamarnya, menjatuhkan diri menangis, dan menghampiri Imam Ma’ruf al-Karkhi dengan terburu-buru, lalu mereka semua bertobat. Setelah itu, Imam Ma’ruf al-Karkhi berkata (pada murid-muridnya): “Lihatlah peristiwa mengagumkan ini, tujuannya tercapai tanpa harus ada yang ditenggelamkan.” (Imam Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, hal. 346-347)
Kisah di atas harus dihidupi dengan pemahaman menyeluruh, jangan hanya terjebak pada “mungkin” atau “tidak mungkin” pengaruh doa bisa secepat itu. Keterjebakan semacam itu akan membuat kita terlewat sisi baik kisah tersebut. Kita perlu memahaminya dengan terbuka, membuka pandangan selebar-lebarnya untuk menyerap hikmahnya. Lagi pula, Allah telah berjanji bahwa siapa pun yang berdoa kepada-Nya akan dikabulkan, apalagi yang berdoa adalah orang yang shaleh lagi berilmu.
Dalam kisah di atas, Imam Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 H) menampilkan pengajaran akhlak dalam doanya. Di saat murid-muridnya memintanya untuk mendoakan keburukan, Imam Ma’ruf al-Karkhi meresponsnya dengan cara yang tidak diharapkan. Ia berdoa memohon kebaikan bagi para pemabuk itu di dunia dan akhirat. Tentu saja ini tidak dipahami oleh murid-muridnya. Bagaimana mungkin para pendosa bisa bersenang-senang di akhirat? Bukankah hidupnya bergelimang dosa? Begitulah kira-kira yang bergulir di benak mereka.
Namun, jika dicermati dengan baik, kalimat doa, “Tuhanku, sebagaimana Engkau senangkan hidup mereka di dunia, maka senangkan juga hidup mereka di akhirat kelak,” mengandung makna yang sangat dalam. Tidak mungkin seseorang bisa bersenang-senang di akhirat jika mereka ahli maksiat dan tidak pernah beramal baik. Artinya, dengan doa tersebut Imam Ma’ruf al-Karkhi sedang memohonkan tobat untuk mereka, tapi dengan cara yang halus dan beradab. Pertanyaannya, kenapa harus dengan cara halus dan beradab?
Jawabannya sederhana, Imam Ma’ruf al-Karkhi melihat kebencian dalam murid-muridnya. Mereka menginginkan kebinasaan para pemabuk itu dengan cara ditenggelamkan, meskipun tujuan mereka baik. Oleh karenanya, Imam Ma’ruf al-Karkhi membacakan doa yang tidak mereka mengerti, bahkan mungkin mereka kritisi. Sisi menariknya, Imam Ma’ruf al-Karkhi melibatkan murid-muridnya dalam proses pengajaran akhlak melalui doa ini. Dengan demikian, murid-muridnya turut mendapat pahala dari tobatnya para pemabuk itu, yang akhirnya membuat mereka lebih sadar terhadap tanggung jawab seorang muslim kepada muslim lainnya.
Di samping itu, ada juga soal adab dan seni bertutur kepada Allah. Contohnya ketika seseorang mohon kaya, ada yang berdoa, “Tuhan, berikanlah aku kekayaan dua ratus miliar,” tapi ada juga yang berdoa, “Tuhan, berikanlah aku kemampuan berzakat dan bersedekah lima miliar.” Ini sekedar contoh, soal mana yang lebih beradab dan berseni tutur tinggi, silahkan dinilai sendiri, yang jelas ada nilai lebih yang terkandung di dalamnya.
Karena itu, Imam Ma’ruf al-Karkhi menegaskan pada baris terakhir kisah di atas, “Lihatlah peristiwa mengagumkan ini, tujuannya tercapai tanpa harus ada yang ditenggelamkan.” Tujuan yang dimaksud di sini adalah tujuan dalam arti sebenarnya, bukan tujuan yang diharapkan oleh murid-muridnya, yaitu kebinasaan para pemabuk. Dengan kata lain, Imam Ma’ruf al-Karkhi berusaha menyelarasi kehendak Tuhan untuk membawa para pendosa kembali ke jalan-Nya, bukan membinasakan mereka atas nama-Nya. Sebab, jika Imam Ma’ruf al-Karkhi membinasakan mereka sekarang, berarti ia telah merenggut peluang tobat para pemabuk itu.
Penegasan tersebut juga berarti peringatan kepada murid-muridnya, agar jangan sampai kebencian mereka pada perilaku buruk orang lain membuat mereka terjangkiti virus ujub dan takabbur. Dua virus yang sangat berbahaya bagi seorang salik yang sedang mencari Tuhan karena bisa menutup pintu kerendahan hati (tawadhu’).
Agar lebih mudah memahaminya, kita perlu merenungkin dialog Imam Abu Yazid al-Busthami dengan seekor anjing. Katanya:
“Wahai tuan guru, jika ujung (jubah)mu terkotori olehku, bisa dibersihkan dengan membasuhnya tujuh kali saja, tapi jika engkau terkotori oleh egomu sendiri, tujuh lautan pun tak bisa menbersihkannya.” Imam Abu Yazib berkata: “Engkau memang najis secara zahir, tapi batinmu suci. Sementara aku suci secara zahir, tapi batinku najis.” (Imam Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, hal. 193-194)
Dialog di atas adalah sebuah gambaran, bahwa hati manusia teramat sangat rumit, dipenuhi dengan berbagai macam watak dan rasa. Tidak seperti binatang yang hanya memiliki naluri sehingga selalu mengerjakan hal yang sama (monoton). Oleh karena itu, Imam Ma’ruf al-Karkhi memperingatkan murid-muridnya agar mengambil pelajaran dari peristiwa mengagumkan ini, bahwa ada pilihan lain dalam menghadapi manusia, tidak selalu menghukum yang akhirnya merenggut peluang mereka menjadi baik. Jadi, seberapa besarkah peluang kita?
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU