Imam Ibnu Hajar al-Asqalani pernah menulis pernyataan Sayyidina Utsman bin Affan dalam kitab “Munabbihat ‘alas –ti‘dadi li yaumil Mi’ad” tentang sepuluh hal yang paling sia-sia.
وقال عثمان رضي الله عنه : أَضْيَعُ الْأَشْيَاءِ عَشْرَةٌ عَالِمٌ لَا يُسْأَلُ عَنْهُ عَالِمٌ وَعِلْمٌ لَا يَعْمَلُ بِهِ وَرَأْيٌ صَوَابٌ لَا يُقْبَلُ وَسِلَاحٌ لَا يُسْتَعْمَلُ وَمَسْجِدٌ لَا يُصَلِّى فِيْهِ وَمُصْحَفٌ لَا يُقْرَأُ فِيْهِ وَمَالٌ لَا يُنْفَقُ مِنْهُ وَخَيْلٌ لَا تُرْكَبُ وَعِلْمُ الزُّهْدِ فِى بَطْنِ مَنْ يُرِيْدُ الدُّنْيَا وَعُمْرٌ طَوِيْلٌ لَا يَتَزَوَّدُ فِيْهِ لِسَفَرِهِ
Pertama, orang ‘alim yang tidak ditanya mengenai ilmunya. Tentang hal ini ada dua kemungkinan, yakni karena orang alim itu enggan mensyiarkan ilmunya atau karena orang-orang awam di sekitarnya menjadi orang alim sebagai sumber rujukan. Kedua-duanya merupakan perilaku negatif karena ilmu seyogianya menjadi pedoman agar tiap langkah dalam kehidupan ini berjalan sesuai dengan rel yang tepat.
Kedua, ilmu yang tak diamalkan. Senada dengan yang pertama tadi, ini adalah gejala di mana orang-orang tak terlalu menghargai ilmu. Bukan saja pemilik ilmu, bahkan juga ilmu itu sendiri. Ilmu diperoleh namun tidak dilaksanakan. Fenomena ini sangat sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Betapa banyak di antara kita yang mengerti bahwa berbohong adalah dosa, namun di saat yang sama kita melanggarnya. Betapa banyak pejabat pintar yang korupsi. Dan betapa banya orang yang mengerti hukum yang terjerat kasus hukum. Semua ini dikarenakan ilmu yang ada dalam diri mereka sia-sia belaka, tak memberi kemanfaatan bagi kebaikan hidup mereka.
Ketiga, pendapat yang benar namun ditolak. Islam sangat menganjurkan para pemeluknya untuk bermusyawarah. Ajaran ini didorong oleh ajakan agar manusia terbuka dengan pendapat orang lain. Ketika pendapat itu benar maka harus diakui benar. Kebenaran tidak ada kaitannya dengan siapa yang mengatakannya. Karena itu menjadi salah bila kita menolak pendapat yang benar hanya karena yang mengemukakannya adalah orang yang kita benci. Kebenaran dan kebencian adalah dua hal yang berbeda dan harus dipisahkan.
Keempat, senjata yang tidak digunakan. Senjata dalam pengertian hari ini bisa dianalogikan sebagai kekuasaan. Ketika kita memiliki kewenangan untuk menekan, misalnya jabatan politik atau posisi strategis lainnya, dan tidak dimanfaatkan untuk kebaikan, maka kewenangan itu akan sia-sia. Senjata adalah simbol kekuatan dan sungguh sayang sekali orang yang tak mampu memanfaatkan kekuatan tersebut dengan baik.
Hal sia-sia yang kelima adalah masjid kosong dari orang shalat. Esensi masjid adalah tempat untuk bersujud. Jika fungsi ini hilang, hilang pula hakikat ia sebagai masjid. Keterangan ini juga bisa dimaknai masjid yang mulai dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan jangka pendek segelintir saja, semisal politik praktis. Atau bisa pula dijadikan kritik terhadap keadaan ironis masa kini, di mana masjid kian banyak dan dibangun secara megah namun tidak kian menarik jamaah untuk lebih nyaman di dalamnya. Masjid menjadi tempat yang kian asing. Aktivitas-aktivitas keagamaan semakin sepi.
Keenam, Al-Qur’an yang tidak dibaca. Kitab suci sekadar menjadi kitab yang disucikan, bukan sekaligus dibaca lalu diamalkan. Padahal, membaca Al-Qur’an meski si pembaca tidak mengerti artinya bernilai pahala. Apalagi bila ia mau belajar kandungan makna di dalamnya untuk kemudian mengejawantahkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik yang berkenaan dengan hubungan kepada Allah maupun sesama makhluk.
Hal sia-sia berkutnya, ketujuh, adalah harta yang tidak diinfakkan. Sayyidina Utsman secara tersirat hendak mengingatkan bahwa harta yang digunakan untuk keperluan sehari-hari lantas lepas dari status sia-sia. Sebab, harta juga mesti diinfakkan. Ketika tanggung jawab yang kedua ini hilang, maka hilang pula nilai kemanfaatan dari harta tersebut. Itulah alasan mengapa Islam mewajibkan zakat dan menekankan keutamaan bersedekah. Infak dari sebuah kekayaan sekecil apa pun jumlahnya bernilai berkah dan menyucikan harta secara keseluruhan.
Kedelapan, kendaraan yang tidak ditunggangi. Kendaraan adalah alat untuk menuju tujuan tertentu. Karena ia adalah wasilah (perantara). Di zaman serbacanggih ini wujud wasilah begitu banyak, mulai dari alat transportasi, media sosial, alat komunikasi, dan lain-lain. Tingkat kemudahannya mungkin ratusan kali lipat dari “kendaraan” yang ada pada era Nabi. Namun, apakah wasilah-wasilah di zaman sekarang lebih bermanfaat daripada zaman itu? Ini menjadi bahan renungan kita bersama.
Kesembilan, ilmu zuhud di hati orang yang cinta dunia. Artinya, sia-sia seseorang berlajar ilmu tentang zuhud tapi hatinya belum bisa lepas dari cinta dunia. Sebab zuhud bukan semata berurusan dengan pengetahuan, melainkan tentang olah batin untuk mendudukkan segala hal selain Allah dalam posisi yang tidak prioritas.
Kesepuluh, umur panjang yang tak dimanfaatkan untuk mencari bekal (ke akhirat). Ini namanya penyia-nyiaan kesempatan. Peluang hidup di dunia hanya sekali, dan umur yang telah dilewati juga tak akan pernah kembali. Begitu usia kita habis hanya untuk perkara duniawi dan urusan diri sendiri, sia-sialah kita usia kita. Apalagi dalam Al-Qur’an kita sudah dingatkan bahwa kehidupan di akhirat adalah lebih utama ketimbang kehidupan di dunia.
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!