Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr.wb. Ustadz, saya saat ini seorang makelar tanah/rumah. Biasanya saya dapat persenan dari pembeli dan penjual. Teman-teman sesama makelar mengusulkan untuk menaikkan harga tanah agar kita dapat kelebihan dari harga tanah, selain komisi resmi 2 %. Ini sepengetahuan pemilik/penjual. Bolehkah jadi makelar, Ustadz? Halalkah keuntungan itu?
Jawaban :
Wa’alaikumussalam wr.wb. Makelar tanah adalah perantara antara pemilik tanah dan pihak pembeli. Makelar tanah mendapatkan komisi sesuai dengan kesepakatan dengan pemilik tanah. Namun pada kenyataan banyak terjadi praktek yang merugikan pihak penjual atau pembeli tanah.
Masalah yang terjadi kalau makelar tanah ingin mendapatkan hasil (baca: uang) sebanyak-banyaknya, sehingga sering terjadi kasus penzaliman/memberatkan baik terhadap pihak penjual maupun pembeli, dan kasus-kasus lain yang sering juga menimbulkan konflik. Menurut hukum Islam dalam masalah perdagangan seharusnya tidak menimbulkan konflik, memberatkan salah satu pihak atau penzaliman, semua pihak harus ikhlas agar perdagangan tidak menimbulkan kemudharatan.
Perantara/calo/makelar atau dalam bahasa Arabnya disebut “simsar”. Makelar ini sudah legal dikenal sejak zaman Rasulullah saw. Hal ini didasarkan pada hadis laporan Qais bin Abi Gorzah yang menceritakan: “Dulu, kami pada masa Rasulullah saw. menamakan diri sebagai ‘samasirah’ (calo/makelar). Suatu ketika Rasulullah datang menghampiri kami dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik dari calo, beliau bersabda : ‘Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini terkadang diselingi dengan kata-kata tidak manfaat dan sumpah, maka perbaikilah dengan bersedekah’.” (HR. Abu Dawud).
Kemudian landasan akad (transaksi) dalam hukum fiqih bagi “simsar” (calo) ada tiga akad; Pertama, akad wakalah (mewakili dan mewakilkan). Dalam hal ini penjual memberikan kuasa kepada makelar untuk mewakili dirinya dalam menjualkan tanah miliknya kepada pembeli, atau sebaliknya si makelar mewakili dari pihak pembeli. Maka makelar harus menyampaikan informasi sekecil apa pun kepada pihak yang memberikan kuasa dari hasil transaksi ini dan tidak boleh menyembunyikannya apalagi mengambil keuntungan. Kedua, akad ijar (transaksi jasa). Dalam hal ini pihak penjual menggunakan jasa makelar untuk menjualkan barangnya kepada pihak pembeli yang sudah ditentukan upah atau ongkosnya terlebih dahulu atau juga pihak pembeli menggunakan jasa makelar untuk membeli barang dari penjual. Maka, makelar tugasnya hanya memberikan jasanya untuk menjual atau membeli tidak mengambil keuntungan dari transaksi tersebut. Ketiga, akad ju’alah (transaksi sayembara). Dalam hal ini pihak penjual tidak bertransaksi kepada pihak makelar tertentu tapi kepada seluruh makelar, dengan akad barang siapa yang dapat menjualkan barangnya maka ia berhak mendapatkan sekian persen dari hasil penjualan. Maka si makelar juga tidak bermain harga penjualan, ia hanya menjualkan barang yang harga dan barangnya dari pihak penjual.
Namun apa yang Bapak lakukan tidak berdasarkan pada satu akad pun di atas, maka itu bukan dinamakan makelar, tapi menjual barang yang bukan miliknya, yang dalam istilah fiqih disebut “bai’u ma la yamliku”. Sebab Bapak dalam kasus di atas sama saja ingin menjual tanah (milik penjual) langsung kepada pihak pembeli, bukan sebagai perantara antara pembeli dan penjual. Karena Bapak ingin mengambil keuntungan sendiri, dan yang bisa mengambil keuntungan sendiri itu penjual bukan makelar. Maka akad jual beli semacam ini tidak diperbolehkan oleh Rasulullah saw. dan tentunya kentungannya juga tidak halal. Hal ini didasarkan pada sebuah hadis laporan sahabat Hakim bin Hizam ra. yang datang kepada Rasulullah bertanya tentang itu, yang artinya: “Wahai Rasulullah, aku didatangi seorang laki-laki yang ingin membeli barang yang tidak kumiliki, apakah aku membelikannya dari pasar. Maka Rasulullah bersabda ‘Janganlah engkau menjual barang yang tidak engkau miliki’.” (HR. Abu Dawud).
Sebenarnya pekerjaan makelar menurut pandangan Islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu perjanjian memanfaatkan suatu barang atau jasa dengan imbalan. Persetujuan kedua belah pihak, sebagaimana dijelaskan dalam surah An-Nisa’ ayat 29. Allah swt berfirman: ‘’Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu’’ (QS. An Nisa’ : 29).
Karena pekerjaan makelar termasuk ijarah, maka untuk sahnya pekerjaan makelar ini, harus memenuhi syarat, yaitu:
1.) Objek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan
2.) Objek akad bukan hal-hal maksiat atau haram.
3.) Makelar dan penjual harus bersikap jujur, ikhlas, terbuka, tidak melakukan penipuan dan bisnis yang haram maupun yang syubhat. Imbalan berhak diterima oleh seorang makelar setelah ia memenuh akadnya, sedang pihak yang menggunakan jasa makelar harus memberikan imbalannya, karena upah atau imbalan pekerja dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja yang bersangkutan. Sesuai dengan hadist Nabi: ‘’Berilah kepada pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya’’ (Hadis riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, Abu Ya’la dari Abu Hurairah dan At-Thabrani dari Anas).
4.) Jumlah imbalan yang harus diberikan kepada makelar adalah menurut perjanjian sebagaimana Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 1, Allah Swt berfirman : ‘’Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.’’(QS. Al-Maidah : 1)
Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh Islam yaitu:
1.) Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezaliman terhadap pembeli.
2.) Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap penjual
Wallahu A’lam
Sumber: Tanya Jawab “Suara Merdeka”