Dikisahkan, bahwa Rabi’ah binti Ismail Asy-Syamsiah, salah satu istri Ahmad bin Abu Al-Huwari, suatu hari memasak makanan yang enak. Masakan itu diberi campuran aroma yang harum. Suami Rabi’ah juga mempunyai istri yang lain. Setelah masak dan menyantap makanan itu, Rabi’ah berkata pada suaminya: “Pergilah kamu ke istri yang lain dengan tenaga yang baru”.
Rabi’ah yang satu ini memang mirip dengan Rabi’ah Adawiyah yang berdomisili di Bashrah. Rabi’ah Asy-Syamsiah ini setelah menunaikan shalat Isya ia berdandan lengkap dengan busananya. Setelah itu baru mendekati tempat tidur suaminya. Ia tawarkan pada suaminya, “Apakah malam ini kamu membutuhkan kehadiranku atau tidak”. Jika suaminya sedang berhasrat untuk menggaulinya, maka ia melayaninya hingga puas. Kalau malam itu suaminya sedang tidak berminat menggaulinya, maka ia menukar pakaian yang ia kenakan tadi dan berganti dengan pakaian lain yang digunakan untuk beribadah. Malam itu ia tenggelam di tempat shalatnya hingga Subuh. Rabi’ah binti Ismail Asy-Syamsiah bersuamikan Ahmad bin Abu Al-Huwari itu memang dikehendaki Rabi’ah sendiri. Ia pula yang pertama-tama melamar Syaikh Ahmad supaya berkenan memperistri dirinya.
Ceritanya demikian, Rabi’ah binti Ismail itu semula mempunyai suami yang kaya. Setelah kematiannya, ia memperoleh harta waris yang sangat besar. Ia kesulitan menafkahkan harta itu. Mengingat ia seorang perempuan yang terbatas gerakannya, maka ia bermaksud melamar Syaikh Ahmad, dengan tujuan agar dapat menasarufkan (menghibahkan) hartanya demi kepentingan Islam dan diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Yang demikian itu karena Rabi’ah binti Ismail memandang Syaikh Ahmad sebagai orang yang dapat menjalankan amanat, sedang Rabi’ah sendiri seorang yang adil.
Ketika mendapat lamaran dari Rabi’ah, Syaikh Ahmad berkata: “Demi Allah, sesungguhnya aku tidak berminat lagi untuk menikah. Sebab aku ingin berkonsentrasi untuk beribadah”.
Rabi’ah menjawab: “Syaikh Ahmad, sesungguhnnya konsentrasiku dalam beribadah adalah lebih tinggi daripada kamu. Aku sendiri sudah memutuskan untuk tidak menikah lagi, tetapi tujuanku menikah kali ini tidak lain adalah agar dapat menasarufkan (menghibahkan) harta kekayaan yang kumiliki kepada saudara-saudara yang muslim. Dan untuk kepentingan Islam sendiri. Akupun mengerti bahwa engkau adalah orang yang shalih, tetapi justru dengan begitu aku akan memperoleh keridhaan dari Allah SWT”.
Syaikh Ahmad berkata: “Baiklah, tetapi aku minta waktu. Aku hendak meminta izin dari guruku”. Lalu Syaikh Ahmad menghadap gurunya, yakni Syaikh Abu Sulaiman Ad-Darani. Sebab gurunya itu dulu pernah melarang dirinya untuk menikah lagi. Katanya: “Setiap orang yang menikah, sedikit atau banyak pasti akan terjadi perubahan atas dirinya”.
Tetapi setelah Abu Sulaiman mendapat penjelasan dari muridnya mengenai rencana Rabi’ah, ia berkata: “Kalau begitu, nikahilah ia. Karena perempuan itu seorang wali”.
Kisah-kisah yang serupa seperti kisah Rabi’ah Adawiyah itu sesunggguhnya cukup banyak. Lazimnya terjadi pada masa lalu, tetapi untuk masa sekarang, hampir tidak pernah dijumpai, adanya seorang wanita yang bertingkah baik seperti mereka.
Sumber: Kitab Uqudu Lujain
ADS HERE !!!