Setiap merayakan Hari Raya Idul Adha, yang sering kita dengar tentu kisah Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan Siti Hajar. Namun, yang membahas tentang kisah Siti Hajar secara spesifik belum begitu banyak. Oleh karena itu, melalui artikel ini penulis ingin menjelaskan tentang sepak terjang perjuangan dan pengorbanan Siti Hajar sebagai istri Nabi Ibrahim as. yang namanya dikenang sepanjang masa. Semoga kisah ini menginspirasi bagi kaum muslimah untuk bisa mengambil teladan sebagai seorang isteri dari seorang suami dan ibu dari seorang anak.
Lalu siapakah sebenarnya Siti Hajar itu ?
Di dalam buku “Misteri Ka’bah”, buku terjemahan dari The Ka’bah yang diterbitkan penerbit Zaman, dijelaskan, Siti Hajar adalah istri kedua Ibrahim setelah Siti Sarah. Siti Hajar adalah budak dari Siti Sarah. Siti Sarah memberikannya untuk dinikahi suaminya, Nabi Ibrahim, disebabkan Siti Sarah tidak bisa mempunyai anak karena sudah terlalu tua. Dan Allah merahmati mereka dengan seorang anak dari Siti Hajar yang dinamakan Ismail, dan di kemudian hari Ismail dijadikan Allah sebagai seorang nabi.
Alkisah, pada suatu hari Nabi Ibrahim menerima perintah dari Allah swt. bahwa dia harus membawa Siti Hajar (istrinya) dan Ismail yang baru lahir, ke suatu gurun pasir yang tandus dan gersang, yang sekarang ini kita kenal sebagai kota Mekkah.
Pada waktu itu tidak ada apa pun dan siapa pun di sana, gurun itu benar-benar kosong. Setelah Nabi Ibrahim membawa Siti Hajar dan Ismail, seketika itu pula Nabi Ibrahim diperintahkan untuk meninggalkan mereka berdua di sana.
Jadi Nabi Ibrahim berjalan ke tempat itu, sedangkan Siti Hajar tidak tahu apa-apa, apa tujuan Nabi Ibrahim membawa mereka berdua ke tempat itu. Nabi Ibrahim hanya meyakini, bahwa Siti Hajar dan anaknya Ismail akan melakukan perjalanan dan akan kembali ke rumah.
Saat pertama kali dibawa Nabi Ibrahim. Dari Kan’an menuju lembah yang gersang, sungguh, Siti hajar penuh dengan ketakutan. Pasalnya, suku Amaliqah yang suka berkemah saja, setelah beberapa hari bermukim di sana, tak pernah lagi ingin mengunjungi lembah tersebut lantaran susah mendapatkan air dan makanan ternak.
Saat tiba di lembah tersebut tampak sekali kegelisahan, kebingungan, dan ketakutan Siti Hajar, dan Nabi Ibrahim sangat memahaminya. Dengan suara yang lembut Nabi Ibrahim bertutur, “Janganlah takut Bunda Ismail. Saat ini kau berdiri di tanah Allah yang diberkati. Yakinlah kepada Allah.” Setelah sehari semalam Nabi Ibrahim menemani Siti Hajar dan Ismail, Nabi Ibrahim pun pamit ingin pulang ke negerinya, Kan’an. Usai bersiap, ia memandangi wajah Siti Hajar lalu berkata, “Aku akan meninggalkan kamu beserta putramu dalam pengawasan Allah. Aku berharap bisa kembali lagi secepatnya ke sini, Insya Allah!”
Setelah terjadi dialog, akhirnya Siti Hajar memahami apa yang dilakukan Nabi Ibrahim adalah perintah Allah, maka ia menerimanya dengan penuh keikhlasan dan keyakinan bahwa Allah tidak akan menelantarkannya. Dengan nada tegas Siti Hajar mengatakan saat Nabi Ibrahim ingin menaiki kendaraannya, “Jika memang begitu perintah-Nya, aku yakin Allah tidak akan menelantarkan kami.”
Setelah kepergian Nabi Ibrahim, Siti Hajar mulai memasuki kehidupan yang berbeda, yang hanya ditemani oleh putranya Ismail. Keesokan paginya, Siti Hajar terbangun karena tangis keras bayinya, Ismail. Siti Hajar pun mulai panik dan bingung karena bayinya sangat lapar dan dahaga. Ia mengambil kantong air, namun ternyata isinya sudah habis. Ia pun mulai mencari ke-sekeliling tempatnya bermukim. Dia pergi menuju bukit Shafa berharap ada sekelompok kafilah (rombongan pedagang) di sana, namun ternyata tidak ada.
Tiba-tiba dilihatnya kilauan air di lereng bukit Marwa, dikejarnya namun ternyata tidak ada. Ia melihat pula di bukit Shafa ada air, didatangi lembah bukit tersebut ternyata tidak ada juga air di sana. Ia berbolak balik antara Shafa dan Marwa hingga tujuh kali, meski sengatan matahari membakar wajahnya dan hamparan pasir membuat telapak kakinya bengkak.
Padahal dahulu, masa kecil dan remajanya di Mesir ia dapat menikmati air yang jernih dan segar, matahari yang cerah dan angin bertiup lembut. Setelah menikah dengan Ibrahim as di antara ladang dan kebun yang indah dihembus udara yang segar. Kini ia ditakdirkan mengalami derita kesendirian dan keterasingan. Ia dipaksa merasakan keganasan dan kegersangan hamparan sahara yang membentang luas.
Di tengah harap dan putus asa, ia kembali menemui bayinya. Ketika dekat dengan anaknya, ia terkejut. Tadi Ismail. menangis kenapa sekarang tenang? Ia tersentak kaget bercampur bahagia melihat air yang mengalir di bawah kaki bayinya. Air itu muncul bekas hentakan kaki bayinya saat menangis. Siti Hajar pun berucap “Zam Zam” “(Kumpullah) wahai air!” Ia pun mencidukkan air tersebut dengan tangannya dan memberi minum bayinya. Ia pun tak henti-hentinya memuji Allah swt. atas rahmat yang dianugerahkan kepadanya. (Diambil dari Mimbar Islam, 2011).
Mengambil I’tibar (Pelajaran) dari Siti Hajar
Dari kisah singkat mengenai apa yang dirasakan Siti Hajar, adalah layak untuk kaum muslimah untuk meneladaninya dalam kehidupan sehari-hari. Hemat penulis, ada 3 (tiga) perilaku Siti Hajar yang layak ditiru.
Pertama, taat kepada Allah. Siti Hajar sangat taat kepada Allah. Ketika ia tahu diminta untuk tinggal di lembah yang sangat gersang, ia tidak protes. Ia tahu bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakannya. Allah tidak akan menelantarkannya di daerah tersebut, meski suku Amaliqah tidak tinggal di daerah tersebut. Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita, wahai kaum muslimah, taat kepada Allah Swt? Bila kita sudah menikah, apakah kaum muslimah sudah menjalankan tugas kita sebagai isteri yang baik, yang merupakan wujud ketaatan kita kepada Allah Swt?
Pertanyaan yang penulis ajukan bukanlah untuk menggurui, apalagi penulis secara kebetulan seorang laki-laki, namun hanya untuk mengajak merenung bersama. Taatlah kepada suami apapun bentuknya, jika masih berada di batas Syar’i. Jangan pikirkan apa yang diperbuatnya terhadap kita, tapi pikirkanlah apa yang telah diberikan Allah dengan ditakdirkannya menikah dengan diri kita.
Untuk yang belum menikah, jangan pikirkan hal-hal buruk yang dialami, tapi pikirkan betapa Allah sangat sayang dengan diri ini hingga detik ini Allah menjaga kita dari laki-laki yang tak pantas untuk dijadikan pendamping hidup. Yakinlah Allah tak pernah menyia-nyiakan kehidupan di dunia ini. Yang penting, percayalah kepada Allah dan senantiasa taat kepada-Nya.
Kedua, sabar dalam berjuang. Lihatlah kehidupan Siti Hajar. Meski ia ditinggal suaminya, ia tetap berjuang untuk mencari makan dan minum anaknya. Meski hampir putus asa, namun ia tetap memiliki keyakinan, bahwa Allah swt. akan menolongnya. Inilah yang perlu ditiru. Meski suami sedang memiliki rezeki yang ‘seret’ umpamana, janganlah berubah pandangan terhadapnya. Jangan pernah mencacinya.
Penderitaan yang mungkin dialami, belum seberapa bila dibandingkan penderitaan Siti Hajar as. Karena itu, tetaplah mengasuh anak dengan baik seperti apa yang dilakukan Siti Hajar as. Yakinkan diri! Bahwa Allah akan memberi rezeki. Allah tak akan membiarkan hambanya menderita.
Ketiga, tawakkal dan bersyukur setelah berusaha. Setelah taat kepada Allah dan sabar dalam berjuang, maka yang mesti dilakukan adalah tawakkal dan bersyukur. Lihatlah apa yang dilakukan Siti Hajar! Setelah ia lelah ke sana kemari, mondar-mandir dari Shafa ke Marwa tujuh kali, ia berserah diri (tawakkal) kepada Allah. Ia pun mendekati anaknya dan yakin Allah akan menolongnya. Tawakkal-nya berbuah manis. Ia melihat air di kaki anaknya, Ismail. Ia pun tak lupa bersyukur kepada Allah.
Insya Allah, jika ketiga hal tadi dapat dilakukan oleh kaum muslimah, betapa banyak akan lahir Generasi Muslim sebagai “qurrota a’yun” (penyejuk jiwa), dan menjadi “imam” (pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa.
Sumber: Situs PCNU Kendal