Mustasyar PBNU KH. A. Mustofa Bisri menilai, kemelut masalah keagamaan yang bersumber dari imbas suhu politik pada musim pilkada baru-baru ini merupakan bentuk penggunaan agama yang dipakai berpolitik oleh orang-orang yang tidak ahli berpolitik.
“Ini yang mengacaukan kita kan orang yang kepengennya berpolitik tapi tidak mengerti politik. Lalu menggunakan agama tapi tidak tahu agama. Jadi repot semua, nggak begitu mengerti berpolitik tapi berpolitik, menggunakan agama tapi nggak mengerti agama. Kacaunya dobel-dobel atau murakkab,” ungkapnya saat mengisi pengajian yang diadakan di Masjid Raya Alun-Alun Bandung, Jawa Barat.
Untuk meluruskan pemahaman, kiai yang masyhur disapa Gus Mus itu menuturkan tentang tiga bentuk politik:
Pertama, ada politik kebangsaan. Politik ala NU selalu berpikir tentang bangsa Indonesia. Bermula dari pikiran sederhana bahwa Indonesia adalah rumah kita. Oleh karena itu, politik kebangsaan adalah suatu hal penting untuk menjaga NKRI yang mutlak sebagai orang NU.
“Yang dipikirkan NU itu Indonesia. Dulu ketika Gus Dur diturunkan kenapa tidak menggerakkan rakyat (Nahdliyin) yang berjumlah lebih dari 60 juta orang. Itu berapa kali lipat penduduk Arab Saudi. Kalau Gus Dur mengerahkan rakyat itu, kayak apa Indonesia? Politik kebangsaan mengalahkan politik kekuasaan,” ujarnya.
Kedua, politik kerakyatan. Politik ini, kata Gus Mus, yang sudah jarang-jarang dijalankan oleh orang-orang NU. Ia memamparkan bahwa politik kerakyatan itu politik yang membela rakyat. “Kalau menjadi anggota dewan ya betul-betul menjadi wakil rakyat betul, jangan mewakili diri sendiri. Wakil rakyat kok mewakili diri sendiri,” sindirnya disambut tawa hadirin yang memenuhi serambi masjid dan alun-alun.
|
KH.A. Mustofa Bisri (Gus Mus) |
Gus Mus melanjutkan bentuk ketiga adalah yang paling diminati oleh orang, yaitu politik kekuasaan atau politik praktis. Ini yang bagi Gus Mus merupakan hal yang sangat sepele, paling hanya 5 tahun.
“Urusan lima tahunan, lha kok bawa-bawa Al-Qur’an yang “ila yaumil qiyamah” (sampai hari kiamat). Memang kepentingan duniawi itu menggiurkan, meskipun cuma lima tahunan tetapi bisa menghilangkan pikiran kita,” terang pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang ini.
Ia mengingatkan bahwa mencintai dunia secara berlebihan-lebihan adalah sumber dari segala kesalahan, sumber malapetaka. “Tidak usah berlebih-lebihan, suka pangkat, suka harta, yang sedang-sedang saja. Kalau bahasa NU, tawassuth dan i’tidal. Berlebihan apa saja itu yang menyebabkan kerusakan,” pesan Gus Mus
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!