Biografi Khalifah Utsman bin Affan
Nama lengkap beliau adalah Utsman bin Affan bin Abi al-’Ash bin Umayyah bin Abdi asy-Syams bin Abdi Manaf bin Qushayyi bin Kilab bin Murroh bin Ka’ab bin Luayyi bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’addu bin Adnan. Beliau menisbatkan dirinya kepada bani Umayyah, salah satu kabilah Quraisy. Ayahnya Affan adalah seorang saudagar yang kaya raya dari suku Quraisy-Umayyah.
Nasab Utsman melalui garis ibunya bertemu dengan nasab Nabi Muhammad pada Abdi Manaf bin Qushayyi. Kalau Utsman bersambung melalui Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf. Baik suku Umayyah maupun suku Hasyim sejak sebelum Islam sudah mengadakan persaingan dan permusuhan yang sangat keras. Setelah Islam datang, Nabi Muhammad berusaha mendamaikan kedua suku maupun suku-suku lain melalui ikatan perkawinan dan juga melancarkan dakwah Islam.
Utsman bin Affan dilahirkan di Thaif, sebagian pendapat ada yang mengatakan di Mekah. Beliau lahir pada tahun 567 M, yakni enam tahun setelah tahun gajah, beliau lebih muda dari Rasul selisih enam tahun. Ibu beliau bernama Arwa binti Kuraiz bin Rabi’ah bin Hubaib bin Abdi Syams bin Abdi Manaf. Beliau tumbuh di atas akhlak yang mulia dan perangai yang baik. Beliau sangat pemalu, bersih jiwa dan suci lisannya, sangat sopan santun, pendiam dan tidak pernah menyakiti orang lain. Beliau suka ketenangan dan tidak suka keramaian, kegaduhan, perselisihan, dan teriakan keras. Beliau rela mengorbankan nyawanya demi untuk menjauhi hal-hal tersebut.
Sebelum memeluk Islam, beliau sudah dikenal sebagai seorang pedagang yang kaya raya. Beliau juga mempunyai sifat-sifat mulia lainnya, seperti; sederhana, jujur, cerdas, shaleh, dan dermawan. Utsman bin Affan masuk Islam pada usia 34 tahun. Berawal dari kedekatannya dengan Abu Bakar, beliau dengan sepenuh hati masuk Islam bersama sahabatnya Thalhah bin Ubaidillah. Meskipun masuk Islamnya mendapat tantangan dari pamannya yang bernama Hakim, beliau tetap pada pendiriannya. Karena pilihan agamanya tersebut, Hakim sempat menyiksa Utsman bin Affan dengan siksaan yang pedih.
Selain dikenal sebagai salah seorang sahabat terdekat Nabi, beliau juga dikenal sebagai seorang penulis wahyu. Beliau selalu bersama Rasulullah saw., dan selalu mengikuti semua peperangan kecuali perang Badar karena Rasulullah saw. memerintahkan Utsman untuk menunggui istrinya, Ruqoyyah, yang saat itu sedang sakit keras. Dan karena kebaikan akhlak dan muamalahnya, beliau dicintai oleh Quraisy, Nama panggilannya Abu Abdullah dan diberi gelar Dzunnurrain (yang mempunyai dua cahaya). Sebab digelari Dzunnuraian karena beliau menikahi dua putri Rasulullah yaitu: Ruqqoyah dan Ummu Kultsum. Ketika Ummu Kultsum wafat, Rasulullah mengatakan bahwa sekiranya beliau punya anak perempuan yang ketiga, niscaya akan dinikahkan dengan Utsman juga. Dari pernikahannya dengan Ruqoyyah lahirlah anak laki-laki. Tapi tidak sampai tumbuh besar, anaknya meninggal ketika berumur 6 tahun pada tahun 4 Hijriah.
Beliau mempunyai 9 anak laki-laki yaitu Abdullah al-Akbar, Abdullah al-Ashgar, Amru, Umar, Khalid al-Walid, Uban, Said dan Abdul Muluk dan 6 anak perempuan. Utsman bin Affan hidup di tengah orang-orang musyrikin Quraisy yang menyembah berhala-berhala, namun beliau tidak menyukai kesyirikan, animisme dan dinamisme serta adat istiadat yang kotor. Beliau menjauhi segala bentuk kotoran jahiliyah yang mereka lakukan, beliau tidak pernah berzina, membunuh, ataupun meminum khamr.
Utsman adalah seorang pejuang tangguh. Perjuangannya dalam membela Islam tidak hanya dengan hartanya saja. Tapi juga raga dan nyawanya. Beliau sangat senang mengeluarkan hartanya demi kepentingan Islam. Hingga pernah mengirimkan setengah kekayaannya untuk perjuangan di medan perang. Pernah mendermakan 300 unta dan 50 kuda tunggangan. Begitu juga mendermakan 10.000 dinar yang diserahkan langsung kepada Rasulullah. Rasulullah pun berkata; “Apa yang diperbuat pada hari ini, Utsman tidak akan merugi (di akhirat)” (HR.Tirmidzi).
Pada waktu orang-orang membutuhkan air untuk keperluan dirinya dan hewan ternaknya, Utsman membeli sumber mata air dari Raumah yaitu seorang Yahudi, untuk diwakafkan kepada umum seharga 20.000,- dirham. Mengenai kedermawanannya, Abu Hurairah berkata: “Utsman bin Affan sudah membeli surga dari Rasulullah dua kali; pertama ketika mendermakan hartanya untuk mengirimkan pasukan ke medan perang. Kedua ketika membeli sumber air (dari Raumah)” (HR. Tirmidzi).
Beliau wafat pada tahun 35 Hijriah pada umur 82 tahun. Menjabat sebagai khalifah ketiga selama 12 tahun (24–36 H/ 644–656 M).
Karier Politik Utsman bin Affan
Beliau merupakan salah seorang sahabat terdekat Rasulullah, Utsman juga seorang penulis wahyu dan sekretarisnya. Beliau selalu berjuang bersama Rasulullah, Hijrah mengikuti Rasulullah dan berperang pada setiap peperangan kecuali perang Badar. Di kalangan bangsa Arab beliau tergolong konglomerat, tetapi perilakunya sederhana. Selama tinggal di Madinah, beliau memperlihatkan komitmen sosialnya yang tinggi pada Islam. Seluruh hidupnya diabdikan untuk syiar agama Islam dan seluruh kekayaannya didermakan untuk kepentingan umat Islam.
Selama pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Utsman menjadi pejabat yang amat dipercaya yaitu sebagai anggota dewan inti yang selalu diminta pendapatnya tentang masalah-masalah kenegaraan, misalnya masalah pengangkatan Umar. Seperti janji yang dikatakan khalifah Umar dalam pidato kenegaraannya sebagai khalifah, dia telah membentuk majlis khusus untuk pemilihan khalifah berikutnya. Majelis atau panitia pemilihan itu terdiri dari enam sahabat dari berbagai kelompok sosial yang ada. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqas, dan Thalhah. Namun pada saat pemilihan berlangsung, Thalhah tidak sempat hadir, sehingga tinggal berjumlah lima dari enam anggota panitia yang melakukan pemilihan.
Salah seorang putra Umar, Abdullah, ditambahkan pada komisi di atas tetapi hanya punya hak pilih dan tidak berhak dipilih. Dewan tersebut dikenal dengan sebutan Ahlul Halli wa al-‘Aqdi dengan tugas pokok menentukan siapa yang layak menjadi penerus Khalifah Umar bin Khattab dalam memerintah umat Islam. Suksesi pemilihan Khalifah ini dimaksudkan untuk menyatukan kembali kesatuan umat Islam yang pada saat itu menunjukkan adanya indikasi disintegrasi.
Dalam sebuah riwayat menyebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf sebagai ketua tim pelaksanaan pemilihan khalifah, pasca wafatnya Umar bin Khattab, berkata kepada Utsman bin Affan di suatu tempat sebagai berikut: "Jika saya tidak membaiatmu (Utsman) maka siapa yang engkau usulkan?" Ia (Utsman) berkata: “Ali”. Kemudian ia (Abdurrahman bin Auf) berkata kepada Ali, "Jika saya tidak membaiatmu, maka siapa yang engkau usulkan untuk dibaiat?". Ali berkata: “Utsman”.
Kemudian Abdurrahman bin Auf bermusyawarah dengan tokoh-tokoh lainnya, ternyata mayoritas memilih Utsman sebagai khalifah. Memperhatikan percakapan dari dua sahabat tersebut, maka tampaklah bahwa sesungguhnya Utsman dan Ali tidak ambisius menjadi khalifah, justru keduanya saling mempersilahkan untuk menentukan khalifah secara musyawarah. Sahabat-sahabat yang tergabung dalam dewan, posisinya seimbang tidak ada yang lebih menonjol sehingga cukup sulit untuk menetapkan salah seorang dari mereka sebagai pengganti Umar.
Tidaklah heran bila dalam sidang terjadi tarik ulur pendapat yang sangat alot, walaupun pada akhirnya, mereka memutuskan Utsman bin Affan sebagai khalifah setelah Umar bin Khattab, karena suara mayoritas menghendaki dan mendukung Utsman. Beliau dinyatakan resmi sebagai Khalifah melalui sumpah, dan baiat seluruh umat Islam.
Pemilihan itu berlangsung pada bulan Dzul Hijjah tahun 23 H atau 644 M dan dilantik pada awal Muharram 24 H atau 644 M. Ketika Thalhah kembali ke Madinah Utsman memintanya menduduki jabatannya, tetapi Thalhah menolaknya seraya menyampaikan baiatnya.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf berkata kepada Ali sambil memegang tangannya, “Engkau mempunyai hubungan kerabat dengan Rasulullah dan sebagaimana diketahui, engkau lebih dulu masuk Islam. Demi Allah, jika aku memilihmu, engkau mesti berbuat adil. Dan jika aku memilih Utsman, engkau mesti patuh dan taat.” Kemudian Abdurrahman bin Auf menyampaikan hal yang sama kepada lima sahabat lainnya. Setelah itu ia berkata kepada Utsman, “Aku membaiatmu atas nama sunnah Allah dan Rasul-Nya, juga dua khalifah sesudahnya.” Utsman berkata, “Baiklah”. Abdurrahman langsung membaiatnya saat itu juga diikuti oleh para sahabat dan kaum muslim. Orang kedua yang membaiat Utsman adalah Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian kaum muslim bersepakat menerima Utsman sebagai khalifah setelah Umar bin Khattab. Haris bin Mudhrab berkata,”Aku berjanji pada masa Umar, kaum muslim itu tidak merasa ragu bahwa khalifah berikutnya adalah Utsman”.
Demikian proses pemilihan Khalifah Usman bin Affan berdasarkan suara mayoritas. Terpilihnya Utsman sebagai Khalifah ternyata melahirkan perpecahan di kalangan pemerintahan Islam. Pangkal masalahnya sebenarnya berasal dari persaingan kesukuan antara bani Umayyah dengan bani Hasyim atau Alawiyah yang memang bersaing sejak zaman pra Islam. Oleh karena itu, ketika Utsman terpilih masyarakat menjadi dua golongan, yaitu golongan pengikut Bani Ummayah, pendukung Utsman dan golongan Bani Hasyim pendukung Ali. Perpecahan itu semakin memuncak di penghujung pemerintahan Utsman, yang menjadi simbol perpecahan kelompok elite yang menyebabkan disintegrasi masyarakat Islam pada masa berikutnya.
Dinamika Awal Kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan
Setelah kaum muslim bersepakat membaiat Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga menggantikan Khalifah sebelumnya yaitu Umar bin Khattab. Ketika ditinggalkan oleh Umar bin Khattab, umat Islam berada dalam keadaan yang makmur dan bahagia. Kawasan dunia muslim pun telah bertambah luas. Khalifah Umar berhasil menciptakan stabilitas sosial politik di dalam negeri sehingga ia dapat membagi perhatiannya untuk memperluas wilayah Islam. Dan ketika Utsman menjabat sebagai khalifah, beliau meneruskan sebagian besar garis politik Umar. Beliau melakukan berbagai ekspedisi untuk mendapatkan wilayah-wilayah baru. Perluasan itu memunculkan situasi sosial politik yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Banyak hal baru yang harus diantisipasi oleh penguasa muslim untuk menyatukan umat, yang terdiri atas berbagai suku dan bangsa. Salah satu hal yang muncul akibat perluasan wilayah Islam adalah munculnya berbagai perbedaan qira’at dalam Al-Qur’an. Itu karena setiap daerah memiliki dialek bahasa tersendiri, dan setiap kelompok umat Islam mengikuti qira’ah para sahabat terkemuka. Sebagaimana diketahui ada beberapa orang sahabat yang menjadi kiblat atau rujukan bagi kaum muslim mengenai bacaan Al-Qur’an.
Pada masa Rasulullah dan dua khalifah sebelumnya keadaan itu tidak menimbulkan permasalahan karena para sahabat biasa mencari rujukan yang pasti mengenai bacaan yang benar dan diterima. Namun seiring perubahan zaman dan perbedaan latar belakang sosial budaya mayarakat Islam, persoalan itu semakin meruncing dan berujung pada persoalan aqidah. Sebagian kelompok umat menyalahkan kelompok lain karena perbedaan gaya dan qiraah Al-Qur’an. Bahkan mereka saling mendustakan, menyalahkan bahkan mengkafirkan. Kenyataan itu mendorong Utsman untuk berijtihad melakukan sesuatu yang benar-benar baru. Pada akhir 24 H awal 25 H, Utsman mengumpulkan para sahabat lalu empat orang diantara mereka menyusun mushaf yang akan menjadi rujukan umat Islam. Keempat kodifikasi panitia itu adalah para penghafal al-Qur’an yang telah dikenal baik yaitu; Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin al-Ash dan Abdurrahman bin al-Harist bin Hisyam.
Panitia kodifikasi itu bekerja sangat cermat dan hati-hati. Mereka menghimpun berbagai qira’ah yang ada di tengah umat kemudian memilih salah satunya yang dianggap paling dipercaya. Mereka langsung menuliskan dalam satu mushaf lafal atau bacaan yang disepakati bersama. Yang tersusun rapi dan sistematis. Panitia kodifikasi Al-Qur’an bekerja dengan cermat, teliti, dan hati-hati sehingga menghasilkan sebuah mushaf. Sebetulnya karya itu bukan murni dilakukan Khalifah Utsman, karena gagasan itu telah dirintis sejak kepemimpinan Abu Bakar dan diteruskan Khalifah Umar. Mushaf Utsmani itu pun tuntas disusun dan mushaf-mushaf lain yang berbeda dari mushaf utama itu diperintahkan untuk dibakar.
Setelah Khalifah Umar bin Khattab berpulang ke rahmatullah terdapat daerah-daerah yang membelot terhadap pemerintah Islam. Pembelotan tersebut ditimbulkan oleh pendukung-pendukung pemerintahan yang lama (pemerintahan sebelum daerah itu masuk ke daerah kekuasaan Islam) ingin hendak mengembalikan kekuasaannya. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaisar Yazdigard yang berusaha menghasut kembali masyarakat Persia agar melakukan perlawanan terhadap penguasa Islam. Akan tetapi dengan kekuatannya, pemerintahan Islam berhasil memusnahkan gerakan pemberontakan sekaligus melanjutkan perluasan ke negeri-negeri Persia lainnya, sehingga beberapa kota besar seperti Hisrof, Kabul, Gasna, Balkh dan Turkistan jatuh menjadi wilayah kekuasaan Islam.
Adapun daerah-daerah lain yang melakukan pembelotan terhadap pemerintahan Islam adalah Khurasan dan Iskandariyah. Khalifah Utsman mengutus Sa’ad bin al-Ash bersama Khuzaifah Binu al-Yaman serta beberapa sahabat Nabi lainnya pergi ke negeri Khurasan dan sampai di Thabristan dan terjadi peperangan hebat, sehingga penduduk mengaku kalah dan meminta damai. Tahun 30 H/ 650 M pasukan Muslim berhasil menguasai Khurasan. Selain itu, Khalifah Utsman bin Affan juga mengutus Salman Rabiah Al-Baini untuk berdakwah ke Armenia.
Beliau berhasil mengajak kerjasama penduduk Armenia, bagi yang menentang dan memerangi terpaksa dipatahkan dan kaum muslimin dapat menguasai Armenia. Perluasan Islam memasuki Tunisia (Afrika Utara) dipimpin oleh Abdullah bin Sa‘ad bin Abi Zarrah. Tunisia sebelum kedatangan pasukan Islam sudah lama dikuasai Romawi. Tidak hanya itu saja pada saat Syiria dipimpin gubernur Muawiyah, ia berhasil menguasai Asia kecil dan Cyprus.
Di masa pemerintahan Utsman, negeri-negeri yang telah masuk ke dalam kekuasaan Islam antara lain: Barqoh, Tripoli Barat, sebagian selatan negeri Nubah, Armenia dan beberapa bagian Thabaristan bahkan tentara Islam telah melampaui sungai Jihun (Amu Daria), negeri Balkh (Baktria), Hara, Kabul dan Gzaznah di Turkistan. Jadi 6 tahun pertama pemerintahan Utsman bin Affan ditandai dengan perluasan kekuasaan Islam. Perluasan dan perkembangan Islam pada masa pemerintahannya telah sampai pada seluruh daerah Persia, Tebristan, Azerbizan dan Armenia selanjutnya meluas pada Asia kecil dan negeri Cyprus, serta Rhodes dan Trasoxania. Atas perlindungan pasukan Islam, masyarakat Asia kecil dan Cyprus dan lainnya bersedia menyerahkan upeti sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya pada masa kekuasaan Romawi atas wilayah tersebut.
REFERENSI
Abdullah, Amin, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Abu Zahrah, Al-Imam Muhammad, Tarikh al-Madzahib alIslamiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1996.
Al-Imam Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim alSyahrastani, Al-Minal…, hlm. 136-137. Tregedi Pembunuhan Khalifah Usman Bin Affan 100 Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015
Al-Baghdadi, Al-Imam Abdul Qadir bin Tahir bin Muhammad, al-Farq Bayn Al-Firaq, Beirut: Dar al-Marifah, 1997.
Al-Malghuts, Sami Binu Abdillah, Ahammul Ahdas at-Tarikhiyyah fi ‘Ahdi al-Khulafa ar-Rasyidin. Riyadh: Maktabah Obekan, 1426 H.
Al-Syahrastani, Al-Imam Abu Al-Fath Muhammad bin Abd alKarim, Al-Milal Wa Al-Nihal. Jilid.1. Beirut: Dar AlKutub Al-Ilmiyyah. t.th. Amin, Ahmad, Islam dari Masa ke Masa, Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 1987.
Dasuki, A. Hafidz, dkk., Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Ibrahim, Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2001.
Ibrahim, Qasim A. dan Saleh, Muhammad A, Buku Pintar Sejarah Islam: Jejak Langkah Peradaban Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, Jakarta: Zaman. 2014.
Ja’far, Abu, Tarikh at-Thabari, Jilid IV. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1973. Maryam, Siti, dkk., Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta: LESFI IAIN Sunan Kalijaga, 2003.
Murad, Musthafa, Kisah Kehidupan Usman Bin Affan, Jakarta: Zaman, 2007.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah analisa Perbandingan. . Jakarta: UI-Press, 2002.
Shiddiqi, Nourouzzaman, Menguak Sejarah Muslim, Yogyakarta: PLP2M,1984. Sou’ayb, Joesoef, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Su’ud, Abu, Islamologi: Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.
Yusuf, Muhammad, Hayah ash-Shahabah, Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.