Pertanyaan:
Assalamu’alaikum, Kiai Adib yang kami hormati, sekarang ini marak terjadi yang namanya ‘tukang’ proposal. Dia bekerja dengan cara menjual jasa pembuatan proposal sekaligus mengawal dan memperlancar proposal tersebut hingga dana atau bantuan cair. Berhasil atau tidak dia akan mendapat imbalan besar yang diambil dari prosentase dana atau bantuan yang cair. Biasanya ia akan membuat laporan berupa rincian dana yang digelembungkan (dimanipulasi). Bagaimana hukum dari praktik tersebut? Jika dana atau bantuan sudah cair bolehkan panitia mengambilnya sebagiannya untuk kepentingan pekerja atau administrasi yang lain? Atas jawaban yang diberikan saya haturkan matur nuwun. Wassalamu’alaikum
Jawaban:
Wa’alaikum salam wa rahmatullah, Saudara yang senantiasa berbahagia. Sah-sah saja bila kita meminta bantuan untuk suatu kepentingan bersama apalagi jika menyangkut urusan syiar agama. Hal itu biasanya dilakukan dengan cara swadaya masyarakat atau mengajukan proposal ke perseorangan atau instansi tertentu seperti yang –mungkin- saudara maksud.
Proposal yang diajukan harus disesuaikan dengan kebutuhan yang ada, harus berdasar pada perencanaan yang matang dan disepakati bersama. Untuk urusan upah kepada pembuat proposal seperti yang saudara tanyakan menurut pendapat yang kuat adalah HARAM hukumnya, karena upah (ju’lu) nya tidak maklum. Sehingga jika kita ingin memberikan upah harus diberikan upah sesuai dengan standarnya (ujrah mitsil) dan tidak boleh diambilkan dari dana atau bantuan yang sudah cair.
Bagi panitia boleh mengambil sebagian dana yang cair jika itu untuk keperluan pekerja atau administrasi yang dibutuhkan. Hal ini ditinjau dari hibah pemerintah (mu’thi) adalah hibah secara mutlak atau hibah secara muqayyadah. Namun harus ada atau aturan yang jelas (qarinah) yang memberi keleluasaan untuk digunakan kepentingan tersebut.
Referensi:
Hasyiyata Qulyubi [03]: 206/[2]: 380, Tuhfatul Muhtaj [8]: 197, Is’ad ar-Rafiq [2]: 76, I’anah at-Thalibin [3]: 421/[4]: 110, Bughyah al-Mustarsyidin: 126, Al-Azis Syarh al-Wajiz [5]: 82, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah [15]: 214.
Sumber: majalahlangitan.com
ADS HERE !!!