Gara-gara tema pengajian akbar pelantikan Ansor Ngabul yang lumayan beda, ada orang memprotes dengan nada miring. Tema “Meneguhkan Jepara Bumi Aswaja” dianggapnya sebagai kalimat lain bahwa selama ini Jepara bukan bumi aswaja.
Ia mungkin tidak paham kalau kalimat meneguhkan adalah ta’kid (menguatkan) atas apa yang selama ini sudah muakkadan (disepakati bersama) bahwa Jepara, sejak dulu adalah bumi pantura yang punya sejarah tua ihwal Islam Nusantara, setua ribuan makam auliya’ yang ada di seluruh Jepara.
Meski makam-makam tua di Pulau Mandalika, Karimunjawa dan juga di sepanjang pesisir Jepara bisa dijadikan bukti peradaban Islam di Jepara, namun jauh sebelum itu, bumi Jepara sudah pernah dipijak oleh para sahabat Nabi, leluhur bersanad pengamal Islam ahlussunnah wal jama’ah, bukan Islam sunnah saja.
Sebut misalnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramaallahu wajhah. Zaman Ratu Shima memimpin Kalingga, beliau menikahkannya dengan Kartikeyasingha II. Terjadi tahun 648-649 M. Sementara sahabat lain, yakni Abdullah bin Mas’ud juga turut serta dalam akad pernikahan tersebut.
Sebelumnnya, saudara Sayyidina Ali, yakni sahabat Ja’far bin Abi Thalib juga tercatat pernah berdakwah ke Jepara zaman Jawa Dwipa pada tahun 626 M/4 H. Ia mengantarkan surat resmi dari Rasulullah, Kanjeng Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam kepada kerajaan Ratu Shima, Kalingga. (Baca Kitab Qishshatud Dakwah Fii Arahbiliyyah (Nusantara), 1929, hlm: 33).
Hubungan diplomatik tersebut sangat wajar terjadi karena menurut keterangan tertulis KH. Hisyam Zamroni, zaman itu kekhalifahan Sayyidina Ali sudah memiliki jalinan kerjasama global yang meliputi Tiongkok dan juga Kalingga. Julukan Tace juga sudah membumi di kalangan rakyat Kalingga sebagai sebutan untuk para ulama zaman itu. Aslinya Ustadz atau Syeikh, yang disingkat jadi Tace.
Selanjutnya, pada tahun 674 M, sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan juga pernah menginjakkan kaki ke Jepara menyamar menjadi pedagang untuk melihat secara langsung bagaimana penerapan hukum potong tangan Ratu Shima. Soal ini, lacak saja catatan Buya Hamka.
Ini belum bercerita sejarah Syeikh Subakir (Muhammad Al-Baqir) yang pada tahun 723 M pernah singgah (untuk berdakwah) ke Pulau Karimunjawa Jepara dan meninggalkan tanaman pohon Dewandaru, Stigi serta Kalimosodo yang hingga kini masih ditemukan di sekitar makam Sunan Nyamplungan (Syeikh Amir Hasan) dan Sayyid Abdullah Kemojan.
Belum ditambah soal keberkahan atas rawuhnya saudaranya Syeikh Asmoroqondi, yakni Syeikh Mondoliko (ayah Sunan Ngudung Panglima Besar Kerajaan Demak), yang makamnya hingga kini bisa diziarahi di Pulau Mandalika (masuk Kecamatan Donorojo, Jepara).
Bagaimana dengan cerita heroik ulama-ulama lainnya, misalnya Nyai Ratu Kalinyamat, Sultan Hadirin, Mbah Ladunni, Penembahan Juminah, Pangeran Sabrang Lor serta kaitan Jepara di zaman Kerajaan Pajang (Sultan Hadiwijoyo/Joko Tingkir), Mataram Islam (Sultan Agung) hingga Jepara disebut pula sebagai kota ukir? Jika dijelaskan, tulisan ini bisa panjang amat begete.
Intinya, kesejahteraan warga Jepara tidak bisa dilepaskan dari para leluhur yang saat ini ilmu serta darahnya mengalir pada diri para pejuang Islam ahlussunnah wal jamaah, bukan Islam yang nyunnah masjidnya saja, yang ada di Jepara.
Sejak zaman Rasulullah masih hidup, Jepara diberi perhatian khusus. Wajar jika kemarin sempat terkoyak isu-isu khilafah, Gusti Allah menurunkan banyak pertolongan besar sehingga Jepara tetap menjadi baldatun thayyibah wa rabun ghafur.
Membuat Mosak-mosik wilayah Jepara, berarti sama saja mengusik Nusantara. Pasalnya, Bumi Jepara InsyaAllah sudah diberkahi jejak kaki para sahabat Nabi yang jadi penanda Islam terus berjaya di bumi Kartini ini.
Sumber: badriologi.com
ADS HERE !!!