Dalam kitab Shifat al-Shafwah, Imam Ibnu Jauzi (510-597 H) mencatat sebuah riwayat tentang seorang laki-laki yang bertanya kepada Imam Malik bin Anas:
وعن ابن مهدي قال: سأل رجل مالك عن مسألة؟ فقال: لا أحسنها. فقال الرجل: إني ضربت إليك كذا وكذا لأسألك عنها. فقال له مالك: فإذا رجعت إلي مكانك وموضعك فأخبرهم أني قلت لك: لا أحسنها
Diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi berkata: “Seorang laki-laki bertanya kepada Imam Malik tentang suatu masalah.” Imam Malik menjawab: “la uhsinuha—aku tidak mengerti masalah itu dengan baik.”
Kemudian laki-laki itu berkata: “(Tolonglah) aku telah melakukan perjalanan jauh agar bisa bertanya kepadamu tentang masalah ini.”
Imam Malik berkata kepadanya: “Ketika kamu kembali ke tempat tinggalmu, kabarkan pada masyarakat di sana bahwa aku berkata kepadamu: la uhsinuha—aku tidak mengerti masalah tersebut dengan baik.” (Imam Jalaluddin Abû al-Farj bin al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, hal. 361)
Sekarang ini kita berada di zaman otoritas (kepakaran) tidak lagi dianggap penting, dan teks terjemah Al-Qur’an atau hadits dianggap setara dengan teks aslinya. Kita sering melihat potongan gambar terjemahan ayat Al-Qur’an atau hadits digunakan untuk menghakimi sesuatu dengan mengatakan, “Penjelasan/pendapat kiai ini salah karena tidak sesuai ayat Al-Qur’an. Bukankah dalam Al-Qur’an sudah jelas dikatakan....” sembari melampirkan potongan gambar terjemahan ayat.
Padahal ada proses panjang dan rumit dalam menghukumi sesuatu, apalagi menghakimi sebuah pendapat yang lahir melalui proses ilmiah yang panjang. Salah satu contohnya adalah ayat Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu selama) tiga kali quru’.....” (QS. Al-Baqarah: 228)
Kata quru’ dalam ayat tersebut mengandung makna ganda yang saling bertentangan, bisa bermakna “sedang mengalami haid” dan bisa juga bermakna “suci dari haid.” Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam Syarh al-Waraqat mengatakan, “Sesungguhnya lafadz quru’ mengandung makna suci dan makna haid.” (Imam Jalaluddin al-Mahalli, Syarh al-Waraqat, hal. 30).
Perbedaan pemaknaan ini dapat melahirkan hukum yang berbeda. Imam Syafi’i dan Imam Malik mengartikan quru’ sebagai “suci dari haid”, sedangkan Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah mengartikannya “mengalami haid”. Perbedaan pendapat ini berpengaruh pada cara hitung masa iddah wanita. Bagi yang mengamalkan makna “suci dari haid” masa iddahnya menjadi lebih pendek dari yang mengamalkan makna “mengalami haid”. Karena habisnya masa iddah dihitung dari masa sucinya, bukan dari berakhirnya haid.
Melihat contoh di atas, ayat Al-Qur’an ternyata memiliki banyak tipe yang harus didekati dengan pendekatan yang berbeda-beda. Tipe ayat di atas disebut mujmal dalam terminologi ushul fikih. Mujmal sendiri berarti, “Setiap lafadz yang tidak diketahui maksud pastinya.” (Imam al-Kailani, al-Tahqiqah fi Syarh al-Waraqat, hal. 322). Untuk lebih jelas silahkan pelajari ushul fiqih, ulumul Qur’an, dan ilmu-ilmu lainnya.
Dengan demikian, kita perlu meneladani Imam Malik. Beliau menolak menjawab pertanyaan yang berada di luar pemahamannya dengan mengatakan, “la uhsinuha” yang berarti “aku tidak mengerti dengan baik masalah tersebut.” Beliau tetap bersikukuh menolak menjawab meski laki-laki itu berusaha meyakinkannya dengan kalimat, “aku telah melakukan perjalanan jauh agar bisa bertanya kepadamu tentang masalah ini.” Bahkan, beliau menyuruh laki-laki itu untuk menyampaikan pada masyarakat di tempatnya bahwa beliau tidak benar-benar tahu.
Dalam kisah ini, Imam Malik tidak malu mengatakan dirinya tidak tahu. Beliau tidak takut orang-orang menganggapnya bodoh. Beliau tidak takut dianggap keterlaluan dengan membiarkan laki-laki itu pulang dengan tangan hampa meski telah melakukan perjalanan jauh. Imam Malik ingin menegaskan bahwa pengamalan agama harus dibangun dengan pengetahuan dan rasa takut kepada Allah. Imam Malik mengatakan:
ليس العلم بكثرة الرواية وإنما هو نور يضعه الله في القلب
“Ilmu itu bukanlah banyaknya riwayat, melainkan cahaya yang diletakkan Allah dalam hati.” (Imam Jalaluddin Abu al-Farj bin al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, hal. 361)
Jika ditarik dalam konteks sekarang, perkataan Imam Malik dapat dipahami dengan rangkaian kalimat, “pengetahuan itu bukan seberapa banyak engkau hafal dalil agama, dan bukan pula seberapa cepat engkau menjawab pertanyaan agama, melainkan cahaya yang diletakkan Allah di hatimu.”
Cahaya itu bersifat menerangi. Kata sebagian bijak bestari, manusia bisa melihat bukan sekedar karena dia punya mata, tapi juga karena adanya cahaya. Dengan cahaya kita bisa melihat dengan utuh, tidak sepotong-potong. Jika cahaya telah memasuki hatinya, cahaya itulah yang kemudian membuatnya melihat dengan jelas dirinya sendiri. Dia bisa bercermin untuk menakar seberapa dalam pengetahuannya sebelum mengukur seberapa kuat imannya. Dia menjadi tahu seberapa besar pengetahuan yang dimilikinya, sehingga ketika ada pertanyaan, dia memahami betul jika dia memiliki jawabannya atau tidak.
Selain itu, cahaya adalah simbol pencerahan dan perubahan. Lambang dari pengetahuan. Karena itu, Imam Malik berpandangan pengetahuan bukan seberapa banyak hafalan riwayat dan penyebarannya, tapi cahaya yang menerangi hati manusia. Kenapa cahaya dijadikan sebagai simbol? Karena cahaya tidak pernah memilih siapa atau apa yang diteranginya. Cahaya menghangatkan semuanya seperti matahari. Hafez (w. 1390 M), seorang penyair Persia berpuisi: “Even after all this time, the sun never says to the earth, 'You owe me.' Look what happens with a love like that. It lights the whole sky—bahkan setelah sekian lama, matahari tak pernah sekalipun berujar pada bumi, ‘Kau berhutang padaku.’ Lihatlah, apa yang terjadi dengan cinta semacam ini. Itu menerangi seluruh langit.” (Hafez, The Gift: Poems by Hafez, The Great Sufi Master, terj. Daniel Ladinsky, New York: Penguin Compass, 1999, hlm 34)
Artinya, orang yang berilmu harus menjadi pelita bagi semuanya tanpa pandang bulu. Pelita yang menerangi jalan yang harus ditempuh manusia. Dalam kisah di atas, Imam Malik sedang menerapkannya. Beliau tidak mau menjerumuskan orang lain dengan jawabannya. Bagi orang-orang berilmu, sedikit tahu masih kurang untuk membuat mereka berpendapat, apalagi jika mereka merasa benar-benar tidak tahu. Karenanya, Imam Malik butuh waktu untuk melakukan riset, telaah, dan pandangan dari berbagai sisi sebelum memberikan jawabannya. Beliau pun tanpa ragu menjawab, “aku tidak tahu.”
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU