Dikisahkan tentang Sayyidina Husain bin Ali radiyallahu ‘anhuma bahwa telah sampai kepadanya perkataan seseorang yang tidak menyenangkannya, kemudian beliau mengambil piring besar dan memenuhinya dengan kurma yang baru saja dipetik. Beliau membawanya sendiri ke rumah orang yang berkata tidak menyenangkan itu.
Sayyidina Husain mengetuk pintu rumah orang itu. Orang itu berdiri membukanya. Ia melihatnya membawa piring besar yang penuh dengan kurma. Orang itu bertanya: “Apa ini, wahai cucu Rasulullah?”
Sayyidina Husain menjawab: “Ambillah piring penuh kurma ini, karena telah sampai kepadaku bahwa engkau telah menghadiahkan amal kebaikanmu kepadaku, maka aku ganti dengan ini.” (Imam Abu Hamid al-Ghazali, al-Tibr al-Masbuk fî Nashihah al-Muluk, hal. 24-25)
Penghinaan seringkali disikapi dengan kemarahan. Itu bukan hal yang aneh, karena memang wajar. Siapa pun yang dihina, dia akan tersinggung dan marah. Pertanyaannya, ke mana kemarahan itu menuju dan menjadi apa kemarahan itu?
Rasulullah bersabda: “la taghdab—jangan marah.” (HR. Imam al-Bukhari). Tidak hanya berhenti sampai di situ, dalam riwayat lain terdapat tambahan: “la taghdab, wa laka al-jannah—jangan marah dan untukmu surga.” (HR. Imam al-Thabrani). Dengan kata lain, kemarahan bisa membuat orang kehilangan peluang masuk surga dan mengantarkannya lebih dekat ke pintu neraka. Untuk memperjelas, mari kita kaji lebih dalam lagi.
Apa yang dilakukan Sayyidina Husain dalam kisah di atas tidak sesederhana yang dibayangkan. Beliau membawa formula “la taghdab” ke tingkat yang lebih tinggi, tidak sekedar bermain di wilayah menahan (sabar), tapi juga memasuki wilayah bersyukur. Kita tahu, kompetensi dasar “tidak marah” adalah menahan diri (sabar). Dengan menahan diri, Allah sudah menjanjikan kita surga. Dan perlu diingat, menahan diri itu tidak mudah. Siapa pun orangnya pasti pernah mengalaminya, yang membedakannya adalah berubah menjadi apa kemarahan itu.
Dalam kisah di atas, Sayyidina Husain menampilkan sikap yang sukar dimengerti oleh manusia pada umumnya. Beliau mengekspresikan kemarahannya dengan wajah syukur. Memberikan sepiring besar kurma sebagai ganti amal baik yang telah berpindah kepadanya. Karena dalam Islam ada hukum yang mengajarkan, jika ada orang yang bicara buruk tentang seseorang, amal baiknya akan berpindah ke orang yang dibicarakannya.
Sayyidina Husain tidak mau menerima amal baik orang lain dengan cuma-cuma. Beliau harus menggantinya dengan sesuatu yang langsung terasa manfaatnya oleh orang tersebut. Bagaimana tidak, beliau telah mendapatkan manfaat langsung dari ucapan buruk orang tersebut, maka beliau harus melakukan hal yang sama, memberikan sesuatu yang bermanfaat secara langsung padanya. Baginya, mengambil manfaat tanpa mendermakan balasan yang setara termasuk perbuatan yang tidak terpuji.
Jauh sebelum Sayyidina Husain, Nabi Isa as. pernah menyampaikan nasihat kepada Nabi Yahya as. agar menghadapi gunjingan dan kebohongan dengan syukur kepada Allah. Artinya, pola sikap semacam ini merupakan sikap yang ditunjukkan oleh para nabi, kemudian diteruskan oleh para wali dan ulama yang shalih. Nabi Isa a.s berkata:
وإن قال فيك كذبًا فازددْ من الشكر فإنه يزيد في ديوان أعمالك وأنت مستريح، يعني أن حسناته تكتب لك في ديوانك
“Jika seseorang berkata dusta tentang dirimu, maka tambahkan syukurmu. Karena sebenarnya dia sedang menambah amalmu di buku catatan (amalmu) dan engkau pun menjadi orang yang damai. Maksudnya adalah bahwa amal baik orang itu akan dicatat atas namamu dalam buku catatan (amalmu).” (Imam Abu Hamid al-Ghazali, al-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk, hal. 24)
Dilihat dari sudut pandang lain, sebagai penerus tradisi para nabi, tindakan Sayyidina Husain juga menunjukkan keadilan yang luar biasa. Dengan menerima hinaan atau gunjingan dari orang lain, beliau mendapatkan dua kebaikan sekaligus; kebaikan dari keberhasilannya menahan amarah, dan kebaikan dari pindahnya amal baik orang lain kepadanya. Karena itu, beliau memberikan sesuatu sebagai bentuk keadilan kepada orang yang telah berjasa kepadanya, meski jasa itu dilakukan dengan cara yang tidak beretika.
Selain itu, beliau juga menampakkan akhlak mulia. Sikapnya berhasil meninggalkan kesan mendalam di hati si penggunjing atau penghinanya. Bisa jadi ini merupakan gambaran paling sesuai mengenai dakwah bil hikmah. Dakwah yang muncul dari penerapan kaidah agama di tataran ideal tertingginya, sehingga menyentuh hati orang tanpa harus membuat-buat sesuatu.
Ini membuat kita jadi tahu bahwa satu ajaran agama jika diamalkan dalam tataran idealnya dapat membuka banyak pintu amal-amal lainnya. Berbeda jika pengamalan ajaran agama berada di batas “hanya sekedarnya saja”. Misalnya anjuran “la taghdab—jangan marah” dilakukan hanya sekedarnya saja tanpa membawanya ke wilayah syukur, adil dan wilayah-wilayah lainnya.
Hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan pakem “mengamalkan agama semampunya.” Karena bahasa “semampunya” sebenarnya bahasa yang tidak memiliki batas yang jelas, tergantung pada setiap individu. Artinya setiap orang memiliki batas kemampuan yang berbeda-beda. Kemampuan manusia berkembang setiap harinya. Jadi, yang perlu dilakukan oleh manusia adalah melebarkan ruang kemampuannya untuk meningkatkan pengamalan agamanya ke level yang lebih tinggi. Yang terpenting adalah jangan sampai berlebih-lebihan.
Kesimpulannya, kisah di atas merupakan pelajaran besar bagi kita agar meningkatkan standar kompetensi kita tentang “jangan marah”. Bahwa sabar tidak hanya diam menerima hinaan dan gunjingan, tapi mewujud juga dalam bentuk syukur dan adil. Kita pun harus sadar bahwa kita sedang menerima kebaikan (pahala) dari orang yang berbicara buruk tentang kita. Jika kita sadar akan hal itu, harapannya kita akan lebih mudah menerima semua kebencian tentang kita. Pertanyaannya, pernahkah kita mengatakan “jangan marah” di saat kita sedang marah?
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU