Tragedi Politik pada Masa Kekuasaan Utsman bin Affan
Para pencatat sejarah membagi masa pemerintahan Utsman menjadi dua periode, yaitu:
1.) Periode I
Pemerintahan Utsman membawa kemajuan luar biasa berkat jasa panglima yang ahli dan berkualitas dimana peta Islam sangat luas dan bendera Islam berkibar dari perbatasan Aljazair (Barqah Tripoli, Syprus di front al-maghrib bahkan ada sumber menyatakan sampai ke Tunisia). Di al-maghrib, di utara sampai ke Aleppo dan sebagian Asia kecil, di timur laut sampai ke Ma'wara al-Nahar –Transoxiana, dan di Timur seluruh Persia bahkan sampai di perbatasan Balucistan (sekarang wilayah Pakistan), serta Kabul dan Ghazni. Selain itu beliau juga berhasil membentuk armada laut dengan kapalnya yang kokoh dan menghalau serangan-serangan di laut tengah yang dilancarkan oleh tentara Bizantium dengan kemenangan pertama kali dilaut dalam sejarah Islam.
2.) Periode ke-II
Kekuasaannya identik dengan kemunduran dengan kemunduran dengan huru-hara dan kekacauan yang luar biasa sampai beliau wafat. Sebagian ahli sejarah menilai bahwa Utsman melakukan nepotisme. Beliau mengangkat sanak saudaranya dalam jabatan-jabatan strategis yang paling besar dan paling banyak menyebabkan suku-suku dan kabilah-kabilah lainnya merasakan pahitnya tindakan Utsman tersebut. Para pejabat dan para panglima era Umar hampir semuanya dipecat oleh Utsman, kemudian mengangkat dari keluarga sendiri yang tidak mampu dan tidak cakap sebagai pengganti mereka. Adapun para pejabat Utsman yang berasal dari famili dan keluarga dekat, diantaranya Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Syam, satu suku dan keluarga dekat Utsman. Oleh karena itu, Utsman diklaim bahwa beliau telah melakukan KKN.
Mengetengahkan kembali kronologi seputar pemerintahan Utsman bin Affan, bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Terutama apabila dikaitkan dengan ketersediaan data dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Upaya memojokkan pemerintahan Utsman sebagai rezim nepotis sendiri hanya berangkat dari satu sudut pandang dengan argumentasi mengungkap motif sosial-politik belaka. Lebih dari itu, lebih banyak berkutat dalam dugaan dan produk kreatif imajinatif. Sumber data yang tersedia kebanyakan didominasi oleh naskah yang ditulis pada masa dinasti Abbasiyah, yang secara politis telah menjadi rival bagi Muawiyah, keluarga, dan sukunya, tidak terkecuali khalifah Utsman bin Affan.
Oleh karena itu, kesulitan pertama yang harus dihadapi adalah menyaring data-data valid di antara rasionalisasi kebencian dan permusuhan yang menyelusup di antara input data yang tersedia. Dakwah Islam pada masa awal kekhilafahan Utsman bin Affan menunjukkan kemajuan dan perkembangan signifikan melanjutkan estafet dakwah pada masa khalifah sebelumnya. Wilayah dakwah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli Tunisia), di sebelah utara meliputi Allepo dan sebagian Asia Kecil. Di timur laut sampai Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan (Pakistan sekarang), serta Kabul dan Ghazni. Utsman juga berhasil membentuk armada dan angkatan laut yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa ini merupakan kemenangan pertama tentara Islam dalam pertempuran di lautan.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai pejabat publik. Di antaranya adalah Muawiyah bin Abu Sufyan. Sosok Muawiyah dikenal sebagai politisi piawai dan tokoh berpengaruh bagi bangsa Arab. Yang telah diangkat sebagai kepala daerah (Gubernur) Syam sejak masa khalifah Umar bin Khaththab. Muawiyyah tercatat menunjukkan prestasi dan keberhasilan dalam berbagai pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Muawiyah adalah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada masa khalifah Umar maupun Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman jelas tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah tersebut. Sebab beliau telah diangkat sebagai gubernur sejak masa Umar. Belum lagi prestasinya bukannya mudah dianggap ringan.
Selanjutnya penggantian Gubernur Bashrah Abu Musa al-Asy'ari dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman juga sulit dibuktikan sebagai tindakan nepotisme. Proses pergantian pimpinan tersebut didasarkan atas aspirasi dan kehendak rakyat Bashrah yang menuntut Abu Musa al-Asya'ri meletakkan jabatan. Oleh rakyat Bashrah, Abu Musa dianggap terlalu hemat dalam membelanjakan keuangan Negara bagi kepentingan rakyat dan bersikap mengutamakan orang Quraisy dibandingkan penduduk pribumi.
Pasca menurunkan jabatan Abu Musa, khalifah Utsman menyerahkan sepenuhnya urusan pemilihan pimpinan baru kepada rakyat Bashrah. namun pilihan rakyat tersebut justru dianggap gagal menjalankan roda pemerintahan dan dinilai tidak cakap oleh rakyat Bashrah yang memilihnya sendiri. Maka kemudian secara aklamasi rakyat menyerahkan urusan pemerintahan kepada khalifah dan meminta beliau menunjuk pimpinan baru bagi wilayah Bashrah. Maka kemudian khalifah Utsman menunjuk Abdullah bin Amir sebagai pimpinan Bashrah dan rakyat setempat menerima pimpinan dari khalifah tersebut. Abdullah bin Amir sendiri telah menunjukkan reputasi cukup baik dalam penaklukan beberapa daerah Persia. Dengan demikian nepotisme kembali belum terbukti melalui penunjukan Abdullah bin Amir.
Sementara itu di Kuffah, terjadi pemecatan atas Mughirah bin Syu’bah karena beberapa kasus yang dilakukannya. Pemecatan ini sebenarnya atas perintah khalifah Umar bin Khaththab namun baru terealisasi pada masa khalifah Utsman. Penggantinya, Sa’ad bin Abu Waqqash, juga diberhentikan oleh khalifah Utsman akibat penyalahgunaan jabatan dan kurang transparansinya urusan keuangan daerah. Salah satu kasusnya, Sa’ad meminjam uang dari kas propinsi tanpa melaporkannya kepada pemerintah pusat. Oleh karenanya tuduhan nepotisme terhadap kepemimpinan Utsman bin Affan hanyalah intrik politik oleh para pesaingnya yang juga memiliki kepentingan kekuasaan, hal tersebut telihat dari adanya reaksi-reaksi mereka yang sengaja mengeruhkan suasana agar pemerintahan dalam keadaan goyang, sembari mencari titik kelemahan yang dimiliki oleh khalifah Utsman bin Affan.
Pada masa pemerintahan Khulafau ar-Rasyidun, setiap daerah menikmati otonomi penuh, kecuali dalam permasalahan keuangan tetap terkait dan berada di bawah koordinasi bendahara pemerintah pusat. Amil (pengumpul zakat, semacam bendahara) Kuffah saat itu, Abdullah bin Mas’ud, dipanggil sebagai saksi dalam pengadilan atas peristiwa tersebut. Abdullah bin Mas’ud sendiri akhirnya juga dipecat akibat peristiwa tersebut.
Perlu diketahui, Abdullah bin Mas’ud termasuk keluarga dekat dan sesuku dengan Khalifah Utsman. Pengganti Sa’ad bin Abu Waqqash adalah Walid bin Uqbah, saudara sepersusuan atau dalam sumber lain saudara tiri khalifah Utsman. Namun karena Walid memiliki tabiat buruk (suka minum khamr dan berkelakuan kasar), maka khalifah Utsman memecatnya dan menyerahkan pemilihan pimpinan baru kepada kehendak rakyat Kuffah.
Sebagaimana kasus di Bashrah, gubernur pilihan rakyat Kuffah tersebut terbukti kurang cakap menjalankan pemerintahan dan hanya bertahan selama beberapa bulan. Atas permintaan rakyat, pemilihan gubernur kembali diserahkan kepada khalifah. Utsman bin Affan kemudian mengangkat Sa’id bin ‘Ash, kemenakan Khalid bin Walid dan saudara sepupu Utsman, sebagai gubernur Kuffah, karena dianggap cakap dan berprestasi dalam penaklukan front utara, Azarbaijan. Namun terjadi konflik antara Sa’id dengan masyarakat setempat sehingga khalifah Utsman berfikir ulang terhadap penempatan sepupunya tersebut. Maka kemudian Sa’id digantikan kedudukannya oleh Abu Musa Al-Asy’ari, mantan gubernur Bashrah. Namun stabilitas Kuffah sukar dikembalikan seperti semula sampai peristiwa tewasnya sang khalifah. Meskipun demikian nepotisme dalam frame makna negative kembali sukar dibuktikan.
Sedangkan di Mesir, Utsman meminta laporan keuangan daerah kepada Amr bin Ash selaku gubernur dan Abdullah bin Sa’ah bin Abu Sarah selaku ‘Amil. Laporan Amil dinilai timpang sedangkan Amr dianggap telah gagal melakukan pemungutan Pajak. Padahal negara sedang membutuhkan pendanaan bagi pembangunan armada laut guna menghadapi serangan Byzantium. Khalifah Utsman tetap menghendaki Amr bin Ash menjadi gubernur Mesir sekaligus diberi jabatan baru sebagai panglima perang. Namun Amr menolak perintah khalifah tersebut dengan kata-kata yang kurang berkenan di hati sang khalifah (perkataan kasar).
Kemudian Amr bin Ash dipecat dari jabatannya. Sedangkan Abdullah bin Sa’ah bin Abu Sarah diangkat menggantikannya sebagai gubernur. Namun kebijakan gubernur baru tersebut dalam bidang agraria kurang disukai rakyat sehingga menuai protes terhadap khalifah Utsman. Dari peristiwa inilah akhirnya muncul isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman. Isu yang beredar dari Mesir ini pada akhirnya menyebabkan khalifah terbunuh. Salah satu bukti penguat isu nepotisme yang digulirkan adalah diangkatnya Marwan bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, sebagai sekretaris Negara. Namun tuduhan ini pada dasarnya hanya sekedar luapan gejolak emosional dan alasan yang dicari-cari. Marwan bin Hakam sendiri adalah tokoh yang memiliki integritas sebagai pejabat Negara di samping dia sendiri adalah ahli tata negara yang cukup disegani, bijaksana, ahli bacaan Al-Qur’an, periwayat hadis, dan diakui kepiawaiannya dalam banyak hal serta berjasa menetapkan alat takaran.
Namun pada kenyataannya bukan seperti apa yang telah dituduhkan kepada Utsman, dengan berbagai alasan yang dapat dicatat atau digaris bawahi bahwa Utsman tidak melakukan nepotisme, di antaranya adalah:
1.) Para gubernur yang diangkat oleh Utsman tidak semuanya famili (keluarga) Utsman. Ada yang saudara atau anak asuh, ada yang saudara susuan, ada pula saudara tiri.
2.) Ia mengangkat familinya tentunya atas pertimbangan dari beberapa faktor yang melatarbelakanginya.
3.) Meskipun sebagian pejabat diangkat dari kalangan famili, namun mereka semuanya punya reputasi yang tinggi dan memiliki kemampuan. Hanya saja faktor ekonomi yang menyatukan untuk memprotes guna memperoleh hak mereka. Situasi ini dimanfaatkan oleh orang oportunis menyebarkan isu sebagai modal bahwa usman telah memberikan jabatan-jabatan penting dan strategis kepada famili.
Melihat fakta-fakta tersebut di atas, jelas bahwa nepotisme Utsman tidak terbukti. Karena pengangkatan saudara-saudaranya itu berangkat dari profesionalisme kinerja mereka di lapangan. Akan tetapi memang pada masa akhir kepemimpinan Utsman para gubernur yang diangkat tersebut bertindak sewenang-wenang terutama dalam bidang ekonomi. Mereka di luar kontrol Utsman yang memang sudah berusia lanjut sehingga rakyat menganggap hal tersebut sebagai kegagalan Utsman, sampai pada akhirnya Utsman mati terbunuh.
Detik-detik Pembunuhan Khalifah Usman bin Affan
Detik-detik terjadinya pemberontakan yang berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Utsman dapat dilihat dari beberapa segi:
Pertama, rasa tidak puas terhadap Khalifah Utsman semakin menjalar. Di Kufah dan Bashrah rakyat bangkit menentang gubernur yang diangkat oleh Utsman. Di Mesir hasutan Abdullah bin Saba’ orang Yaman yang diklaim sebagai orang Yahudi sangat provokatif dengan mendakwahkan hak Ali sebagai khalifah yang sah. Keberhasilan propaganda jahat Abdullah bin Saba’ membuat jumlah kekuatan pemberontak bertambah banyak.
Pertentangan yang dilakukan penduduk kaum Kuffah, Mesir, dan Bashrah terhadap kebijakan Utsman semakin memanas. Mereka meminta Utsman untuk segera memecat para gubernur seperti Al-Wahid bin Uqbah. Akhirnya setelah mendapat desakan terus-menerus Utsman pun segera mencopot jabatan mereka dan menggantinya dengan Sa’id bin Ash sebagai gubernur Kuffah dan Muhammad bin Abu Bakar sebagai gubernur Mesir. Tindakan ini pun dapat meredakan ketegangan yang sempat terjadi sebelumnya. Namun, beberapa saat kemudian peristiwa lain menghiasi ketegangan pada masa itu.
Para penentang Utsman berbondong-bondong kembali mendatangi Utsman dengan kemarahannya dikarenakan mereka mendapati sebuah surat rahasia yang ditujukan kepada Gubernur Mesir di mana isinya berupa perintah untuk menangkap dan membunuh para penentang Utsman. Surat berstempel Utsman bin Affan tersebut mengindikasi bahwa Utsman tidak sepenuhnya mendukung mereka dan Utsman pun tidak mengakui bahwa beliau yang menulisnya.
Surat yang dituduhkan berasal dari Utsman ternyata diduga palsu. Begitu pula munculnya surat yang dituduhkan dari Ali bin Abi Thalib yang isinya mengajak kelompok-kelompok tersebut datang ke Madinah, juga surat Thalhah dan Zubair yang mengajak kelompok Kufah dan Bashrah agar bergerak ke Madinah adalah surat palsu. Tetapi karena situasi yang sudah sangat memanas, mereka para demonstran makin berani bersikap kepada Utsman, mengurungnya di dalam rumah dan mengepungnya. Sejumlah sahabat berusaha membelanya, seperti Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, dan Abdullah bin Umar. Namun para pemberontak kian bertindak berani dan menerobos masuk rumah setelah selama 40 (empat puluh) hari mengepungnya. Kemudian beberapa mereka membunuh sang Khalifah Utsman bin Affan.
Kedua, persaingan dan permusuhan antara keluarga Hasyim dan keluarga Umayyah turut memperlemah kekuatan Utsman. Sebelum Nabi Muhammad lahir telah berlangsung persaingan kedua keturunan yang masih bersaudara ini. Pada masa pemerintahan Utsman benih kebencian ini tumbuh kembali.
Ketiga, lemahnya karakter kepemimpinan Utsman turut pula menyokongnya, khususnya dalam menghadapi gejolak pemberontakan. Bahwa Utsman adalah pribadi yang sederhana dan sikap lemah-lembut sangat tidak sesuai dalam urusan politik dan pemerintahan, lebih-lebih lagi dalam kondisi yang kritis. Pada kondisi yang demikian dibutuhkan sikap yang tegas untuk menegakkan stabilitas pemerintahan. Sikap seperti ini tidak dimiliki oleh Utsman. Pada beberapa kasus beliau terlalu mudah untuk memaafkan orang lain sekalipun musuhnya sendiri yang membahayakan. Sikap lemah-lembut ini mendorong pihak-pihak yang bermaksud jahat melancarkan maksudnya. Dengan sikap dan karakter Utsman yang seperti itulah akhirnya pada tanggal 17 Juni 656 M (35 H) Utsman dibunuh dengan cara ditikam oleh gerombolan pemberontak yang berjumlah sekitar 500 massa (di antaranya bernama Hamran bin Sudan Asy-Syaqy) yang tiba-tiba datang mengepung rumah Khalifah Utsman pada saat beliau sedang membaca Al-Qur’an.
Kematian Utsman dengan cara tersebut menyebabkan huru-hara di kalangan kaum muslimin yang menyebabkan banyak jatuh korban di kalangan pemuda muslim. Pembunuhan yang bermotif politik atas diri Khalifah Utsman membawa dampak yang panjang terhadap sejarah Islam sesudahnya, yang kemudian membuka pintu perpecahan antara kaum muslimin.
|
Demonstrasi melawan pemerintah yang sah |
Dampak dari Tragedi Pembunuhan Utsman
Gonjang-ganjing politik yang terjadi dalam sejarah Islam adalah cerita tentang politik di masa lalu sebagaimana yang telah dijelaskan di atas sekiranya kalau pandangan tersebut kita terima maka sejarah umat Islam adalah sejarah perpecahan. Mungkin terasa agak berlebihan jika dikatakan demikian. Namun pada kenyataannya, masalah politik merupakan sumber perpecahan umat Islam yang terbesar, sehingga Al-Syahrastani (wafat th. 548 H) dalam bukunya Al-Milal wa al-Nihal mengatakan bahwa perselisihan terbesar di antara umat adalah perselisihan mengenai imamah (kepemimpinan), karena tidak pernah pedang dihunus dalam Islam dengan alasan agama sebagaimana (sesering) dihunus karena imamah pada setiap zaman.
Masalah kepemimpinan adalah masalah politik, masalah menentukan siapa yang akan memimpin umat. Walaupun sebenarnya perselisihan mengenai imamah itu sudah bermula sejak Rasulullah saw. wafat, terutama antara golongan Muhajirin dan golongan Anshar, tetapi akhirnya dapat diselesaikan dengan damai, yaitu dengan mengangkat Abu Bakar menjadi khalifah. Sejak terbunuhnya Utsman bin Affan (tahun 35 H) sehingga hari itu umat Islam tidak lagi memiliki pemimpin yang diakui oleh semua pihak. Setiap kelompok mempunyai pemimpinnya tersendiri dan tidak mengakui pemimpin dari kelompok lain.
Terbunuhnya Utsman itu sendiri sebenarnya disebabkan oleh masalah politik juga. Kelompok pemberontak yang tidak senang dengan para gubernur yang diangkat oleh Utsman dan kebijaksanaannya menuntut agar khalifah ketiga itu meletakkan jabatan, tetapi Utsman enggan melakukannya. Keengganan Utsman melakukan tuntutan kelompok tersebut membuat mereka marah dan akhirnya Utsman terbunuh di rumah ketika sedang membaca Al-Qur`an. Tragedi politik yang berujung terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan sesungguhnya menjadi titik tolak bagi perpecahan umat Islam.
Menurut Al-Baghdadi (wafat th. 429 H) dalam bukunya Al-Farq bayna al-Firaq mengatakan bahwa Mereka para sahabat berselisih setelah terbunuhnya khalifah Utsman dalam masalah orang-orang yang telah membunuhnya dan orang-orang yang membiarkannya terbunuh, perselisihan yang kekal akan berbekas sampai hari kita sekarang ini. Suatu rangkaian dalam peristiwa politik yang berkaitan dengan pergantian kekuasaan (suksesi kepemimpinan) biasanya memang selalu diwarnai dengan intimidasi, kekerasan sampai dengan perlawanan dan pemberontakan. Hal ini terjadi tidak hanya di akhir masa kepemimpinan Utsman bin Affan tapi juga dialami oleh banyak pemimpin besar di dunia ini, termasuk di Indonesia.
Sehingga bisa dipahami ketika konflik politik pada masa Utsman semakin meruncing maka terjadilah banyak peristiwa kekerasan massa (chaos) yang terjadi di antaranya adalah beberapa perang saudara yang tidak bisa dihindari. Perang pertama yang terjadi adalah perang unta (Perang Jamal) tahun 36 H. Antara kelompok yang dipimpin oleh Aisyah istri Rasul saw., yang menuntut bela atas kematian Utsman, dengan kelompok Ali bin Abi Thalib yang diangkat menjadi khalifah sesudah Utsman. Kelompok pemberontak setelah membunuh Utsman bergabung dengan Ali, itulah sebabnya kelompok Aisyah dan kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan menuntut agar Ali menegakkan hukum terhadap mereka. Tetapi Ali tidak dapat melaksanakan tuntutan itu. Hal ini menyebabkan krisis politik yang berkepanjangan.
Problematika politik yang terjadi di era pemerintahan Utsman ini merupakan puncak yang disebut dengan al-Fitnah al-Kubra (bencana besar) di kalangan umat Islam. Umat Islam berpecah kepada tiga kelompok: Pertama: kelompok Ali, kedua: kelompok Muawiyah, dan ketiga: kelompok moderat/netral yang tidak memihak kepada salah satu dari dua kelompok tersebut. Dua kelompok pertama memiliki pengikut yang banyak, sedangkan kelompok moderat karena tidak ikut campur dalam masalah politik maka jumlahnya tidak diketahui, tetapi kelompok ini merupakan mayoritas umat, di antara para sahabat yang bergabung di dalam kelompok moderat ini adalah: Abdullah bin Umar, Sa'ad bin Malik, Sa'ad bin Abi Waqqas, Muhammad bin Maslamah, Usamah bin Zaid, dan lain-lain. Kemudian Pasca terjadinya perang Shiffin bertambah satu kelompok lagi yaitu kelompok Khawarij. Kelompok khawarij ini adalah kelompok pendukung Ali yang membelot karena menolak keputusan Ali untuk melakukan Arbitrase kepada Muawiyah pada saat peristiwa perang Shiffin tersebut.
Kesimpulan
Gonjang-ganjing politik pada masa pemerintahan Utsman bin Affan terjadi berawal dari suksesi kepemimpinan Umar bin Khattab yang menghasilkan ketetapan untuk melantik Sayyidina Utsman bin Affan menjadi khalifah ketiga menggantikan Sayyidina Umar bin Khattab. Sebelum ditetapkannya Utsman menjadi khalifah, sesungguhnya terjadi ketegangan-ketegangan di antara rivalitas pendukung Utsman dan Ali yang kemudian terus bergulir sepanjang pemerintahan Utsman bin Affan. Situasi yang rawan ini kemudian dieksploitasi oleh banyak pihak, khususnya Abdullah bin Saba’ untuk memprovokasi dua kubu yang bersebrangan.
Suhu politik yang semakin memanas menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh para pendukung Ali dan terjadilah sebuah tragedi yang dikenal sebagai peristiwa “Fitnah al-Kubra” yang ditandai dengan peristiwa kelam terbunuhnya sang khalifah ketiga yaitu Utsman bin Affan. Sepeninggal Utsman bin Affan ternyata menyisakan banyak peristiwa panjang yang memilki efek domino dalam perpecahan umat Islam.
REFERENSI
Abdullah, Amin, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Abu Zahrah, Al-Imam Muhammad, Tarikh al-Madzahib alIslamiyyah, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1996.
Al-Imam Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim alSyahrastani, Al-Minal…, hlm. 136-137. Tregedi Pembunuhan Khalifah Usman Bin Affan 100 Fikrah, Vol. 3, No. 1, Juni 2015
Al-Baghdadi, Al-Imam Abdul Qadir bin Tahir bin Muhammad, al-Farq Bayn Al-Firaq, Beirut: Dar al-Marifah, 1997.
Al-Malghuts, Sami Binu Abdillah, Ahammul Ahdas at-Tarikhiyyah fi ‘Ahdi al-Khulafa ar-Rasyidin. Riyadh: Maktabah Obekan, 1426 H.
Al-Syahrastani, Al-Imam Abu Al-Fath Muhammad bin Abd alKarim, Al-Milal Wa Al-Nihal. Jilid.1. Beirut: Dar AlKutub Al-Ilmiyyah. t.th. Amin, Ahmad, Islam dari Masa ke Masa, Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 1987.
Dasuki, A. Hafidz, dkk., Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Ibrahim, Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2001.
Ibrahim, Qasim A. dan Saleh, Muhammad A, Buku Pintar Sejarah Islam: Jejak Langkah Peradaban Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, Jakarta: Zaman. 2014.
Ja’far, Abu, Tarikh at-Thabari, Jilid IV. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1973. Maryam, Siti, dkk., Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta: LESFI IAIN Sunan Kalijaga, 2003.
Murad, Musthafa, Kisah Kehidupan Usman Bin Affan, Jakarta: Zaman, 2007.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah analisa Perbandingan. . Jakarta: UI-Press, 2002.
Shiddiqi, Nourouzzaman, Menguak Sejarah Muslim, Yogyakarta: PLP2M,1984. Sou’ayb, Joesoef, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Su’ud, Abu, Islamologi: Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.
Yusuf, Muhammad, Hayah ash-Shahabah, Mesir: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.