Hakekat Fase Kehidupan
Al-Qur’an
telah menerangkan bahwa kehidupan di dunia ini adalah bagaikan sebatang pohon
yang tumbuh, berkembang, berbuah, layu dan akhirnya mati musnah ditelan bumi.
Ada fase dalam kehidupan yang harus dilalui meskipun fase itu terkesan lama,
sesungguhnya hanya amun-amun belaka Sungguh urusan dunia
itu hanyalah bersifat sementara.
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ
كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ
مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ
وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا
مَتَاعُ الْغُرُورِ
“ Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,
perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para
petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan
dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu “. (QS. Al-Hadid: 20)
Imam
Najmuddin an-Nasafi menafsirkan bahwa setiap fase kehidupan tersebut akan
dilalui oleh manusia selama delapan tahun.
Pertama,
La’ibun secara bahasa berarti sebuah permainan. Permainan merupakan
kata yang menunjuk pada tidak adanya keseriusan. Dalam bahasa Indonesia
keseharian ‘mainan’ adalah anonim dari ‘beneran’. Dengan kata lain, bahwa
kehidupan di dunia ini bukanlah sesuatu yang beneran, tapi hanya bohongan.
Rumah di dunia adalah rumah-rumahan, kawin di dunia adalah kawin-kawinan dan
begitulah seterusnya.
Jika
diterapkan penafsiran Imam Najmuddin dalam ayat ini, maka fase la’ibun
ada fase pertama dari kehidupan manusia selama berumur 1-8 tahun yang berisikan
permainan. Lihat saja anak-anak kita yang tidak terlalu banyak berpikir dalam
usia tersebut. Bahkan begitu pentingnya permainan hingga diciptakanlah berbagai
macam kelompok bermain (playgroup). Hal ini persis dengan apa yang dikatakan
oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib, bahwa la’ibun
merupakan karakter anak-anak yang tidak pernah memikirkan manfaat dari apa yang
dilakukannya, karena semua itu hanya sekedar permainan.
Kedua,
Lahwun adalah sifat lalai yang terdapat dalam diri manusia,
lalai karena tidak terbiasa berpikir panjang atau sengaja tidak mau berpikir
panjang. Apa yang dilakukan selalu menurut tuntutan hawa nafsu. Tawuran,
kebut-kebutan semua dilakukan tanpa ada pertimbangan, asal hati senang maka
kakipun melangkah. Inilah sifat yang melanda anak manusia dalam fase kedua
kehidupannya, ketika remaja berumur 9-16 tahun.
Ketiga,
Zinatun, bahwa dunia ini adalah perhiasan semata. Dunia seisinya tidak
lebih dari asesoris kehidupan. Imam ar-Razi mengatakan bahwa fase ini banyak
menerpa kaum hawa. Ketika umur telah mulai menginjak tujuh belas tahu, maka
mulailah perempuan itu menyadari akan keperempuanannya. Mulailah apa yang
disebut dengan masa kedewasaan. Diantara tanda-tandanya adalah berlama-lama di
depan kaca. Mematut muka, merias diri, memperbesar apa yang sekiranya masih
kecil dan berusaha memperbesarkannya.
Begitu juga
dengan masalah penampilan, fase kehidupan ini (17-24 tahun), anak manusia
selalu ingin tampil mengagumkan. Motor harus ada, HP harus seri terbaru, kuliah
harus diperguruan tinggi. Padahal jika dipikir lebih dalam, semua tuntutan itu
hanya semakin menjauh dari subtansi kehidupan. Tidak peduli pengetahuan yang
didapat, yang penting universitas yang terkenal. Tidak peduli dengan pantas
atau tidak yang penting tampil keren dan mempesona. Sungguh semua itu adalah
dalil betapa kehidupan dunia ini adalah asesoris belaka.
Keempat,
Tafakhurun Baynakum artinya dunia menjadi
tempat untuk saling bermegah-megahan, dunia menjadi media saling menyombongkan
diri, atau dalam bahasa jawa disebut ‘anggak-anggakan’. Baik saling
menyombongan kepunyaan maupun ke’turunan’. Biasanya dalam fase ini antara umur
25-32 tahun anak manusia mulai mencari jati dirinya. Dalam pencarian itulah ada
kalanya dia membanggakan nasabnya, atau membanggakan milik ayahnya hanya
sekedar ingin terlihat lebih di antara sesama.
Kelima,
Takatsurun fil Amwal bahwa dunia ini adalah tempat memperbanyak
harta dan keturunan. Inilah puncak dari fase kehidupan manusia ketika berumur
33 tahun dan seterusnya. Pada saat-saat inilah kita melihat semangat yang
menggebu dalam diri manusia untuk berbisnis menumpuk harta Bahkan juga masa
memanjakan anak dan keluarga. Maka janganlah heran jika para koruptor itu
didominasi oleh orang orang muda yang ingin menumpuk harta.
Keenam,
Takatsurun fil Aulad fase ini merupakan kelanjutan dari fase
sebelumnya. Jika menuruti pendapat Iman Najmuddin an-Nasafi, maka umur empat
puluh ke atas adalah masa yang wajar seseorag mulai memperhatikan kepentingan
anak dan cucu-cucunya. Memabanggakan dan terlalu memikirkan kehidupan mereka.
Seolah tidak tega jika melihat anak dan cucu itu terlantar hidupnya, maka
diteruskanlah fase sebelumnya, sehingga para berkorupsi demi anak cucu dan
bernepotisme menjalin jejaring yang kuat untuk mempertahankan kekayaan dan
kehidupannya.
Maka menjadi
tidak aneh, ketika kesempatan berkumpul dengan sesama dalam reoni keluarga atau
reoni kawan lama yang akan dipertanyakan adalah berapa jumlah anak dan cucunya.
Inilah,
keadaan hidup di dunia. Jikalau kita tidak sekedar sadar diri niscaya
kita akan terhanyut dalam arus yang makin menjauhkan hidup ini dari
subtansinya. Semakin tersibukkanlah kita dengan remeh temeh keduniawian yang
tidak ada putusnya, dunia bakagikan candu yang tidak mudah dihentikan.
Maka,
begitulah remeh temeh perjalanan hidup di dunia dan betapa sebenatarnya
kehidupan ini, sehingga ditamsilkan dalam ayat ini bagaikan umur tumbuhan yang
tersiram , tumbuh, berbuah lalu hancur tak berbekas.
كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ
يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا
“ …seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur…” (QS. Al-Hadid: 20)
Oleh karena
itu, sungguh beruntung mereka yang mengerti dan menyadarinya, lalu membenahi
langkah dalam kehidupannya.