I'tikaf adalah salah satu ibadah yang
dianjurkan selama Ramadhan. Sebagaimana yang dilaksanakan oleh Rasulullah saw. Hadits
Aisyah ra. menerangkan:
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْاَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى
تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ اَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Dari Aisyah ra. (isteri Nabi saw) menuturkan: “ Sesungguhnya
Nabi saw. melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau
wafat, kemudian isteri-isterinya mengerjakan I’tikaf sepeninggal beliau”. (HR. Bukhari dan
Muslim)
I’tikaf secara bahasa memiliki arti menetapi suatu kebaikan
atau kejelekan, dan secara ilmu fiqih artinya berdiam diri dalam masjid dengan
ketentuan-ketentuan tertentu, diantara ketentuan tersebut adalah;
Pertama, orang yang melakukan I’tikaf adalah orang islam, maka
i’tikaf yang dilakukan oleh orang selain beragam islam itu hukumnya tidak sah
(batal).
Kedua, berakal sehat, apabila mu’takif itu gila atau terserang
penyakit epilepsy, maka batal (tidak sah) I’tikafnya.
Ketiga, orang yang beri’tikaf (mu’takif) harus dalam keadaan suci
dari haid dan nifas bagi seorang perempuan, dan suci dari perbuatan-perbuatan
yang menyebabkan diwajibkannya mandi junub.
|
Tadarus al-Qur'an di Masjid |
Adapun rukun i’tikaf yang harus dipenuhi adalah;
Pertama, Niat untuk untuk berdiam diri di dalam masjid, dan bagi
mereka yang bernadzar untuk I’tikaf, maka diwajibkan baginya untuk mengucapkan
kata fardhu di dalam niat I’tikafnya.
Kedua, berdiam diri dalam masjid dalam rentang waktu lebih dari
lamanya thuma’ninah dalam shalat.
Selain syarat dan rukun yang harus
dijaga, hendaknya bagi mereka yang beri’tikaf memperhatikan beberapa
pantangan yang dapat membatalkan I’tikaf. Diantaranya, Pertama, bersetubuh
dengan istri
وَلَا تُبَا شِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِى
الْمَسْجِدِوَتِلْكَ حُدُوْدُاللهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ
ءَايَتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ
…dan janganlah kalian campuri mereka (isterimu) itu, sedang
kalian sedang dalam keadaan I’tikaf di masjid, itulah ketentuan Allah, maka
janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia agar bertakwa”. (QS. Al-Baqarah/2: 187)
Kedua, keluar dari masjid tanpa udzur atau
halangan yang dibolehkan syariat. Tetapi bila keluar dari masjid karena ada
udzur, misalnya buang hajat atau air kecil dan yang serupa dengan itu, tidak
membatalkan I’tikaf. Diperbolehkan keluar dari masjid karena mengantarkan
keluarga ke rumah, atau untuk mengambil makanan di luar masjid, bila tidak ada
yang mengantarkannya. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Aisyah ra. :
عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ كَانَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي
اِلَيَّ رَاْسَهُ فَاُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ اِلَّا لِحَاجَةِ
الْاِنْسَانِ
Dari Aisyah ra. menuturkan, Nabi saw. apabila beri’tikaf, beliau
mendekatkan kepalanya kepadaku, lalu aku sisir rambutnya, dan beliau tidak
masuk rumah kecuali untuk keperluan hajat manusia (buang air besar atau buang
air kecil)”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Mengenai waktu I’tikaf bisa dilakukan
di setiap waktu, tetapi waktu yang sangat dianjurkan untuk beri’tikaf adalah
pada malam sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan. Dengan alasan sebagai usaha
untuk mencari dan menemukan malam lailatul qadar yang memiliki
keistimewaan 1:1000 keistimewaan bulan selain bulan Ramadhan, oleh karena itu,
I’tikaf pada saat-saat itu sangat dianjurkan.
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْاَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى
تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ اَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Dari Aisyah ra. (isteri Nabi saw) menuturkan: “ Sesungguhnya
Nabi saw. melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau
wafat, kemudian isteri-isterinya mengerjakan I’tikaf sepeninggal beliau”. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Sumber : Situs PBNU