Mencium tangan para
ulama merupakan perbuatan yang dianjurkan agama. Karena perbuatan itu merupakan
salah satu bentuk penghormatan kepada mereka.
Dalam sebuah hadits dijelaskan:
عَنْ
زَارِعٍ وَكَانَ فِيْ وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِيْنَةَ
فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَهُ – رَوَاهُ أبُوْ دَاوُد
“Dari Zari’ ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, beliau
berkata, Ketika sampai di Madinah kami bersegera turun dari kendaraan kita,
lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi saw “. (HR. Abu
Dawud)
عَنِ
ابْنِ جَدْعَانْ, قالَ لاَنَسْ : اَمَسَسْتَ النَّبِيَّ بِيَدِكَ قالَ :نَعَمْ,
فقبَلهَا
“Dari Ibnu Jad’an ia berkata kepada Anas bin Malik, apakah engkau pernah
memegang Nabi dengan tanganmu ini ?. Sahabat Anas berkata : ya, lalu Ibnu
Jad’an mencium tangan Anas tersebut “. (HR. Bukhari dan
Ahmad)
عَنْ
جَابرْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ عُمَرَ قبَّل يَدَ النَّبِيْ.
“
Dari Jabir ra., sesungguhnya Umar mencium tangan Nabi “.(HR.
Ibnu al-Muqarri)
عَنْ
اَبيْ مَالِكْ الاشجَعِيْ قالَ: قلْتَ لاِبْنِ
اَبِيْ اَوْفى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : نَاوِلْنِي يَدَكَ التِي بَايَعْتَ بِهَا
رَسُوْلَ الله صَلى الله عَليْه وَسَلمْ، فنَاوَلَنِيْهَا، فقبَلتُهَا.
“
Dari Abi Malik al-Asyja’i, ia berkata : saya berkata kepada Ibnu Abi Aufa ra.
“ulurkan tanganmu yang pernah engkau membai’at Rasul dengannya, maka ia
mengulurkannya dan aku kemudian menciumnya “. (HR.
Ibnu al-Muqarri)
عَنْ
صُهَيْبٍ قالَ : رَأيْتُ عَلِيًّا يُقبّل يَدَ العَبَّاسْ وَرِجْلَيْهِ.
“
Dari Shuhaib, ia berkata : saya melihat sahabat Ali mencium tangan sahabat
Abbas dan kakinya “. (HR. Bukhari)
Atas
dasar hadits-hadits tersebut di atas, para ulama menetapkan hukum sunah mencium
tangan ulama, guru, orang shaleh serta orang-orang yang kita hormati karena
agamanya.
Berikut
ini adalah pendapat ulama
1.
Ibnu Hajar
al-Asqalani
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani telah menyitir pendapat
Imam Nawawi sebagai berikut :
قالَ
الاِمَامْ النَّوَاوِيْ : تقبِيْلُ يَدِ الرَّجُلِ ِلزُهْدِهِ وَصَلاَحِهِ
وَعِلْمِهِ اَوْ شرَفِهِ اَوْ نَحْوِ ذالِكَ مِنَ اْلاُمُوْرِ الدِّيْنِيَّةِ لاَ
يُكْرَهُ بَل يُسْتَحَبُّ.
“ Imam Nawawi berkata : mencium tangan
seseorang karena zuhudnya, kebaikannya, ilmunya, atau karena kedudukannya dalam
agama adalah perbuatan yang tidak dimakruhkan, bahkan hal yang demikian itu
disunahkan “.
Pendapat ini juga didukung oleh Imam
al-Bajuri dalam kitab “Hasyiah” juz 2, halaman. 116.
2.
Imam al-Zaila’i
Beliau berkata :
يَجُوْزُتقبِيْلُ
يَدِ اْلعَالِمِ اَوِ اْلمُتَوَرِّعِ عَلَى سَبِيْلِ التبَرُكِ...
“
(dibolehkan) mencium tangan seorang ulama dan orang yang wira’i karena mengharap
barakahnya…
Dalil
Lain
Mencium tangan para ulama merupakan
perbuatan yang sangat dianjurkan agama. Karena perbuatan itu merupakan salah
satu bentuk penghormatan kepada mereka. Dalam sebuah hadits dijelaskan:
عَنْ
زَارِعٍ وَكَانَ فِيْ وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا
الْمَدِيْنَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَهُ – رَوَاهُ أبُوْ دَاوُد
Dari
Zari’ ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, beliau
berkata, Ketika sampai di Madinah kami bersegera turun dari kendaraan kami,
lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi saw. (HR. Abu Dawud)
Atas
dasar hadits ini, para ulama mensunnahkan mencium tangan guru, ulama, orang
shalih serta orang-orang yang kita hormati. Kata Imam Nawawi dalam salah satu
kitab karangannya menjelaskan bahwa mencium tangan orang shalih dan ulama yang
utama itu disunnahkan. Sedangkan mencium tangan selain orang-orang itu hukumnya
makruh. (kitab Fatawi al-Imam an-Nawawi, Hal 79).
Dr.
Ahmad as-Syarbashi dalam kitab Yas’alunakan fid Din wal Hayah memberikan
kesimpulan akhir, bahwa apabila mengecup tangan itu dimaksudkan dengan tujuan
yang baik, maka (perbuatan itu) menjadi baik.
Inilah
hukum asal dalam masalah ini. Namun jika perbuatan itu digunakan untuk
kepentingan dan tujuan yang jelek, maka termasuk perbuatan yang terhina. Sebagaimana
perbuatan baik yang diselewengkan untuk kepentingan yang tidak dibenarkan. (Yas’alunakan
fid Din wal Hayah, juz II, hal 642).
Sumber
: Situs PBNU