Sering kali terdengar
oleh kita perdebatan seputar hal bid'ah dan sunnah. bahkan perdebatan ini
menjurus pada perpecahan. Padahal tidak harus demikian, justru perbedaan itu
adalah rahmat, asalkan kita mau berlapang dada. Oleh karenanya, menjadi penting
bagi umat muslim untuk mengetahui apakah bid'ah itu, dan bid'ah seperti apa
yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan?
Menurut para Ulama, bid’ah dalam ibadah dibagi dua: yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah.
Di antara para Ulama yang membagi bid’ah kedalam dua kategori ini adalah:
1.
Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafi’i, bid’ah dibagi
dua; bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah. Jadi, bid’ah yang sesuai
dengan sunah adalah mahmudah, dan yang tidak sesuai dengan sunah adalah madzmumah.
Bid’ah hasanah/mahmudah dibagi
menjadi dua. Pertama adalah bid’ah wajib seperti kodifikasi
(pengumpulan) al-Qur’an pada zaman Khalifah Utsman bin Affan dan pengumpulan
hadits ke dalam kitab-kitab besar pada zaman sesudahnya.
Sedangkan bid’ah hasanah yang kedua
adalah bid’ah sunah, seperti shalat tarawih 20 rakaat pada zaman khalifah Umar
bin Khathab.
2.
Imam al-Baihaqi
Bid’ah menurut Imam Baihaqi dibagi
dua; bid’ah madzmumah dan ghairu madzmumah. Setiap Bid’ah yang tidak menyalahi
al-Qur’an, Sunah, dan Ijma’ adalah bid’ah mahmudah atau ghairu madzmumah.
Sedangkan bid’ah yang tercela (madzmumah) adalah bid’ah yang tidak memiliki
dasar syar’i sama sekali.
3.
Imam Nawawi
Bid’ah menurut Imam Nawawi dibagi
menjadi dua; bid’ah hasanah dan bid’ah qabihah.
4.
Imam al-Hafidz
Ibnu Atsir
Ibnu Atsir juga membagi Bid’ah
menjadi dua; bid’ah yang terdapat petunjuk nash (teks al-Qur’an/hadits) di
dalamnya, dan bid’ah yang tidak ada petunjuk nash di dalamnya.
Jadi setiap bentuk bid’ah yang
menyalahi kitab dan sunah adalah tercela dan harus diingkari. Akan tetapi
bid’ah yang sesuai dengan keumuman dalil-dalil nash, maka masuk dalam kategoti
terpuji.
Lalu bagaimana dengan hadits :
كُلُّ بٍدْعَةٍ
ضَلاَلَةٍ
Setiap
bid’ah adalah Sesat.
Berikut
ini adalah pendapat para Ulama :
1.
Imam Nawawi
Hadits di atas adalah
masuk dalam kategori ‘am (umum) yang harus ditakhshish (diperinci).
2.
Imam al-Hafidz
Ibnu Rajab
Hadits di atas adalah dalam
kategori ‘am akan tetapi yang dikehendaki adalah khash (‘am yuridu
bihil khash). Artinya secara teks hadits tersebut bersifat umum, namun
dalam pemaknaannya dibutuhkan rincian-rincian.
Ada
sebagian Ulama yang membagi bid’ah menjadi lima bagian sebagai berikut :
1. Bid’ah yang wajib
dilakukan : contohnya, belajar ilmu nahwu, belajar sistematika argumentasi
teologi dengan tujuan untuk menunjukkan kepada orang-orang atheis dan
orang-orang yang ingkar kepada agama Islam, dll.
2. Bid’ah yang mandub
(dianjurkan): contohnya, adzan menggunakan pengeras suara, mencetak buku-buku
ilmiah, membangun madrasah, dan lain-lain.
3. Bid’ah yang mubah :
contohnya, membuat hidangan makanan yang berwarna warni, dan sejenisnya.
4. Bid’ah yang makruh :
contohnya, berlebihan dalam menghias mushaf, masjid dan sebagainya.
5. Bid’ah yang haram:
yaitu setiap sesuatu yang baru dalam hal agama yang bertentangan dengan
keumuman dalil syar’i. misalnya solat isya tujuh rakaat dan lain-lain
BID’AH
MENURUT SAHABAT UMAR BIN KHATTAB RA.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa
shalat malam pada bulan Ramadhan itu diperintahkan berdasarkan sabda Nabi saw. :
عن
ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: من قام رمضان
ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه رواه البخاري
Barang
siapa shalat pada malam Ramadhan karena iman dan semata-mata taat kepada Allah
maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Bukhari)
Nabi saw. melakukan shalat itu di
rumahnya, hanya saja beliau shalat itu di masjid berjamaah pada beberapa malam
saja. Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim :
عن
عائشة رضى الله عنها, إن النبي صلي الله عليه وسلم صلى في المسجد فصلى بصلاته ناس,
ثم صلى الثاينة فكثر الناس, ثم اجتمعوا من
الليلة الثالثة أو الرابعة فلم يخرج إليهم رسول الله صلعم,
فلما أصبح قال: رأيت الذي صنعتم فلم يمنعنى من الخروج
إليكم إلا أنى خشيت أن تفترض عليكم وذلك في رمضان.
رواه البخارى
Dari
Aisyah rah. bahwa Nabi saw. pernah shalat di masjid lalu diikuti oleh orang
banyak, kemudian shalat pada malam kedua lalu makin banyak para sahabat yang
ikut shalat, kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat. Tetapi
Nabi saw. tidak keluar kepada mereka. Setelah pagi hari beliau bersabda, “Saya
tahu apa yang kalian perbuat, tapi yang mencegah aku keluar kepada kalian
hanyalah karena aku khawatir akan menjadi kewajiban bagi kalian”. Hal
itu terjadi pada bulan Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari
uraian terdahulu kita tahu bahwa sunnah nabi dalam melaksanakan shalat Ramadhan
ada dua macam:
a.
Shalat di rumah sendirian, ini yang beliau biasakan
b.
Shalat di masjid berjama’ah beberapa malam, hanya saja beliau meninggalkan yang
akhir ini karena khawatir menjadi wajib bagi umatnya. Adapun bilangan rakaat
shalat Nabi Muhammad saw. itu 11 rakaat dengan berdiri lama bacaan surahnya
panjang atau 13 rakaat dengan dua rakaat ringan.
Sebagian
Ahli fiqh mengatakan, “ Kemungkinan Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya
menyempurnakan 20 rakaat di rumah masing-masing ”. Namun kemungkinan semacam
ini jauh karena tidak disandarkan kepada dalil.
ANJURAN
SAHABAT UMAR BIN KHATTAB RA.
Khalifah
Umar bin Khattab ra. masuk ke
masjid, lalu melihat para sahabat berpencar-pencar berkelompok. Ada yang shalat
sendirian dan ada yang shalat menjadi imam dari kelompoknya. Lalu Sayyidina
Umar ra. berkata, “ Menurut saya, seandainya mereka berkumpul dari satu
pandangan tentu lebih baik ”. Lalu ia berhasrat untuk mengumpulkan mereka
di bawah Imam Ubay bin Ka’ab.
Setelah
dia melihat mereka pada malam lain melaksanakan shalat malam dalam berjama’ah,
Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah bid’ah seperti ini”. Maka dimana
mereka tidur lebih baik daripada malam dimana mereka shalat, yakni akhir malam
sedangkan orang-orang lain shalat di awalnya.” (HR. Bukhari)
Maksudnya,
dinamakan bid’ah itu karena bentuk shalat, waktunya dan ketetapannya bahkan
bilangannya tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan tidak
diperintahkannya secara langsung, walaupun beliau pernah shalat malam
berjama’ah beberapa malam.
Maka
anjuran Umar bin Khattab ra. adalah perintah kepada publik/umat untuk shalat
malam pada bulan Ramadhan di masjid
secara berjama’ah pada awal malam. Ibnu at-Tin dan lainnya berkata, “ Umar
menetapkan hukum itu, dari pengakuan Nabi saw. terhadap orang yang shalat bersama
beliau pada malam-malam tersebut, walaupun beliau tidak senang hal itu bagi
mereka, karena tidak senangnya itu lantaran khawatir menjadi kewajiban bagi
mereka.
Tetapi
setelah Nabi saw. wafat maka dinilai aman dari rasa khawatir tersebut dan hal
itu menjadi pegangan bagi Umar, karena perbedaan dan menimbulkan perpecahan
umat, dan karena persatuan akan lebih mempergiat banyak para umat yang
menjalankan shalat.
Saifurroyya
Sumber
: www.nu.or.id