Sebagai salah satu sumber hukum Islam, hadits berfungsi
menjelaskan, mengukuhkan serta 'melengkapi' firman Allah swt. yang terdapat
dalam Al-Qur’an. Di antara berbagai macam hadits itu, ada istilah Hadits Dha'if.
Dalam pengamalannya, terjadi silang pendapat di antara ulama.
Sebagian kalangan ada yang tidak membenarkan untuk mengamalkan Hadts Dha'if.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa Hadits tersebut bukan dari Nabi Muhammad saw.
Lalu apakah sebenarnya yang disebut Hadits Dha'if itu? Benarkah kita tidak
boleh mengamalkan Hadits Dha'if?
Secara umum Hadits itu ada tiga macam:
Pertama, Hadits Shahih,
yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, punya daya ingatan yang
kuat, mempunyai sanad (mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadits) yang
bersambung ke Rasulullah saw, tidak memiliki kekurangan serta tidak syadz
(menyalahi aturan umum). Para ulama sepakat bahwa hadits ini dapat dijadikan
dalil, baik dalam masalah hukum, aqidah dan lainnya.
Kedua, Hadits Hasan,
yakni hadits yang tingkatannya berada di bawah Hadits Shahih, karena para
periwayat hadits ini memiliki kualitas yang lebih rendah dari para perawi
Hadits Shahih. Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil sebagaimana Hadits
Shahih.
Ketiga, Hadits Dha'if,
yakni hadits yang bukan Shahih dan juga bukan Hasan, karena diriwayatkan oleh
orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi hadits, atau para
perawinya tidak mencapai tingkatan sebagai perawi Hadits Hasan.
Hadits Dha'if ini terbagi menjadi dua:
Pertama, ada riwayat
lain yang dapat menghilangkan dari ke-dha'if-annya. Hadits semacam ini
disebut Hadits Hasan li Ghairih, sehingga dapat
diamalkan serta boleh dijadikan sebagai dalil syar'i.
Kedua, hadits yang
tetap dalam ke-dha'if-annya. Hal ini terjadi karena tidak ada riwayat
lain yang menguatkan, atau karena para perawi hadits yang lain itu termasuk
orang yang dicurigai sebagai pendusta, tidak kuat hafalannya atau fasiq.
Dalam kategori yang kedua ini, para ulama mengatakan bahwa Hadits
Dha'if hanya dapat diberlakukan dalam fada'ilul a’mal, yakni setiap
ketentuan yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir atau hukum, yakni
hadits-hadits yang menjelaskan tentang targhib wa tarhib (janji-janji dan
ancaman Allah swt).
Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa telah terjadi ijma'
di kalangan ulama tentang kebolehan mengamalkan Hadits Dha'if jika berkaitan
dengan fadha'ilul
a'mal ini. Sedangkan dalam masalah hukum, tafsir ayat Al-Qur' an,
serta akidah, maka apa yang termaktub dalam hadits tersebut tidak dapat
dijadikan pedoman. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sayyid 'Alawi al-Maliki
dalam kitabnya Majmu' Fatawi wa Rasa'il:
" Para ulama ahli Hadits dan lainnya sepakat bahwa Hadits
Dha'if dapat dijadikan pedoman dalam masalah fadha'il al-a’mal. Di antara ulama
yang mengatakannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn Mubarak, dan Sufyan,
al-Anbari serta ulama lainnya. (Bahkan) Ada yang menyatakan, bahwa mereka
pernah berkata: Apabila kami meriwayatkan (Hadits) menyangkut perkara halal
ataupun yang haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila kami meriwayatkan
Hadits tentang fadha'il al-a’mal, maka kami
melonggarkannya ". (Majmu'
Fatawi wa Rasa'il, 251)
Namun begitu, kebolehan ini harus memenuhi tiga syarat:
Pertama, bukan hadits
yang sangat dha'if. Karena itu, tidak boleh mengamalkan hadits yang
diriwayatkan oleh orang yang sudah terkenal sebagai pendusta, fasiq, orang yang
sudah terbiasa berbuat salah dan semacamnya.
Kedua, masih berada
di bawah naungan ketentuan umum serta kaidah-kaidah yang universal. Dengan
kata lain, hadits tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama, tidak
sampai menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut berdasarkan Hadits
Dha'if, namun perbuatan itu dilaksanakan dalam rangka ihtiyath
atau berhati-hati dalam masalah agama.
Maka, dapat kita ketahui, bahwa kita tidak serta merta menolak
Hadits Dha'if. Dalam hal-hal tertentu masih diperkenankan mengamalkannya dengan
syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas.
Sumber : Situs PBNU