Kawedanan merupakan wilayah pemerintahan yang berada di bawah pemerintah Kabupaten. Setiap Kawedanan membawahi beberapa Kecamatan. Setiap wilayah pusat pemerintahan Kawedanan, memiliki sarana publik yang dipergunakan untuk memenuhi hajat hidupan masyarakat setempat, seperti perkantoran, pertokoan, pasar, dan sarana ibadah.
Adalah Masjid Jami’ Al-Karomah, yang menjadi ikon sarana ibadah ummat Islam di Kawedanan Asembagus. Masjid ini telah berdiri sejak 1930, meski dalam bentuknya yang masih sangat sederhana. Seiring perkembangan pembangunan, maka pada tahun 1967 masjid Jamik Al-Karomah diinisiasi untuk dipugar dan direnovasi. Inisiatif tersebut dikonsultasikan oleh pengurus takmir masjid kepada KHR. As’ad Syamsul Arifin, dan beliau pun menyetujuinya. Maka atas saran beliau segera dibentuk pantia pembangunan, dan dimulailah pemugaran yang dilanjutkan dengan pembangunan.
Ketika pembangunan masjid mencapai 70%, panitia pembangunan dan takmir masjid mulai kewalahan dengan menipisnya alokasi dana yang tersedia. Lagi-lagi hal itu diutarakan kepada Kiai As’ad, dengan harapan akan mendapatkan solusi atau suntikan dana dari beliau. Namun beliau tidak serta-merta “memanjakan” dengan memberikan dana cash atau mengusahakan jaringan material gratisan, meskipun sebenarnya beliau mampu melakukannya.
Solusi yang ditawarkan Kiai As’ad agar pengurus takmir masjid menggelar pengajian akbar, yang bertempat di lapangan PG Asembagus. Di pengajian itu lah rencananya akan dilakukan penggalangan dana untuk penyelesaian pembangunan masjid.
Namun, sebelum pengajian akbar dihelat, Kiai As’ad meminta panitia untuk mengumpulkan buruh tani, penarik dokar, kuli bangunan, dan pekerja-pekerja kasar lainnya. Mereka masing-masing diberi sejumlah uang, ada yang 500, 750, 1000, 5000, hingga 10.000. Jumlah uang yang bagi pekerja kasar seperti mereka cukup besar, apalagi di zaman itu.
Saat pengajian akbar digelar, dengan Kiai As’ad sebagai penceramah tunggal, di akhir ceramahnya beliau membuka aksi penggalangan dana secara terbuka. Maka satu-persatu para pekerja kasar tadi maju ke depan pentas, menyerahkan uang pemberian Kiai As’ad tadi dengan bergaya menyumbang.
“Abdhina dokaran, Kiae. Coman bisa nyumbeng 500 ropia” (Saya penarik dokar, Kiai. Hanya bisa menyumbang 500 Rupiah)
“Abdhina koli bangunan, Kiae. Ghun bisa nyumbeng 1000 ropia” (Saya kuli bangunan, Kiai. Hanya bisa menyumbang 1000 Rupiah).. begitu seterusnya.
Rupanya pemandangan yang sebenarnya rekayasa ini dijadikan “senjata” oleh Kiai As’ad untuk menggugah para juragan tebu, para pedagang, pegawai, yang secara ekomomi lebih berkecukupan dibanding para pekerja kasar tadi.
“Masak jeregen tebbu kala ka tokang tebbengnga” (Masak juragan tebu kalah dengan tukang tebang).
Siasat ini ternyata sangat ampuh. Setelah itu para dermawan berduyun-duyun menyumbangkan hartanya untuk penyelesaian pembangunan masjid. Bahkan konon, dana yang terkumpul sampai melebihi dari kebutuhan yang seharusnya.
Inilah kepiawaian Kiai As’ad dalam menyelesaikan masalah umat, yang tidak hanya menyelesaikan kesulitan dana pembangunan masjid, tetapi juga memberi peluang beramal jariyah bagi para dermawan, yang diharapkan dapat menjadi sungai yang mengalirkan pahala dan keberkahan secara berkesinambungan.
Semoga kita senantiasa mampu meneladani kiprah perjuangan beliau di mata umat.
Penulis: Ainun Najib, santri Sukorejo.
Sumber: bangkitmedia.com
ADS HERE !!!