“Huffazhul Qur’an jangan sampai melangkah pada perkawinan yang bukan perjuangan, bukan pengabdian, bukan hikmah, dan bukan sarana amar ma ’ruf nahi munkar (perintah kepada kebajikan dan larangan dari yang mungkar),” dawuh KH. Khamim Djazuli atau kerap disapa Gus Miek.
Nasihat Gus Miek di atas merupakan perintah untuk orang-orang yang dekat dengan beliau. Kekhususan para huffazh (para penghafal Al-Qur’an) yang memiliki peran besar dalam majlis sema’an mengharuskan mereka benar-benar siap uji dan siap dalam menata hati, tidak terkecuali dalam hal pernikahan.
Setiap orang mampu untuk melakukan pernikahan. Akan tetapi, pernikahan yang bagaimanakah? Pertanyaan inilah yang beliau pertegas untuk para huffazh. Gus Miek memberikan rambu-rambu untuk para huffazh agar dalam melangsungkan pernikahan mereka mengacu pada salah satu dari empat niat: 1) perjuangan, 2) pengabdian, 3) hikmah, dan 4) amar ma’ruf nahi mungkar (perintah kepada kebajikan dan larangan dari kemungkaran).
Dahulu, jika seorang ulama ingin mencari menantu, beliau akan mencari menantu yang juga dari kalangan ulama. Tidaklah mengherankan jika seorang kiai tersohor mencari besan dari kiai yang juga tersohor. Maksud beliau mengawinkan putra-putri mereka dari nasab yang jelas kuat tersebut, salah satunya adalah mencari bibit yang unggul yang nantinya unggul dalam medan perjuangan dakwah.
Seperti dikatakan Gus Dur. “Untuk pergulatan sosial budaya adakah yang lebih tepat dari bala bantuan perwira berupa kiai, sebagai barisan opsir agamawan? Adakah cara lebih tepat dari proses perkawinan dengan mengambil menantu calon kiai dari pantai utara? Bukankah bentangan kawasan pesisir dari Cirebon di Jawa Barat hingga Sedayu (Gresik) di dekat Surabaya merupakan sumber penyediaan calon ulama yang tangguh, dengan rangkaian pesantren-pesantren kunonya? Kiai Asy’ari (ayah pendiri Pesantren Tebu Ireng, Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari) berasal dari Demak, diambil menantu Kiai Utsman Jombang. Kakak beradik Kiai Ma’sum dan Kiai Adlan Ali dari Sedayu (Gresik) juga lalu mangkal di Jombang. Seperti halnya Kiai Bisri Syansuri yang berasal dari Tayu (Pati) dan Kiai Idris Kamali yang lahir di Cirebon. Kiai Mahrus Ali dari Cirebon juga, kini memimpin Pesantren besar di Kediri. Kiai Juwaini dan Kiai Jauhari adalah pemuda-pemuda Pati yang kemudian bermukim di Jawa Timur juga.”
|
Gus Miek (baju hitam) |
Nasihat Gus Miek untuk para huffazh tentang empat hal di atas berkaitan dengan kekuatan mental. Diceritakan bahwa Nabi Yunus memiliki istri yang buruk perangainya. Suatu ketika, seorang umatnya melihat Nabi Yunus sedang diumpat oleh istrinya, namun Nabi Yunus hanya diam saja. Orang yang melihat tersebut menjadi heran. Sebelum herannya habis, Nabi Yunus berkata, “Janganlah engkau heran. Saya telah memohon kepada Allah swt., sesuatu yang akan Engkau siksakan kepadaku di akhirat, segerakanlah di dunia. Lalu Allah berfirman, ‘Sesungguhnya siksaanmu itu anak perempuan si fulan yang telah engkau nikahi’. Saya mengawininya dan sabar terhadap apa yang kalian lihat darinya.”
Dikutip dari buku “Nasihat Gus Miek Membangun Keluarga Sakinah”, hal. 18-20, dan buku “Kiai Nyentrik Membela Pemerintah”, hal. 3-4.
Sumber: bangkitmedia.com
ADS HERE !!!