Ketika hendak ditawari gelar Doktor Honoris Causa (DR), Mbah Moen dengan penuh santun menyahutnya, “Biarlah ada kiai yang seperti saya, yang pekerjaannya hanya mengaji.” Tawaran tidak hanya sekali, akan tetapi dua kali, namun jawaban Mbah Moen tetap sama, ia menolak gelar tersebut. Bagi Mbah Moen, gelar tidaklah begitu penting. Yang penting adalah menolong agama Allah. Barang siapa yang menolong agama Allah, maka Allah akan menolongnya.
Mbah Moen Sarang, begitu sapaan akrabnya. Ia sangat disegani di berbagai lapisan masyarakat, mulai dari rakyat jelata, hingga pejabat tinggi negara (Presiden dan Wakilnya), bahkan sampai dunia internasional namanya begitu harum. Banyak ulama dari manca negara, seperti Haramain (Makkah dan Madinah), Suriah, Australia, Turki, Abu Dhabi, Yaman, Mesir, dan sebagian dari negara Eropa yang antusias berkunjung di kediamannya. Mereka kagum dengan sosok Mbah Moen yang dikenal dengan kealiman dan keluhuran akhlaknya dalam bergaul dengan sesamanya.
Dalam sebuah ceramahnya, Mbah Moen pernah dawuh, “’Alal âqili ayyakûna ‘ârifan bizamânihî (bagi orang yang dianugerahi akal sehat, hendaknya bijak dalam mensikapi zamannya).” Mbah Moen selalu mengajak santrinya agar tanggap dengan perubahan zaman. Tidak beku dalam berfikir. Ia sering memaknai ayat-ayat suci Al-Qur’an sesuai dengan konteks zamannya. Untuk memompa semangat santri-santrinya agar inovatif dan kreatif dalam mensikapi perkembangan zaman.
Mbah Moen mengarang kitab yang berjudul, al-Ulamâ al-Mujaddidûn (Ulama Modernis). Pembaharuan yang diharapkan Mbah Moen dalam kitab tersebut tidak seperti tajdid dari kelompok yang baru memahami segelintir ilmu Islam sudah mengaku mujtahid dan mereka mengesampinkan madzhab empat. Akan tetapi, Mbah Moen mengajak untuk menggunakan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh madzhab empat yang kemudian disesuaikan dengan perkembangan zamannya.
Mbah Moen sering bertafakkur terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an yang kemudian dicocokkan dengan kejadian alam yang dihadapinya. Seperti halnya, ketika terjadi Tsunami di Aceh, selang beberapa hari, Mbah Moen mengunjungi tempat kejadian perkara. Tidak lama kemudian, ia mengarang kitab yang berjudul Tastunami fi Biladina Indonesia Ahuwa ‘Adzabun am Mushibatun. Dalam kitab ini, Mbah Moen mengkaitkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan kejadian alam berupa Tsunami Aceh.
Selain karya di atas, Mbah Moen juga mempunyai karya tulis yang berjudul, Risâlah Mauqûfina haula al-Shaumi wal Ifthâr, Maslakut al-Tanassuk al-Makki fi al-ittishalati bi al-Sayyid Muhammad bin Alawi, Takmilatu al-Maslaku al-Tanassuk al-Makki, Tarâjim Masyâyikhi al-Ma’âhid al-Diniyyah bi Sarang al-Qudamâ’, Taqriraratu al-Jauharu al-Tauhîd, Taqriraratu al-Bad’u al-Amâli, al-Fuyûdu al-Rabbaniyyah, Sirah Hamzah Syatha (sejarah cucu Syaikh Abu Bakar Syatha, pengarang kitab I’ânatu al-Thâlibin), dan lain-lain.
Penulis: Amirul Ulum, Santri Mbah Moen dan Khadim Ulama Nusantara Center.
Sumber: bangkitmedia.com
ADS HERE !!!