Sekitar dua Minggu lalu, saat sedang membuka Tarikh Thabari di bab yang menjelaskan efek Perang Jamal di Madinah saya menemukan keterangan begini:
“Di antara kejadian di masjid itu adalah: Muhammad bin Thalhah—ia ahli ibadah—kebetulan hendak shalat di dekat tempat Utsman bin Hunaif berdiri. Sebagian orang Zuthth dan Sayabijah khawatir Muhammad bin Thalhah datang untuk maksud lain..dst”
Zuthth adalah “gipsi”-nya India. Maka perhatian saya tertuju kepada kata “Sayabijah”. Biasanya, kata-kata aneh begini menyimpan misteri (sama seperti saya pernah membaca ttg kelompok pedagang dari Suku Bahro’ bertamu ke Nabi saw, barangkali lain waktu saja Bahro’ ini saya ulas). Apalagi kata Sayabijah ini belum pernah saya temui di kitab tarikh sebelumnya.
Dalam Lisanul Arab, Ibn Manzhur berkata bahwa kata Sayabijah juga terkadang disebut dengan Sababijah (السبابجة). Kedua kata ini adalah bentuk plural dari kata Sabiji (سبيجي) dan kata Sabaj (السابج). Menurut penjelasan Ibn Manzhur, beberapa penyair Arab kuno sudah mengenal orang Sababija ini. Bahkan penyair Ibn Mufarragh dari Kabilah Himyar dalam syairnya menyebut Sababija sebagai jagoan. Ibn Duraid menyebut bahwa Sababija ini berasal dari Hind dan bekerja sebagai buruh kapal. Lebih lanjut, Al-Baladzuri menjelaskan bahwa Sababijah dulu tinggal di pesisir Arab dan Persia sejak sebelum Islam.
Pertanyaannya: dari manakah sebenarnya Kaum Sababijah ini?
Ketika membaca ulasan Ibn Manzhur bahwa bentuk tunggal dari Sababijah adalah Sabaj, saya langsung menduga bahwa Sababijah ini adalah orang yang dua abad berikutnya dikenal oleh orang Arab sebagai Zabaj. Zabaj sendiri adalah sebutan orang Arab untuk Jawa atau setidaknya pesisir timur Sumatra. Jadi Sabaj adalah satu dialek yang mendahului penyebutan Zabaj.
Dugaan saya ternyata terbukti. Sejarawan tentang Asia Tenggara terkemuka, Gabriel Ferrand, menulis dalam Encyclopaedia of Islam volume empat bahwa Sababija/Sabaj adalah nama awal bagi Zabaj (baca: Zabag dan Sabag). Jadi Sababija ini adalah orang Nusantara yang sudah bermigrasi ke Timur Dekat (Arab dan sekitarnya).
Zabaj sendiri menurut Prof. Gerini dalam Research of Ptolemy’s Geography berasal dari bahasa Sanskrit untuk pulau Jawa: Chavakha > Javaka > Jabaj > Zabaj. Huruf K dalam Javaka berubah menjadi huruf J dalam Zabaj karena sama seperti kata ”jati” yg dalam bahasa Sanskrit disebut shaka dan menjadi saj dalam Bahasa Arab.
Fakta bahwa Zabaj ini adalah Nusantara bisa kita lihat, misalnya, dalam Masalik wal Mamalik (Jalur dan Kerajaan) karya Ibn Khurdadzbih ketika menjelaskan kepulauan yang terletak setelah Serandib (Ceylon) yg menengahi India dan Cina:
“Di sini ada daerah Zabaj yang dikuasai oleh Maharaja (المهراج). Di kerajaan ini juga ada pulau yang disebut Burthail yang sepanjang malam selalu terdengar suara gendang. Para pelaut menduga ada Dajjal di situ.”
Gerini berpendapat bahwa Pulau Burthail yang ramai dengan suara berisik di dekat Zabaj adalah daerah Riau. Riau, ujar Gerini, berasal dari kata riuh yang berarti ramai atau berisik. Deskripsi Riau ini sangat sesuai dengan keterangan Ibn Khurdadzbih ttg Burthail. Idrisi menambahkan bahwa Zabaj (Ranaj) ini dekat dengan sebuah gunung. Gunung ini dalam buku lain disebut terletak di Salahat dan dekat dengan Pulau Jabah. Kata Salahat ini diidentifikasi oleh para ahli sebagai selat, mungkin Selat Sumatera dan gunung itu barangkali Gunung Krakatau.
Tentang Sababija, Baladzuri menjelaskan begini dalam Futuhul Buldan (Pembebasan Daerah-daerah):
“Kaum Sababijah, Zuthth, dan Andagar ini dulu termasuk tawanan dan pasukan Persia. Orang Persia menganggap mereka berasal dari Sind. Ketika mereka mendengar Kaum Oswari masuk Islam, Sababija dan Zuthth mengikuti jejak Oswari dan mendatangi Abu Musa. Oleh Abu Musa mereka ditempatkan di Basrah.”
Kejadian ini kira-kira terjadi di zaman Sayyidina Umar RA. Di Basrah mereka bekerja sebagai penjaga gerbang (jalawiza) dan sipir penjara. Sekitar tahun 50 Hijriyah, masih menurut Baladzuri, oleh Khalifah Muawiyah beberapa orang Zuthth dan Sababijah ini kemudian dipindah ke Antakya, Turki.
Maka Sababijah dalam kitab-kitab tarikh yang disebut telah masuk Islam sejak zaman Umar dan menjadi penjaga Baitul Mal di masa Khalifah Ali ini adalah orang Nusantara. Ferrand mengatakan bahwa fakta ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat penduduk Nusantara adalah buruh kapal yang tangguh di masa itu. Bahkan beberapa di antaranya sudah mengkoloni Madagaskar sebagaimana ditulis oleh Qazwini.
Sababijah yang juga difungsikan sebagai pengusir bajak laut di masa itu mengingatkan saya pada sumber China yang menyebut adanya Kun-lun Slave atau Devil Slave, sebagaimana termaktub dalam anotasi Prof. Hirth di bukunya, Chau Ju-Kua: His Work on The Chinese and Arab Trade. Kun-lun adalah sebutan orang China untuk wilayah kepulauan Melayu. Kun-lun Slave ini dideskripsikan sebagai budak kulit hitam yang “jika berenang mereka membuka mata.” Mirip dengan Sababijah di Basrah, Kun-lun Slave atau budak dari kepulauan Melayu di China selain ditugaskan di laut juga ditugaskan sebagai penjaga gerbang. Sejarawan menyebut budak Kun-lun ini berasal dari Borneo. Ini semakin mengingatkan kita tentang orang Kalimantan yang ada di Madagaskar.
Baladzuri sendiri menjelaskan bahwa tempat tinggal Sababijah saat itu di Thuf yang di masa kini dikenal sebagai Bahrain dan Oman. Memang kedua daerah ini di zaman dulu terkenal dengan intensitas perdagangannya yang tinggi. Abul Faraj Ibn Jakfar dalam bukunya menyebutkan bahwa Sababija sudah ditemui di Iran sejak sebelum Islam. “Setelah Anusyirwan bin Qabadz (Raja Kekaisaran Persia) memakmurkan tiga kota besar,” tulis Ibn Jakfar. “Ia menempatkan orang Sababija untuk menjaganya.”
Maka bisa disimpulkan bahwa sebagian orang Nusantara telah masuk Islam sejak zaman khulafa’ rasyidun di tangan Sahabat Abu Musa Al-Asy’ari. Wallahu a’lam.
Penulis: Kholili Kholil
Sumber: bangkitmedia.com