Sosok Gus Miek memang sudah nyentrik sejak masa kecilnya. KH. Djazuli Utsman, sang ayah, yang dikenal sangat ketat dalam ngaji, harus memilih cara berbeda mendidiknya dibandingkan dengan anak-anaknya yang lain. Ibu Nyai Rodliyah, sang ibu, juga sudah menengarahi ada keistimewaan Gus Miek sejak di masa kandungan.
Makanya, Kiai Djazuli tetap selalu konsisten untuk mendidik Gus Miek dalam mencari ilmu agama. Gus Miek kemudian dikirim ke Pesantren Lirboyo Kediri. Di tengah-tengah pendidikannya di Lirboyo, Gus Miek justru pergi ke Watucongol Magelang, ke pondok pesantren yang diasuh KH. Dalhar yang terkenal sebagai seorang wali di Magelang Jawa Tengah.
KH. Dalhar adalah seorang di antara tiga wali yang termasyhur di Jawa Tengah. Ketiga wali itu adalah KH. Hamid, Kajoran, Magelang, sebagai wali dakwah; dan KH. Dalhar sendiri sebagai wali hakikat. Akan tetapi, sejak KH. Dalhar wafat pada 1959, menurut sebagian pendapat, posisinya digantikan KH. Mangli, Muntilan, Magelang.
Awal kedatangannya di Watucongol pada tahun 1954. Saat itu, Gus Miek tidak langsung mendaftarkan diri menjadi santri, tetapi malah memancing di kolam pondok yang dijadikan tempat pemandian. Itu sering dilakukannya pada setiap datang di Watucongol. Uniknya, kebiasaannya memancing itu dilakukan tanpa memakai umpan, terutama di kolam tempat para santri mandi dan mencuci pakaian. Bagi orang yang belum mengenalnya, Gus Miek terlihat seperti orang tidak waras. Setelah beberapa bulan dengan hanya datang dan memancing di kolam pemandian, ia lalu menemui KH. Dalhar dan meminta izin untuk belajar.
“Kiai, saya ingin ikut belajar kepada kiai,” kata Gus Miek ketika itu.
“Belajar apa tho, Gus, kok kepada saya,” tanya KH. Dalhar.
“Saya ingin belajar Al-Qur’an dan kelak ingin saya sebarkan,” jawab Gus Miek dengan mantap.
KH. Dalhar akhirnya mau menerima Gus Miek sebagai muridnya, khusus untuk belajar Al-Qur’an. Akan tetapi, Gus Miek tidak hanya sampai di situ saja, ia berulang kali juga meminta berbagai ijazah amalan untuk menggapai cita-cita, tanggung jawab, dan ketenangan hidupnya. Seolah ingin menguras habis semua ilmu yang ada pada KH. Dalhar, terutama dalam hal kepasitas KH. Dalhar sebagai seorang wali, mursyid tarekat, dan pengajar Al-Qur’an.
Gus Miek juga seolah ingin mempelajari bagaimana seharusnya menjadi seorang wali, apa saja yang harus dipenuhi sebagai seorang mursyid dan seorang pengajar Al-Qur’an.
|
KH. Dalhar (paling depan) |
Setiap kali Gus Miek meminta tambahan ilmu, KH. Dalhar selalu menyuruh dia membaca Al-Fatihah. Apa pun bentuk permintaan Gus Miek, KH. Dalhar selalu menyuruhnya mengamalkan Al Fatehah.
Karena ajaran KH. Dalhar sersebut, Gus Miek banyak memberikan ijasah bacaan Al-Fatihah kepada para pengikutnya untuk segala urusan. Bahkan apabila ingin berhubungan dengan Gus Miek, cukup dengan membacakan Al-Fatihah saja.
Dan, inilah yang mengilhami sosok Gus Miek (di samping ijazah yang diberikan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin yang disampaikan kepada adiknya) menerapkan ajaran sejumlah bacaan Al-Fatihah dalam kegiatan wirid Lailiyah yang didirikannya pada tahun 1961, yang kemudian berkembang menjadi Dzikrul Ghofilin pada 1973.
Penulis: Subchi Munawar
Sumber: bangkitmedia.com
ADS HERE !!!